Selepas lebaran haji kerap kali aku menerima undangan resepsi pernikahan. Satu persatu teman-temanku mulai memasuki bahtera rumah tangga. Begitu pun teman masa kecilku yang tinggal satu lingkungan. Baik teman wanita atau lelaki. Apabila yang menikah teman wanita, maka acara resepsi pernikahan diselenggarakan di lingkungan.
Namun, berbeda dengan teman lelaki. Mereka akan mengadakan perayaan sesuai domisili mempelai wanita. Biasanya akan dimulai prosesi lamaran, akad, lalu resepsi pernikahan.
Seperti yang sudah diketahui bahwa mempelai lelaki harus menyiapkan sejumlah mahar dan hantaran pernikahan. Mahar ditentukan sesuai kesepakatan kedua mempelai dan biasanya diserahkan saat prosesi lamaran.
Sedangkan hantaran
pernikahan berupa perlengkapan keseharian mempelai wanita seperti; pakaian,
alat salat, seperai, sepatu, tas, kosmetik, dan lainnya. Kesemua hantaran
tersebut tidak serta merta diantar begitu saja, tapi dibungkus menjadi sebuah
parcel yang indah kala akad yang disertai resepsi pernikahan.
“Lu, bisa bantuin gue, gak?” tanya
temanku.
“Bantu apa nih?” tanyaku. “Kalau soal
uang, sorry banget gak bisa bantu, tapi kalau bantu yang lain insyaallah,”
cecarku.
“Sue lu, main nembak aja. Keliatan
banget, ya, gue lagi butuh uang.”
“Lagi … muka lu kusut banget kaya kanebo
kering. Jadi, ada apa nih calon manten, ada yang bisa saya pangku, he-he-he.”
“Ah, lu mah becanda mulu, serius nih
gue.”
“Iya-iya-iya, ada apa sih?”
“Gu lagi bingung nyari orang yang bisa
bikin parcel seserahan. Ada sih … tapi temennya calon bini gue, kejauhan
rumahnya.”
“Owalah … gue kira ada apaan. Waktu
kemaren adik gue nikah, yang bikin parcel seserahannya gue. Ya tapi gitu,
bentuknya ga secakep pakai jasa hantaran. Kalau emang lu mau, sini gue kerjain.
Lu modalin alat-alatnya aja.”
Akhirnya temanku dan keluarganya mempercayakan aku untuk membuat parcel hantaran pernikahan. Meskipun hanya berbekal video tutorial, enam parcel dapat kubentuk dengan indah dan tiga lainnya kususun rapih di kotak khusus parcel.
Mulai dari alat salat berbentuk menara
dan kubah masjid. Pakaian dalam dan gamis menjadi angsa. Seperai berubah
menjadi sekuntum bunga dengan kelopak yang besar. Pakaian tidur layaknya seekor
kupu-kupu. Handuk berubah menjadi boneka beruang. Sepatu, tas, dan kosmetik
kususun rapi serta disematkan pernak-pernik. Namun, semua parcel nan cantik
tersebut membuat Wulan—anakku marah kepadaku, bahkan benci.
***
Hari liburku—Sabtu dan Minggu disibukkan dengan serangkaian pembuatan parcel hantaran. Sebelum mulai mengerjakannya, aku menitipkan Wulan di rumah saudara karena jika ada dia tidak bisa mengerjakan dengan fokus.
Meskipun kutinggal di rumah saudara sendirian tanpa menemaninya,
dia tidak peduli. Wajahnya sumringah ketika sampai rumah saudara dan melihat kakak
sepupu yang seusia telah menyambutnya.
“Lan, Mama tinggal, ya. Kamu mainnya
jangan nakal. Nanti malam Mama jemput,” ujarku.
“Ote.” Wulan menjawab seraya jalan
bergandengan dengan sepupunya tanpa memperdulikanku yang mengharapkan cium
perpisahan.
“Dasar si jelek, kalau udah ketemu teman
main, emaknya dicuekin,” gerutuku.
Saat Wulan bermain, aku mulai sibuk merangkai dan menghias parcel di rumah. Hampir seharian mengerjakannya dan hanya mampu membuat tujuh parcel. Tersisa peralatan salat dan seperai.
Hendak
melajutkan di hari Minggu, tapi pakaian kotor meraung dan harus mengerjakan
kewajibanku sebagai ibu rumah tangga. Hingga parcel pun tidak bisa
kuselesaikan. Namun, karena hari pernikahan sudah depan mata. Aku menyelesaikan
parcel yang tersisa selepas pulang kerja secara angsur. Lalu, merangkainya dihari
Sabtu—satu hari sebelum resepsi pernikahan. Mau tidak mau aku harus merampas
waktu main bersama Wulan demi merampungkan semua parcel.
Sabtu pagi sudah kusetting semua alat
tempur merangkai parcel. Beberapa jam berlalu, Wulan pun bangun dari tidurnya. Dia
tidak menemukan aku disisinya ketika bangun, membuatnya merajuk. Wajah
bantalnya kian kusut karena melihatku sibuk tanpa memperdulikan dia yang berdiri di
hadapannya.
“Kamu kenapa? Kok bangun tidur mukanya
begitu?” celotehku sembari lalu ketika menyadari kehadirannya.
“Wulan marah!” katanya sembari
menyilangkan tangan dengan wajah yang ditekuk.
Wajahnya kian muram karena aku tidak
merespon perkataannya. Hingga menendang lem yang berada dekat di kakinya. Aku
mengangkat kepala dan melihat wajah bengisnya.
“Kenapa?”
Tidak ada balasan darinya. Hanya raut
wajahnya yang melihat benda-benda yang ada disekelilingku dengan penuh
kebencian terutama parcel bunga dan menara masjid yang sedang kurangkai.
Kuletakkan semua alat tempurku dan memungut lem yang terpental, lalu menghampirinya.
Menenangkannya dengan cara memangku dan mengusap rambutnya.
“Wulan marah sama Mama?”
“Iya! Wuyan benci buna ma ni!” Jarinya
menunjuk kedua parcel tersebut.
“Wulan gak suka, ya, kalau Mama sibuk di
rumah?” tanyaku. “Maafin Mama ya.”
Aku merangkul tubuhnya, meluruhkan
segenap amarah dan kebencian Wulan terhadap diriku. Berulang kali aku katakan
maaf karena tidak menemaninya main. Membentaknya karena mengacak-acak peralatan,
atau mengabaikannya ketika dia minta disuapi. Seketika rasa bersalah dalam
diriku pun menguap disaat air matanya menyentuh lenganku.
“Wulan maafin Mama, ga? Kita temenan
lagi, ya.”
Kuacungkan jari kelingking ke arahnya,
tapi tidak dibalas. Kuseka air matanya. Lalu, tiba-tiba dia
mengajak berjabat tangan dan diayunkan ke atas ke bawah.
“Kayo mo temenan gini, Ma.”
“Oh … gitu, Lan. Jadi kalau temenan
lagi, kaya gini,” kataku saat kedua tangan kami masih berjabat dan mengayun.
“Wulan tau ga, ini punyanya siapa?” tanyaku ke arah parcel.
“Tau,” jawabnya sembari menggelengkan
kepala.
“Ini punyanya Om, orang yang suka beliin
Wulan jajan. Suka beliin es krim, kue, sama kemarin beliin apa tuh ... yang
kamu taro di toples.”
“Itan. Itan meyah, Ma.”
“Oh, iya, ikan mas koki yang warna merah!”
seruku. “Mama harus selesain parcel ini. Om, kan besok nikah. Wulan, Mama,
Nenek, dan semuanya anter Om bawa parcel-parcel ini.”
“Kita, pegi, Ma, cemuana.”
“Iya, kita semuanya pergi. Makannya besok Wulan bangun pagi, ya,” seruku.
“Jadi, Mama boleh ngerjain parcelnya, ga?”
“Boyeh, pi Wuyan bantuin, ya, Ma.”
“Oke.”
No comments: