Upaya Meningkatkan Minat Baca di Kalangan Masyarakat Ibu Kota

 

Pernah mendengar istilah masyarakat Jepang tentang tachiyomi—membaca buku sembari berdiri. Kalian pasti tahu bahwa minat baca masyarakat di sana sangat tinggi tanpa mengenal usia. Saya memang belum pernah bertandang ke Negeri Sakura tapi ketika berselancar di media sosial. Kerap kali melihat kebudayaan negara-negara lain mengenai literasi, salah satunya, ya, tachiyomi di Jepang. Pemandangan membaca buku sembari berdiri banyak dijumpai, terutama tempat-tempat umum seperti halte, stasiun, atau paling banyak di toko buku.

Ternyata minat membaca mereka terbentuk sejak usia dini. Ketika memasuki usia pra sekolah, anak-anak wajib membaca buku selama 10 menit sebelum beraktivitas dalam sekolah. Membaca apa saja yang mereka sukai termasuk komik, misalnya. Berawal dari kewajiban, lalu berubah menjadi kebiasaan, dan akhirnya terbiasa membaca buku hingga dewasa.

Banyak fasilitas buku yang tersedia di sudut-sudut kota di Negara Jepang. Memudahkan masyarakat membaca dengan bebas tanpa dipungut biaya. Bahkan setiap toko buku menyediakan buku-buku yang tidak tersegel. Artinya, pengunjung berhak membaca tanpa harus membeli. Membuat toko-toko buku di sana selalu ramai dikunjungi.

Jepang tuh memang surganya pecinta literasi. Semoga tanah air tercinta kita bisa seperti itu, ya. Loh, memang Indonesia kenapa? Indonesia baik kok. Hanya saja tingkat pemahaman membaca terbilang rendah. Kenapa bisa begitu? Pemahaman membaca terbilang rendah, tidak lepas dari kurangnya minat baca masyarakat Indonesia. Kalau membaca saja tidak minat, bagaimana mau memahami.

Ternyata bukan hanya pemahaman membaca, tetapi minat membaca masyarakat Indonesia pun sangat rendah. Menurut data UNESCO pada tahun 2021 persentase minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen—berada di urutan kedua paling bawah diantara negara-negara lain. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia hanya 1 orang yang rajin membaca. Miris, ya, padahal membaca merupakan jendela ilmu. Manfaatnya pun banyak, salah satunya meningkatkan kualitas memori alias tidak gampang pikun. Kira-kira apa sih, penyebab rendahnya minat baca di tanah air.

Kalau ditanya penyebab, saya rasa ada banyak. Namun, jika ditilik dari data UNESCO di tahun 2021. Ada tiga faktor yang mempengaruhi rendahnya minat baca di Indonesia. Pertama—penggunaan gadget, kedua—game online atau social media, dan terakhir kurangnya bahan media baca. Mari kita bahas satu per satu.

Pertama, Penggunaan Gadget

Jika kita kembali ke tahun 90-an buku masih menjadi primadona untuk menggali informasi. Kalian yang kelahiran tahun tersebut pasti kenal dengan dua buku sakti ini—RPUL (Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap) dan RPAL (Rangkuman Pengetahuan Alam Lengkap). Dua buku itu menjadi pedoman masyarakat, terutama kalangan anak sekolah untuk menggali informasi apa saja. Jauh sebelum adanya internet.

Namun, kian lama kesaktiannya memudar bahkan lenyap, tersingkir dengan kehadiran internet. Terutama sejak maraknya penggunaan search engine—Google, misalnya. Masyarakat tidak perlu berupaya membuka lembaran RPUL kala mencari susunan kabinet. Cukup menuliskan kata k-a-b-i-n-e-t, lalu muncul semua informasi terkait kabinet. Kemudahan tersebut membuat buku semakin ditinggalkan.

Menyisakan dampak buruk bagi generasi zaman sekarang—generasi serba instan. Duh, istilah apa lagi itu. Jadi gini, ketika kita mencari informasi menggunakan buku, maka harus melakukan rangkaian proses—membaca per kalimat, membalik halaman, kemudian menyerap informasi yang dibutuhkan. Sedangkan untuk saat ini, masyarakat tidak perlu melalui rangkaian proses tersebut. Mereka hanya perlu menonton video yang berdurasi kurang lebih 60 detik ketika membutuhkan informasi. Ini faktor pertama, penyebab minat baca menjadi sangat rendah.

Kedua, Game Online atau Social Media

Maraknya game online saat ini sangat mempengaruhi rendahnya minat baca. Visual grafis dan audio sebuah game, dikemas secara apik sehingga memantik minat masyarakat untuk memainkan game. Tanpa melihat usia, mulai dari anak-anak, remaja, orang dewasa, atau orang tua sekalipun, mulai keranjingan. Mereka lebih memilih bermain game dibanding membaca buku untuk mengisi waktu luang.

Selain game, masyarakat kita keranjingan bermain social media. Bahkan diklaim bahwa masyarakat Indonesia dikenal sebagai pengguna aktif. Kebanyakan dari pengguna sangat tertarik menonton tayangan video yang berdurasi pendek dibanding membaca tautan berita. Seringkali, caption yang tertulis dalam sebuah unggahan video tidak dibaca tuntas, menyebabkan kesalahpahaman antara pembuat konten dan pemirsanya. Lalu berakhir sahut-sahutan posting dengan bahasa yang kurang baik. Dampak kecanduan bermain social ternyata bukan saja menurunkan minat baca. Namun, lebih buruk, kian marak pelaku tindak kejahatan bermula dari akun social media.

Ketiga, Kurangnya Bahan Media Baca

Faktor ketiga yang menjadi kurangnya minat membaca adalah kurangnya bahan media baca. Berbeda dengan Negara Jepang yang dengan mudahnya mendapatkan buku bacaan di tiap sudut kota. Di Indonesia sangat susah menemukan bahan bacaan kecuali di perpustakaan. Bahkan toko-toko buku di negera kita kurang diminati jadi daftar kunjungan.

Pelarangan membuka segel buku dalam rak menjadi salah satu alasan masyarakat enggan ke toko buku. Kita hanya diperbolehkan membaca blurb atau sisipan cerita yang tertera di sampul belakang. Kalau pun ada buku yang dibuka, itu adalah ulah pengunjung pemberani. Tindakan heroik bagi pengunjung lainnya. Berbeda dengan Jepang yang sengaja membuka label buku agar dinikmatin secara gratis oleh pengunjung. Hingga tercipta istilah tachiyomi yang justru menjadi cikal bakal kebiasaan membaca buku di tengah padatnya aktivitas.

Upaya Meningkatkan Minat Baca

Ketiga faktor itu menjadi dalang utama rendahnya minat baca dimasyarakat kita. Namun, dari ketiga faktor terdapat satu yang kini mulai disiasati oleh pemerintah daerah atau instansi lain. Salah satunya daerah DKI Jakarta. Kebetulan saya berdomisili di sana sehingga turut menyaksikan upaya meningkatkan minat baca di kalangan masyarakat ibu kota.

Salah satu kegiatan yang tengah digalakkan adalah Gerakan Baca Jakarta—diprakarsai Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusip) Provinsi DKI Jakarta pada April 2019 lalu. Salah satu kegiatan aktif dan sedang berlangsung—Tantangan Baca Jakarta.

Aktivitas Tantangan Baca Jakarta (doc. galeri sudinpusipju)

Tantangan membaca ini ditujukan kepada anak usia 4-18 tahun, selama 30 hari bersama keluarga di rumah. Harapannya, gerakan ini dapat menciptakan ekosistem membaca berkelanjutan. Dibangun dari sebuah kebiasaan membaca setiap hari. Tiap harinya memiliki tema bacaan yang berbeda. Para peserta akan mengisi booklet digital yang akan menjadi panduan aktivitas membaca. Buku bacaan yang dibaca berasal dari koleksi pribadi atau memanfaatkan perpustakaan digital seperti iJakarta, iPusnas, atau perpustakaan digital lainnya.

Setelah melalui tantangan 30 hari membaca. Setiap peserta yang lulus akan mendapatkan sertifikat. Dimana sertifikat tersebut dapat digunakan untuk memasuki jenjang sekolah tingkat selanjutnya. Pada saat PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) dibuka, peserta Tantangan Baca Jakarta dapat melampirkan sertifikat tersebut dan masuk ke dalam jalur Prestasi Non Akademik. Ini merupakan jalur khusus, karena calon peserta didik dapat memilih sekolah favoritnya tanpa melalui proses seleksi.

Kampanye yang tengah digencarkan oleh Pemprov DKI Jakarta dalam Gerakan Baca Jakarta memberi dorongan instansi lain melakukan hal sama. Berupaya membangkitkan minat baca masyarakat. Salah satu instansinya yaitu PT Kereta Commuter Indonesia—KCI. Membuka layanan baru—Commuter Reading Spot—layanan peminjaman buku secara gratis khusus penumpang KCI. Saat ini terhitung ada 11 stasiun yang memiliki reading spot.

Commuter Reading Spot di Stasiun Gondangdia (doc. foto pribadi)

Penumpang boleh membawa dan membaca buku disepanjang perjalanan KCI. Peminjaman buku dilakukan secara mandiri. Misalnya, saya mengambil buku di Stasiun Gondangdia, membacanya sepanjang perjalanan. Kemudian mengembalikannya di stasiun yang terdapat reading spot, seperti Stasiun Jakarta Kota—stasiun saya transit.

Peminjaman secara mandiri ini, menuntut kita bertanggung jawab atas buku yang dipinjam. Ingat, ya, bukunya jangan dicuri atau dirusak. Kita harus menjaganya agar dapat dinikmati bersama dengan pengguna KCI lain.

Sebenarnya spot baca seperti ini, ada di beberapa titik Stasiun MRT—Pojok Baca, namanya. Fasilitas dan penggunaannya mirip dengan Commuter Reading Spot. Hanya saja saya jarang menggunakan MRT, informasi yang saya dapat tidak begitu banyak. Berbeda dengan KCI yang menjadi sarana transportasi saya selama bekerja, sehingga tahu keadaan stasiun secara faktual.

Penumpang KCI mendonasikan buku (doc. foto pribadi)

Oh, iya selain meminjam, kita boleh loh mendonasikan buku di setiap spot baca. Terserah nyamannya kalian, ingin mendonasikan dimana. MRT boleh, KCI pun oke, atau di rumah saya, wah … boleh banget, he-he-he.

Semoga dengan adanya upaya dari pemerintah, instansi lain, dan pegiat literasi, mampu meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia. Sehingga diharapkan pemahaman membaca pun turut meningkat. Ayo kita dukung dan kawal upaya ini bersama-sama agar Indonesia menjadi bangsa yang cerdas. Mulai membaca, yuk.

 

 

 

Penulis: Dwinov Swa

Upaya Meningkatkan Minat Baca di Kalangan Masyarakat Ibu Kota Upaya Meningkatkan Minat Baca di Kalangan Masyarakat Ibu Kota Reviewed by Dwi Noviyanti on July 09, 2022 Rating: 5

4 comments:

  1. Wah aku baru tahu ada tempat peminjaman buku. Sejak kapan ada fasilitas itu?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Di Jakarta mulai banyak kak spot baca buku gratis. Fasilitasnya itu mulai dari tahun 2019, makin kesini semakin banyak fasilitas serupa. Selain stasiun, beberapa taman yang dikelola oleh Pemprov DKI Jakarta juga tersedia spot baca buku.

      Delete
  2. Canggih banget di ibukota sana. Semoga di kepri bisa nyusul juga lah. Amin... Oh iya, aku jadi teringat dulu waktu SD, dulu dekat banget sama RPAL dan RPUL, karena blm akrab sama internet wkwk.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin ...
      Ingat banget waktu jaman SD, selalu nenteng dua buku itu. Padahal RPUL dan RPAL, kan bukunya tebal kaya kamus sejuta kata, tapi saban hari nenteng dua buku itu, biar keliatan keren. wkwkwkwk

      Delete

Followers

Powered by Blogger.