Terapi Warna



Dulu begitu frustasinya menghadapi kemelut rumah tangga, aku mencari cara untuk mengurai stres kala menstruasi—tidak dapat mengadu kepada Sang Pemilik Takdir. Berusaha meredam emosi negatif dengan membeli mainan yang memiliki label anti stres seperti: spinner, squishy, slem, dan mainan lainnya. Namun, ternyata sia-sia—tidak ada pengaruhnya.

Hingga akhirnya, bertemu dan membeli sebuah buku. Buku istimewa yang berjudul Coloring Book for Adult – My Own World seri Human and Animal Edition, karya penulis Khalezza dan Tria N—penerbit Renebook. Buku tersebut memiliki tagline—Terapi Warna Anti Stress. Kumpulan sketsa manusia dan hewan disertai kalimat motivasi.

Saat mewarnai, aku larut di dalamnya karena kinerja otak kanan dan kiri melakukan tugasnya secara maksimal. Jikalau bermain teka-teki silang adalah bermain kata. Sedangkan mewarnai—bermain teka-teki imajinasi. Warna apa yang harus kuarsirkan ke dalam setiap bagian sketsa. Think and do berjalan susul menyusul hingga menciptakan sebuah karya yang membuat decak kagum. Meskipun pada saat mewarnai menahan derai air mata.

Perselingkuhan di depan mata

Kesepian merajam—mengemis perhatian

Terkurung dalam nestapa

Ketika Wulan—anakku lahir, aku sempat mengalami baby blues dihari kedua. Aku ditelantarkan seorang diri dalam bilik pengap nan temaram. Hanya ditemani manusia baru yang masih asing dengan atmosfer bumi. Membuatnya tak henti menangis dan meronta. Alih-alih menyusuinya, aku justru turut menangis. Rasa sakit pasca melahirkan membuatku hilang akal. Rasanya ingin menghilang dan meninggalkan Wulan sendiri. Pisau lipat dekat bayi direbahkan seolah memanggil. Kemudian membungkuk, menahan nyeri, dan berusaha meraihnya. Namun, tangan mungil yang mencuat dari kain bedong, menyentuh pipiku. Aku tersadar, merengkuhnya, dan memberi ASI.

Belajar menerima takdir

Kejadian malam itu membuatku bangkit—berusaha membesarkan anak dengan tanganku sendiri. Berhenti mengemis perhatian. Hingga akhirnya memutuskan berpisah dengan suami kala Wulan belum genap setahun. Aku mulai menata kehidupan. Menanggung sebagian hutangnya dan terseok menata ulang keuanganku. Belum lagi kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pokok Wulan. Semua proses itu kerap kali menimbulkan sakit kepala berkepanjangan. Hingga suatu ketika, aku membuka kembali buku anti stres yang pernah kubeli. Dalam halaman pertama—kata pengantar penulis—terdapat kutipan dari tokoh terkenal.

“We don’t stop playing because we grow old;

We grow old because we stop playing”

-George Bernard Shaw- 

Kalimat itu menggugahku untuk kembali mewarnai. Menikmati masa ketika bermain dengan warna. Mengalihkan perasaan negatif yang membelenggu. Aku pun mulai menikmati hidup di tengah proses yang tidak mudah.

Menikmati proses

Anakku kerap kali memperhatikan, kala aku tengah berkonsentrasi memadukan warna ke dalam sketsa. Sehingga dia ingin turut mewarnai. Aku mulai membelikan crayon dan mencetak ragam sketsa di kantor. Kemudian menjilid sesuai dengan jenisnya—hewan, bunga, kendaraan, istana, dan lainnya. Lalu membawa pulang dan memberikannya kepada Wulan. Dia sangat senang menerimanya.

“Mama, wanain ni, Wuyan yam ni.”

Katanya seraya mengambil buku sketsa milikku dan miliknya yang disejajarkan. Mewarnai menjadi salah satu aktivitas kesukaan kami kala mengisi waktu senggang. Kini, terapi warna bersama Wulan bukan untuk mengatasi stres. Melainkan, mengalihkan perhatian dari  penggunaan handphone yang berlebih.

Optimis menjalani hidup


 

 

Penulis: Dwinov Swa


Terapi Warna Terapi Warna Reviewed by Dwi Noviyanti on July 05, 2022 Rating: 5

No comments:

Followers

Powered by Blogger.