Dikarbit Dewasa
Bulan Februari 2024 menjadi bulan terberat bagi saya,
keluarga, dan khususnya Wulan. Bahkan saya sempat menghkawatirkan kesehatan
mental si anak perempuan berusia 5 tahun. Sebabnya dikarenakan takut tidak
mampu menyelami rasa duka atas kematian orang yang paling disayangi.
Wulan bertumbuh tanpa ada sosok seorang ayah sedari usianya
belum genap setahun. Kami bertiga tinggal bersama. Tiga dara beda usia. Membuat
kedekatan kami lebih erat dibanding dengan anak dan cucu mama lainnya. Saat
saya bekerja, Wulan diasuh mama.
Mama memiliki sifat penyayang dan sangat sabar. Tidak pernah
Wulan dimarahi seperti saya memarahinya. Tingkat kesabaran mama sudah level
tertinggi. Bukan hanya cucunya yang merasa nyaman didekatnya. Anak-anak
tetangga pun begitu ringan melangkahkan kaki, singgah ke rumah. Meskipun hanya
ingin memamerkan baju baru kepada mama.
Satu pola asuh mama yang akhirnya saya terapkan dalam mendidik anak. Posisikan diri sebagai anak saat mereka berbicara. Itu sebabnya hampir semua anak-anak suka berbicara dengannya. Terutama Wulan.
Posisikan diri sebagai anak saat mereka berbicara. Hingga mereka nyaman bercerita. -Almarhumah Mama-
Sosok nenek bagi Wulan adalah segalanya. Nenek menjadi sosok
pertama tempat bercerita di rumah, teman bepergian, teman merencanakan sesuatu,
teman makan, dan pelindung terbaik dikala saya mengamuk karena tak sabar
menghadapi ulahnya.
Cerita Saat Mama Membela Wulan dari Amukan Saya
Asuhan saya yang begitu dini mengajari Wulan mandiri.
Selaras dengan pola asuh mama. Maklum, kami berdua terbiasa hidup tanpa sosok
lelaki yang menemani (kakek Wulan wafat di tahun 2011). Hingga kami begitu
keras mendidiknya. Sampai akhirnya, saya tersadar. Selepas kepergian mama pada
3 Februari 2024. Saya melihat Wulan menjadi sosok anak kecil yang dikarbit
dewasa. Seolah harus menerima keadaan dan menelan perasaan sedih seorang diri
ketika neneknya tiada.
Melepas Kepergian
Tidak ada firasat bahwa saat memakaikan celana panjang,
jaket, dan kaus kaki ke mama pagi itu. Ternyata, jadi momen terakhir melepas kepergian. Tubuh
mama masih segar hanya wajahnya saja pias menahan sakit. Mama masih sempat
berbincang dengan tetangga yang menyapanya di jalan. Bahkan masih sanggup naik
motor sendiri tanpa saya temani. Dia tidak keberatan pergi ke rumah sakit
berdua dengan kakak karena Wulan pun sedang sakit. Saya diminta untuk
menjaga cucunya di rumah.
Belum satu jam berlalu setelah kepergian mama ke rumah sakit. Kabar duka mulai menyapa. Awalnya kakak meminta saya kirim pesan ke grup keluarga. Minta doa karena tiba-tiba mama drop. Pesan baru saja terkirim, tetapi selang beberapa menit kemudian, kakak telepon. Mengabari kalau mama sudah tiada.
Dihadapan Nenek yang Mengenakan Kain Kafan
Sesaat sebelum mama dikebumikan. Anak, mantu, cucu, saudara,
dan tetangga melihat wajah mama begitu bersih dan bercahaya mengenakan pakaian
kain kafan. Banyak yang tidak sanggup menahan air mata. Hingga mengurungkan
diri untuk mencium terakhir kalinya. Terutama para cucu yang merasa kehilangan.
Kehilangan sosok nenek yang sangat sayang pada mereka. Raung dan isakan
terdengar disela ramainya orang-orang berpamitan dengan tubuh yang terbujur
kaku.
Namun, tidak demikian dengan Wulan. Wajahnya hanya terpaku
melihat nenek yang tengah diciumi satu persatu yang hadir. Saya mengajaknya
mendekat dan memangku dia. Saat tubuhnya hendak mencium sang nenek. Air matanya
tak sanggup dia bendung. Terpaksa saya jauhkan dia dari neneknya. Tak ingin air
mata cucu kesayangan memberatkan langkahnya. Wulan hanya menangis dipangkuan
saya tanpa bersuara. Hanya linang air yang bergemuruh dari mata kecilnya.
Diam-Diam Menangis
Selepas kepergian mama, sanak keluarga berkumpul hingga
tujuh hari. Para keponakan yang usianya tidak jauh beda dengan Wulan, membuatnya
riang. Bermain bersama dan tertawa layaknya anak kecil. Saya pun jadi tenang.
Mental anak saya baik-baik saja selepas kepergian neneknya.
Namun, apa yang terlihat, ternyata tidak sama dengan apa yang
dirasakan Wulan. Pada hari pertama, kedua, dan ketiga saat dini hari. Wulan
selalu terbangun. Termenung dan diam-diam menangis. Saat seorang saudara
memergokinya menangis. Wulan menghambur pergi dan mencari saya. Memeluk erat
dan membangunkan saya sembari berkaca-kaca.
“Kamu belum tidur?”
Pertanyaan saya tak pernah dijawab. Hanya menangis dan ucapan lirih yang terdengar seperti igauan.
“Nenek.”
Pertahanan Wulan Pecah
Wulan terlihat sangat normal. Ceria layaknya anak-anak saat
main bersama teman. Terutama saat pagi menjelang hingga malam tiba. Namun,
berbeda ketika orang-orang mulai terlelap. Sanak keluarga sudah kembali ke
rumah. Hanya tersisa kami berdua. Dua orang yang harus menyesuaikan kehidupan. Pada
malam ke-11. Saat hendak tidur. Tiba-tiba Wulan berujar kalimat yang menurut
saya melantur.
“Ma, kalau nanti mama meninggal juga seperti nenek. Wulan
pasti bisa melakukan semua sendiri. Wulan pasti bisa mandiri.”
Awalnya, saya hanya menimpali dengan canda. Namun, saat
melihat raut wajah. Terutama kedua matanya yang mulai merah. Saya terenyuh.
Hingga menghentikan aktivitas menyapu, mendekati dia, dan memeluknya.
Peluknya sangat erat. Air mata yang dia tahan selama ini
pecah di bahu saya. Tidak ada kata yang keluar. Hanya air mata yang kian mengalir
deras. Mengundang air mata saya hadir dipelupuk mata. Saya berusaha
menenangkannya. Mengusap punggung dan sesekali mengusap rambutnya. Saat kami
lelah menangis. Saya coba memberinya nasihat.
“Kalau Wulan sedih. Jangan di tahan. Keluarin aja semuanya.”
“Wulan boleh nangis. Siapa pun boleh nangis kalau sedih.”
“Kalau Wulan malu. Wulan bisa nangis di depan mama aja.”
“Semua manusia, kalau sedang sedih. Boleh nangis, sayang.
Biar disini Wulan (nunjuk dada dia) jadi lega.”
“Jangan pernah tahan perasaan sedih kamu.”
Panjang lebar perkataan yang saya ucapkan hanya dia dengar
dengan seksama. Akhirnya kami berdua terlelap karena perasaan terkuras.
Berusaha menghadapi kenyataan.
Memperhatikan
Selama kepergian neneknya. Bahkan sampai sebulan setelahnya.
Hampir tiap dini hari, Wulan selalu terbangun. Saat mendapati saya tidak rebah
disisinya, dia pun bangun dan mencari. Kemudian kembali tertidur disisi kasur
karena mendapati mamanya yang bermunajat meminta kekuatan kepada pemilik hidup.
Hingga suatu dini hari, Wulan bangun. Minta salat tengah
malam. Mungkin, dia melihat saya merasa damai melepas kepergian neneknya karena
salat. Hingga dia pun ingin mengikutinya.
“Ma, Wulan mau solat. Gak papa kan kalau solatnya cuma
sebentar. Wulan kan masih kecil. Gak bisa solat lama kaya nenek dan mama.”
Saya pun bergegas menyiapkan sajadah dan mukenanya disaat
Wulan ambil wudu. Seulas senyum mengembang dibibir saya saat mendengar hitungan
satu, dua, tiga di tiap urutan berwudu.
Menguji Kemandirian Wulan
Mental saya sempat jatuh, ketika menghadapi pertanyaan dari sanak saudara yang terlontar.
“Nanti kalau kamu kerja, Wulan sama siapa?”
Ternyata pertanyaan itu bukan hanya membuat saya kalut.
Melainkan Wulan turut berusaha mencari jawaban atas pertanyaan tersebut.
Sehingga bersikap, seolah dia mampu mandiri meskipun tanpa nenek disisinya.
Saat mengantar dia ke bimba dan mengatakan kepada gurunya
untuk undur diri karena tidak ada yang antar jemput. Sepanjang perjalanan Wulan
berkata seolah menguatkan hati saya. Perbincangan kami sedikit menguras
perasaan.
“Ma, Wulan tuh udah diajarin nenek pergi ke bimba sendiri.
Wulan bisa kok sendirian.”
Sekuat tenaga saya menahan air mata yang ingin meluncur
setelah mendengar ucapannya.
“Mama tahu dan mama juga percaya kalau Wulan bisa pergi dan
pulang sendiri. Cuma, Wulan itu masih 5 tahun. Sedangkan Mama kalau kerja bisa
sampai 11 jam. Terus yang ngejagain kamu di rumah siapa. Yang kasih kamu makan
siapa. Mama percaya banget Wulan bisa lakuin sendiri, tapi mama cuma khawatir.”
Wulan hanya mendengar tanpa membantah. Hingga kami melihat
seorang anak berseragam merah putih berjalan dihadapan kami.
“(menunjuk anak SD) Nah, kalau Wulan sudah sebesar kakak
itu. Rasa khawatir mama akan berkurang. Wulan boleh sendiri di rumah saat mama
kerja.”
“Oh … kalau Wulan jadi kaya kakak itu, mama udah gak khawatir
lagi, ya?”
“Iya, maka-nya untuk kedepannya. Mama titipin Wulan ke nenek
yang dijalan baru, ya. Nanti les dan ngaji disana. Sebelum berangkat, mama
antar dan pas pulang, mama jemput.”
Akhirnya seminggu berlalu. Selama menitipkan Wulan di rumah
adik mama. Dia tidak mengeluh sama sekali. Hanya saja tiap kali saya telepon,
wajahnya tidak terlihat senang. Saat pulang dan saya korek aktivitasnya, dia
hanya diam seribu bahasa. Neneknya pun sedikit kewalahan karena Wulan memiliki
jiwa petualang dan sangat aktif. Hingga pergi sendirian yang berakibat dia
tersesat.
Saya putuskan untuk kembali ke rumah. Bernegosiasi dengan
seorang keponakan untuk menjaga Wulan di rumah selama bekerja. Namun, negosiasi
gagal. Hingga dengan berat hati, saya menguji kemandirian Wulan.
Pertama, saya memindahkan sekolah. Memilih TK yang paling
dekat rumah, masih dalam satu gang. Menitipkan pesan kepada semua pengajar,
untuk membiarkan dia di sekolah meskipun jam pelajaran usai. Dibanding dia
pulang ke rumah dan sendirian. Sepulang sekolah, saya menitipkannya kepada
tetangga kanan-kiri.
Hari pertama berlalu begitu menyesakkan hati. Selama
dikantor saya tidak merasa tenang. Uji coba kemandirian Wulan gagal. Pola makan
dan jajannya tidak terkontrol. Meskipun dalam segi sekolah sendiri dia berhasil
(mandi, pakai baju, berangkat, dan pulang sendiri). Selama dikantor saya hanya
menangis dan menyalahkan diri karena tidak berdaya dengan amanah yang tersisa.
Namun, dihari kedua saya menemukan orang baik yang bersedia mengasuh dan menemani Wulan.
Mengasuhnya seperti anak sendiri. Bahkan lebih sabar dibanding saya. Hal yang
paling saya sukai, ketika pengasuh mendiskusikan terkait pendidikan Wulan
kedepannya. Ternyata visi dan misi mendidik anak sejalan dengan apa yang sudah
saya dan almarhumah mama rencanakan.
Masih Sensitif
Sampai tulisan ini terposting, sudah berjalan enam bulan setelah kepergian mama. Jujur, saya masih sensitif. Belum berani menatap lama foto mama. Apalagi mendengar suara dari banyaknya video perjalanan kami yang saya rekam. Ternyata yang masih belum pulih dari kehilangan, justru saya sendiri.
Saya pikir persiapan menghadapi kematian mama sudah dikuasai
dengan baik seperti saat bapak berpulang. Nyatanya saat kematian menghampiri
tanpa pamit. Persiapan yang sudah coba saya pelajari, luntur begitu saja.
Puisi, Tahu Rasa Tentang Kehilangan
Selama berkabung dan rumah masih dipenuhi sanak keluarga.
Malam hari, saya selalu menyibukkan diri. Apa saja dikerjakan. Bahkan sengaja
tidur sampai tengah malam. Sengaja mencari kesibukan, agar disaat lelah langsung
tertidur pulas tanpa menangis.
Wulan sudah membaik dan menerima hidup tanpa nenek. Apalagi
dia bertemu dengan sosok pengasuh yang sangat menyayanginya. Melihat anak
tumbuh dengan sangat baik. Berangsur membuat saya harus turut menerima
kenyataan. Mama, saya, Wulan, dan lainnya hanya singgah di bumi. Suatu saat
pasti akan kembali ke tempat yang abadi.
Bersama Meski Hanya Bayangan
Entah memang benar-benar Wulan melihat atau hanya ingin melepas
dahaga kerinduan terhadap neneknya. Beberapa minggu kepergian mama. Kerap kali
Wulan bicara sendiri. Bicara dihadapan suatu yang kosong. Awalnya hanya di rumah
atau sekitaran kamar.
“Nenek …! Cucu nenek yang baru udah lahir,” ucap Wulan dari
jendela kamar ke arah depan rumah di bawah, tempat parkir motor.
Saya kira, Wulan sedang bicara kepada nenek tetangga seberang
rumah. Namun, saat dilihat, rumah tetangga kosong.
“Kamu ngomong sama nenek siapa?”
“Nenek Wulanlah,” jawabnya sembari menunjuk bawah. “Tuh, Ma,
nenek senyum.”
Herannya bukan hanya di rumah. Dimana saja ketika pergi ke
suatu tempat. Mama seolah ikut bersama meski hanya bayangan. Terutama tempat
yang pernah saya janjikan pergi bersama.
“Nek, buru, nek. Nanti pintu keretanya tutup,” teriak Wulan
yang berlari seolah menggandeng angin.
“Ma, jangan mundur-mundur duduknya. Nanti nenek jatuh dari
motor. Mama maju dikit duduknya,” protes Wulan saat naik motor dari tempat yang
sering mama kunjungi semasa hidup.
“Nih, nek, a ….” Wulan menyuapi kursi kosong dihadapannya di
resto yang pernah kujanjikan mengajak mama.
Kini, saat Wulan melihat mama seperti itu. Aku turut senang.
Ternyata kami masih bersama meskipun terpisah alam. Sampai akhirnya saya
membuat bantal yang gambarnya wajah kami.
No comments: