Koran Harian Sinar Indonesia Baru |
Tahun
2022 menjadi langkah pertama saya menjejaki media massa untuk mempublish cerpen
yang saya buat. Sebagai seorang writerpreneur rasanya kurang cukup kalau setiap
yang saya tulis hanya di publish dalam circle yang itu-itu saja. Ingin menyebarluaskan tulisan ke khalayak ramai. Biar tulisan saya dibaca orang banyak. Mimpi saat itu.
Personal Branding, Writerpreneur Person
Keinginan ini terwujud ketika saya resmi menjadi anggota Komunitas ODOP (One Day One Post) angkatan ke-10 di tahun 2022. Dimana setiap anggota memiliki benefit untuk masuk ke program-program yang sudah terbentuk. Salah satunya OTM (ODOP Tembus Media).
Singkat cerita setelah mengikuti program OTM. Beberapa tulisan saya tembus media. Baik media massa online atau cetak. Salah satu tulisan saya tembus media cetak yang terbit di Kota Medan. Bajingan Tengik di Koran Sinar Indonesia Baru.
Komunitas ODOP, Media Pembiasaan Menulis
KORAN HARIAN SINAR INDONESIA BARU
Koran Harian SIB (Sinar Indonesia Baru) adalah Koran yang terbit di Kota Medan sejak 9 Mei 1970. Salah satu rubrik yang menerima tulisan dari pembaca adalah cerpen.
Cerpen
tayang setiap hari Minggu. Biasanya pada halaman 10 di rubrik Sinar Wanita (dulunya Sinar Remaja).
Cerpen yang tayang termasuk singkat dan bertema ringan. Panjang cerpen berkisar
500-700 kata. Disarankan memilih tema yang umum. Karena pada dasarnya media
massa SIB ini bernuansa agama Kristen.
Media Massa Sinar Indonesia Baru
BAJINGAN TENGIK DI KORAN SINAR INDONESIA BARU
Saya
mengirimkan naskah berjudul ‘Bajingan Tengik’ ke Koran Sinar Indonesia Baru, rubrik
Sinar Wanita. Saya mengirim naskah pada 13 Oktober 2022
dan tayang beberapa bulan kemudian. Tepat di hari Minggu, 29 Januari 2023.
Waktu tunggu hingga cerpen ditayangkan memang cukup lama hampir empat bulan. Sampai berpikir bahwa naskah tidak lolos kurasi oleh tim editor. Namun, saya tidak berkecil hati dan tetap menulis cerpen atau artikel yang dikirim ke media massa. Saya tuliskan kembali cerpen di artikel ini. Selamat membaca.
BAJINGAN TENGIK
Tangan
kekar itu menggenggam tanganku ketika
berada dalam kabin ambulans. Wajahnya pucat, peluh sebesar bulir jagung keluar
dari sela pori-pori kulit. Selang oksigen terpasang, membantunya bernafas. Tak
lama dia melepas genggaman, berganti menekan perutnya sembari memuntahkan
cairan kuning yang mengenai pakaianku. Petugas ambulans dengan cekatan
membantunya rebah dan memeriksa denyut nadi sang pasien. Kemudian mengafirmasi
untuk tetap terjaga.
Sirene
meraung menyampaikan pesan kepada pengemudi kendaraan lain untuk menyingkir.
Ambulans melaju dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit. Perut buncitku
menghalangi tubuh untuk duduk lebih dekat brankar. Tempat seorang lelaki
terkapar—ayah dari janin dalam rahimku. Suami yang aku harapkan kematiannya.
***
Dua
jam lalu kami berada dalam mobil pribadi, tengah melalui ruas tol
Kuningan-Cirebon arah Jakarta. Kembali ke ibu kota setelah liburan singkat di
Demak—kampung ibu mertua. Matahari kian menarik tubuhnya menggulirkan cahaya ke
bumi. Pengemudi di sampingku mengerang kesakitan. Memegangi setir dan sesekali
meremas perutnya. Kendaraan masih melaju di kecepatan minimum. Mata empatku
bersiaga membaca setiap rambu, berharap terbaca tulisan rest area.
Di
kursi penumpang, terduduk ibu mertua. Wajahnya resah memandangi sang pengemudi.
Antara kami berdua tidak ada yang dapat menggantikannya mengemudi. Terseok-seok
kendaraan melaju, hingga akhirnya berada dalam rest area. Aku bantu memapah
pengemudi menuju toilet. Terdengar suaranya yang mengerang. Sebagai pendamping
hidupnya, aku bersiaga di depan pintu—memegang jaket, handphone, dan dompet
miliknya.
“Bunda
… kayanya aku udah gak kuat, tolong panggil ambulans.”
Deg,
jantungku berdegup. Baru kali ini mendapatkan titah seperti itu. Aku tergopoh
dengan perut buncit—usia kehamilan 7 bulan—menuju kios warung. Menghampiri
mertuaku yang tengah menunggu teh hangat pesanan anaknya.
“Bu,
tolong jagain Haikal di toilet. Dia minta dipanggilkan ambulans.”
Panik
yang mendera membuatku linglung. Depan mata terlihat Kantor Jasa Marga, tetapi
aku memilih repot ke laman pencarian internet, mencari rumah sakit terdekat.
Lalu meminta ambulans datang. Kepanikan membuat kontraksi. Langkahku terhenti,
tak kuasa menahan gejolak dalam perut. Kucoba mengatur nafas agar janin kembali
tenang. Masih dibalut keadaan panik, handphone milik suami berdering terus
menerus. Satu nama yang terpampang—Erina—istri siri suamiku.
Handphone
masih saja berdering, ditambah dengan suami yang mengerang hebat depan toilet.
Tanpa pikir panjang kubantu baringkan suami ke dalam mobil agar tidak menjadi
perhatian orang. Di tengah sakit yang mendera, dia ambil paksa handphone yang tak
henti menjerit dari genggamanku.
Akhirnya
ambulans datang, mendorong brankar—menjemput suami dalam mobil kami. Handphone
miliknya terjatuh dan kembali berdering. Masih nama Erina yang muncul di layar.
Dia memintaku memungut handphone dan menyerahkan kepadanya. Namun, petugas
tidak mengizinkan. Wajahnya kesal dan berkata lantang—memperingatiku.
“Awas!
Jangan angkat teleponnya!”
“Sini,
Ibu aja yang angkat. Udah mau mati, masih bertingkah. Dasar bajingan tengik!”
Ibu
mertua mewakili perasaannku. Ingin rasanya aku tempeleng wajah bajingan di
hadapanku ini. Namun, tak tega melihatnya terkulai di atas brankar.
***
Mertuaku
pulang ke Jakarta menggunakan bus setelah anaknya mendapat kamar. Aku dan suami
terdampar di rumah sakit daerah Cirebon. Dia mengalami usus buntu dan butuh
waktu beberapa hari untuk observasi hingga dokter mengambil tindakan.
“Ibu,
hati-hati, lantainya licin.”
Seorang
petugas kebersihan memberitahuku ketika hendak melintasi lantai yang sudah
dipel. Aku keluar dari kamar perawatan. Berang melihat kelakuan suami yang kian
membaik. Dia sibuk dengan handphone tanpa memperdulikan istrinya. Bahkan
sengaja bercengkrama dengan Erina melalui panggilan video ketika aku berada
dalam toilet.
Ketika
menuruni tangga, tanpa sengaja aku melihat kedua kaki yang membengkak. Mungkin,
terlalu banyak berdiri dan berjalan. Bagaimana tidak, sejak mendapat kamar aku
hanya seorang diri. Berbadan dua dan hilir mudik di tempat asing. Mengurus
administrasi, apotek, dan membeli kebutuhan kami selama di rumah sakit. Meski
mulai terasa nyeri, aku tetap menuruni tangga. Mencari udara segar. Rasanya
ingin keluarkan murkaku ke udara yang tak bersalah.
*
tamat*
DARI PENULIS
Gimana, cukup kesal tidak dengan si Haikal dalam cerpen. Bajingan Tengik di Koran Sinar Indonesia Baru. Semoga tulisan ini dapat menemani kegabutan kalian, ya. Sekian dan terima kasih atas waktunya. Ba bye ….
No comments: