Belakangan wanita yang melahirkan saya
ke dunia ini, resah. Mama—saya memanggilnya. Dia merasa dibohongi oleh oknum
abal-abal yang mengaku perangkat kelurahan. Bersedia membantunya mengurus surat
rumah—HGB (Hak Guna Bangunan). Iya, benar, kami tinggal di atas tanah milik
orang yang sampai detik ini tidak dipergunakan. Sudah hampir 50 tahun rumah
kami berdiri. Mama hanya memiliki berkas-berkas asli berupa surat keterangan;
pembelian tanah, pejabat setempat, dan salinan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan)—sebelum
adanya penghapusan bagi tanah-tanah berukuran yang tidak masuk kategori wajib
pajak. Sewaktu-waktu rumah kami dapat digusur apabila sang pemilik tanah akan
menggunakan tanahnya. Oleh karena itu, sebelum adanya isu penggusuran, Mama dan
warga setempat yang membangun rumah harus memiliki surat HGB. Guna kompensasi
atas bangunan yang sudah terbangun.
Maraknya berita penggusuran menjadi
kesempatan bagi oknum yang mengadali warga untuk berbondong-bondong mengurus
surat HGB. Memberi angin surga bahwa tidak perlu repot hilir mudik
ke kantor instansi pemerintahan untuk mengurus surat. Cukup menyerahkan
surat-surat asli, membayar sejumlah uang, dan surat akan diantar ke rumah
masing-msing. Mama dan beberapa tetangga tergiur. Tanpa paksaan mereka
menyerahkan berkas bersama uang panjar sebesar seratus atau dua ratus ribu. Namun,
Mama yang polos nan lugu membayar lunas dengan memaksa seluruh anaknya patungan,
termasuk saya.
“Udahlah, biarin. Sekarang atau nanti,
toh sama-sama bayar.”
“Bedalah! uang segitu ‘kan banyak,
jaminannya apa itu surat cepet jadi?”
Berdebat dengan Mama sebuah hal yang
tidak ada habisnya. Meskipun diberi penjelasan panjang lebar yang masuk akal,
tetap saja keinginannya harus dituruti. Akhirnya saya terpaksa memberi uang
patungan meskipun menolak keras keingian tersebut.
Hari berganti hari, minggu, bulan, dan
tahun. Namun, seperti dugaan, surat tak kunjung selesai di urus. Bahkan hampir
tiga tahun lamanya. Apalagi ketika Corona
Virus Disease 2019 menginfasi bumi. Melumpuhkan segala lini kehidupan
manusia. Termasuk aktivitas kepengurusan surat-surat di kantor instansi
pemerintah. Padahal tetangga yang mengurus surat HGB tanpa calo hanya
membutuhkan waktu tidak sampai satu bulan. Kalau tidak salah lebih dulu Mama menyerahkan
berkas ke oknum abal-abal dibanding tetangga yang mengurus sendiri.
Beberapa kali Mama menyatroni rumah
salah satu oknum—Bapak S yang menerima uang. Namun, jawabannya nanti, sedang diurus,
berkasnya sudah masuk instansi, atau lagi corona jadi butuh waktu lebih lama. Saking
lamanya proses, Mama pasrah. Sadar, bahwa dirinya terlalu nafsu hingga tidak mendengar
perkataan anak. Dia pun berusaha merelakan uang yang sudah diberikan dan hanya
meminta berkas-berkas asli kembali ke tangannya. Lagi, ketika disambangi untuk
meminta berkas, Bapak S berkelit seolah tidak ingin mengembalikan. Mama mulai
geram, kesabarannya benar-benar sedang diuji.
Tahun-tahun sebelumnya Mama tidak berani
membahas surat rumah yang tak kunjung selesai kepada saya. Adik atau kakak yang
menyampaikan keresahannya dan meminta tolong bantu temani. Namun, saya selalu
menolak dengan alasan malas berurusan dengan orang-orang culas seperti Bapak S.
Selain itu masih ada rasa kesal dalam hati karena Mama lebih percaya orang dibanding
anaknya sendiri. Saat kesabaran sudah mulai luntur, dia menumpahkan semua rasa
kesal dan menyiratkan penyesalannya kepada saya. Sebagai anak, tidak tega melihatnya seperti itu dan berjanji
menemaninya.
***
Malam ini kami bertandang ke rumah Bapak
S. Baru kali ini saya benar-benar bertatap muka dengannya. Dalam hati hanya
berkata, orangnya seperti ini, pantas saja. Saya mulai memperkenalkan diri
sebagai anak pemilik surat dan sedikit berbasa-basi. Sedangkan Mama berbicara
dengan ibunya Bapak S yang merupakan temannya semasa muda.
“Kenapa, ya, Pak, ngurus surat HGB bisa
selama ini?” tanya saya.
“Iya, saya gak enak nih sama Ibunya, Mba.
Saya juga bingung kenapa gak selesai-selesai. Apalagi corona begini.”
“Benar juga, ya, Pak, saat pandemi gini,
ngurus surat-surat jadi ribet, tapi ‘kan Mama saya kasih berkas sebelum corona?”
Kata saya tanpa ada sahutan, lalu kembali berkata, “Sebenarnya memang sedikit
ribet ngurus selama pandemi, tapi lebih mudah jalurnya. Berkas hanya dikirim
melalui online. Eh … tunggu Pak, saya baru ingat, kemarin setelah level PPKM turun,
sudah bisa offline ko. Hanya saja pengunjung dibatasi dan mengambil antrian
melalui telepon atau website.”
Penjelasan saya membuat Bapak S tidak
berkedip dan sesekali menenggak air digelas sekenanya. Entah beneran haus atau
hanya menutupi geroginya. Namun, sekilas saya menangkap raut wajah bingung,
dahinya mengkerut.
“Saya memang tahu jalur kepengurusan
surat HGB, tapi tidak punya waktu karena sibuk bekerja. Terus saya dengar ada yang
bisa mengurus dan Mama saya juga percaya, makanya diserahkan ke Bapak.” Kata
saya menjawab kebingungan yang tersirat dari wajah Bapak S.
Perkataan dan penjelasan panjang dari
saya membuat Bapak S mulai berkilah. Menyampaikan seribu alasan yang persis disampaikan
Mama sebelumnya. Alasannya tak masuk akal dan sesekali menyalahkan oknum
lain—Ibu N yang bekerja sama dengannya. Semua perkataan yang terlontar, saya
dengar hingga tuntas. Hanya sesekali saya timpali dengan pertanyaan yang tak
sanggup dia jawab. Entah penasaran atau apa, dia bertanya pekerjaan saya.
“Saya bekerja sebagai administrasi
pengelola gedung yang letaknya diseberang gedung DPRD DKI Jakarta dan
sampingnya kantor Sekretariat Wakil Presiden. Bapak tahu daerah Kebon Sirih, ‘kan,”
jawab saya. “Belum lama ini saya baru selesai membantu rekan mengurus surat
SLF—Sertifikat Laik Fungsi. Kalau boleh jujur ngurus surat izin SLF lebih susah
dibanding surat rumah, Pak. Makanya saya heran. Kok, ngurus surat HGB sampai
bertahun-tahun.” Bapak S tersudut dengan perkataan saya.
“Habis gimana, ya, Mba. Berkas-berkasnya
ada di Ibu N. Dia yang tidak mau kasih ke saya.”
“Loh, kok jadi gitu,” kata saya heran. “Sekarang
gini aja, kalau memang Bapak merasa tidak sanggup mengurus suratnya. Saya mau
ambil berkas-berkas aslinya.”
“Iya, bener. Berkasnya kembaliin aja
kesaya,” timpal Mama.
“Berkasnya ada di rumah Ibu N. Gak bisa
diambil malam ini.”
“Jadi, Bapak bisa kasih berkasnya kapan?”
“Besok deh, atau paling lama lusa. Nanti
saya kasih ke ibunya.”
“Saya pegang janji Bapak.” Kata saya
lugas.
Kami pun pamit. Sepanjang perjalanan,
Mama merapalkan harap agar berkas-berkas rumah kembali ke tangannya. Dia
gamang, para tetangga menakuti kalau berkas-berkasnya hilang karena sudah
bertahun-tahun mengendap di para oknum abal-abal tersebut. Doa yang tak lupa
dia panjatkan adalah uangnya dikembalikan. Tidak harus semuanya, cukup lima
ratus ribu saja sudah senang, katanya.
***
Dua hari kemudian, ketika saya baru
sampai rumah selepas bekerja. Mama menghampiri ke kamar. Wajahnya sumringah.
Sepertinya ada kabar baik.
“Alhamdulillah berkasnya gak ilang, ini,
kamu simpen aja dulu.”
Mama menyerahkan satu map berisi
berkas-berkas asli. Katanya berkas tersebut diantar tadi pagi. Berkas masih
terlihat utuh dan tidak terdapat keterangan sedikit pun tentang progres
kepengurusan surat. Hanya terselip selembar kertas berisi daftar persyaratan
pengajuan kepengurusan HGB.
“Ya ampun … ini berkas tiga tahun gak
diurus sama sekali, cuma diendepin doang! Dasar oknum abal-abal!” dengus saya.
“Udah biarin aja, yang penting berkasnya
kembali.”
“Kapan dia ngasihnya?”
“Tadi pagi, pas Mama selesai salat Duha.”
“Terus, uangnya dikembaliin gak?”
“Nah … itu! Dia kembaliin semua uangnya.
Masyaallah … Mama ngarepnya cuma gope, eh ternyata dikembaliin semuanya, Alhamdulillah
….”
“Syukur Alhamdulillah kalo gitu.”
“Kayanya dia takut sama kamu, deh. Sampe
minta maaf segala karena baru antar berkasnya. Kemaren-kemaren waktu Mama minta,
dia malah suka sewot ke Mama. Eh, ini malah minta maaf.”
“Ha-ha-ha, emangnya setan pake ditakutin
segala. Kalo gitu … bolehlah minta jatah setan,” candaku yang diiringi tawa
kami.
Penulis: Dwinov Swa
Untung berkas-berkasnya kembali ya kak, ngeri ngurus surat nih. Apalagi kalau salah ketemu orang
ReplyDeleteAku baca ini emosi banget sih, Kak, pikiran dibuat kayak nuduh-nuduh. Di sisi lain juga agak kesal sama Mama ini wkwkwk, tapi engga jadi ternyata Bapak S masih punya hati nurani. Tapi aku masih bingung sih, Kak, alasan Bapak S ini mau ngurus HBG, tapi ternyata dia enggak sanggup terus kenapa enggak dibalikin dari awal ya, wkwkwk.
ReplyDelete