Tantrum

 


Sore menjelang azan magrib, aku dan Wulan—anakku, turun dari bus. Kami sudah sampai setengah perjalanan menuju rumah. Pulang, selepas mengunjungi rumah kakak yang cukup jauh. Sesampainya di halte dan hendak berganti kendaraan kecil—angkot, kami melewati tempat bermain. Disitulah, awal mula Wulan tantrum.

Setelah bermain hampir setengah jam di pemancingan ikan dan satu jam mandi bola. Dia tidak mau pulang. Padahal sudah dua hari kami berada di rumah kakak dan besok harus kembali bekerja. Rasanya ingin cepat sampai rumah. Istirahat dan merebahkan badan di atas kasur. Namun, semakin aku memintanya pulang, Wulan kian mengamuk.

“Nda Mo! Yan ga mo yam!”

Emosiku mulai menjalar karena rasa lelah dan kesal menghadapi ulahnya. Namun, berusaha meredamnya. Dia masih tetap bermain dalam kotak yang berisi bola warna-warni dan terdapat seluncuran. 

“Wulan, mainnya sepuluh menit lagi, ya. Abis itu kita pulang,” kataku.

Wulan hanya menggangguk. Sembari menunggu, aku membeli jus mangga dan menikmatinya. Sepuluh menit berlalu dan ternyata dia tetap tidak mau pulang.

“Ini udah malam, abangnya juga mau tutup.”

“Gak. Mo! Gak mo puyam!” tolaknya.

Kuseret Wulan ke luar arena bermain, dia mulai menangis. Tangisannya kian keras ketika langkah menjauhi arena bermain. Dia berteriak dan meronta sekuat tenaga. Sepanjang perjalanan, semua mata tertuju pada kami. Aku seperti orang yang sedang melakukan penculikan anak, pikirku.

Hingga sampai di tepi jalan tempat menunggu angkot. Kuturunkan dia dan menjaga jarak. Angkot pun lewat dan berhenti di depanku. Aku angkat Wulan untuk menaiki angkot, tapi dia kembali meronta. Kucoba memaksanya masuk, tapi tubuhnya dibuat kaku. Akhirnya aku menyerah dan membiarkan angkot lewat. Mengembalikan dia ke tempat semula.

“Aw ...! Sakit Lan,”

Tulang kering kakiku dia tendang. Entah keberapa kalinya tubuhku menjadi samsak amukannya. Hingga aku memberi jarak, tapi tetap siaga mengawasinya. Dia pun kembali menggelesot di tepi jalan.

Kuhisap jus mangga yang masih tersisa. Membiarkan Wulan meraung dan berteriak dalam tangisannya. Kami kembali menjadi tontontan bagi orang-orang yang melintas. Bahkan menjadi cibiran penumpang angkot yang berhenti.

“Itu emaknya gimana sih, anak nangis malah didiemin aja.”

“Iya tuh, kasihan banget anaknya.”

“Lah, iya sing bocah nangis, mamanya malah asik ngombe[1] jus.”

Aku membiarkan Wulan tantrum dan menunggunya kehabisan tenaga. Selama dia mengamuk, kupastikan kalau dia aman dan jauh dari barang-barang yang dapat melukainya. Sedikit pun tak peduli dengan cibiran orang yang tidak tahu cerita sebenarnya. Lalu, selang berapa menit kemudian aku mengajukan negosiasi.

 “Kamu, mau pulang atau engga?” tanyaku, “Kalau mau pulang Mama berentiin angkot, tapi kalau ngga mau, yaudah, kita di sini aja. Mama engga mau nurutin kamu. Biarin, kamu digigitin nyamuk disitu,” lanjutku.

Dia masih bersikeras tidak mau pulang. Tetap duduk diposisinya dan sesekali menepok nyamuk yang menggigiti kulit tangan. Lima  menit pun berlalu. Ketika aku tanya kembali, dia mengangguk perlahan, menyetujui untuk pulang. Kuhentikan mobil angkot dan membawanya masuk. Kami duduk berjajar dengan seorang kakek beserta dua cucu perempuan yang menempati kursi diseberangnya. Mereka berdua tengah asyik bercengkrama seraya mengamati ikan mas koki dalam plastik bening.

Ketika mobil mulai melaju, Wulan kembali tantrum. Bahkan lebih parah, dia meraung seraya menjempalit dalam kabin mobil bawah kursi. Tak hanya celananya, kini bajunya ikut kotor. Aku berusaha tenang dan tetap tidak menggubrisnya. Namun, sang kakek dan kedua cucunya panik. Mereka berusaha membujuk agar Wulan berhenti menangis.

 “Aduh … anak cantik kenapa ini. Kotor toh, Nak, ayo bangun. Kak, ikannya yang satu buat adenya aja, biar diem,” ujar kakek berusaha mendiamkan Wulan.

Aku dengan santai berkata kepada si kakek, “Biarin aja, Kek. Nanti juga kalau dia cape, berhenti sendiri nangisnya.”

Benar saja, selang berapa menit, dia berhenti menangis. Kebetulan ada penumpang baru yang hendak menaiki angkot. Dia pun bergegas bangun agar tidak terinjak oleh penumpang tersebut. Lalu, duduk berdampingan dan menyandar kepalanya di lenganku.

“Udah cape, nangisnya. Semakin Wulan bersikap seperti itu, Mama semakin tidak akan menuruti apa yang kamu mau. Ini sudah malam, kita dicariin nenek karena belum sampai rumah dari tadi,” tuturku agar dia mengerti. “Udah, ga usah nangis lagi, nih, kamu haus, kan.” Aku sodorkan jus mangga yang tersisa setengah.

Wejanganku membuatnya menitikkan air mata. Dia menerima jus dari tanganku dan mulai menghisapnya hingga tandas. Sang kakek hanya memperhatikan kami dan tersenyum, seakan pertanyaan dalam benaknya terjawab.

“Nanti, kita naik becak ya, Wulan kan senang kalau naik becak,” hiburku.

Wulan hanya menggangguk. Sepertinya kehabisan daya setelah tantrum.

“Maaf ya, Nak, Mama memang terlihat kejam di mata orang ketika membiarkan kamu mengamuk seperti itu dan jadi bahan tontonan. Namun, percayalah, semuanya demi kebaikan kamu. Mama sedang mengajarkan kamu kalau tidak semua hal yang kamu ingin, harus  dituruti,” tutur batinku seraya mengusap kepalanya yang bersandar.

 

 

Penulis: Dwinov Swa



[1] Minum (bahasa jawa)

Tantrum Tantrum Reviewed by Dwi Noviyanti on July 18, 2022 Rating: 5

20 comments:

  1. Cara mengahadapi anak tantrumnya sama kaya saya waktu anak2 masih kecil. Terlihat kejam memang dan sering dapat cibiran dari orang-orang. Tapi setelah anak besar, benar2 membuahkan hasil. Semangat yaaa mama cantik... Semoga Wulan jadi anak Sholihah 🥰🤗

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar banget Mba. Kuping saya udah kebal dengar cibiran, pelitlah, jahatlah, pokoknya macem-macem. Padahal mereka tidak pernah tahu alasan kita melakukan hal seperti itu. Jadi sebodo amat aja :d.
      Aamiin yaa robbal allaamiin, terima kasih atas doanya dan doa terbaik juga buat Mba dan anak-ank :)

      Delete
  2. menghadapi anak tantrum memang menguras emosi, kitanya harus tetap tenang, tapi ada masanya juga tantrum akan reda dengan sendirinya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bener banget, Mba. Tantrum paling hanya berapa menit aja. Kalau kitanya kalah dengan waktu yang sebentar itu, anak jadi mikir kita 'gampangan' dan mengulangi hal yang sama sebagai senjata.

      Delete
  3. MasyaAllah, perjuangan banget ya ngadepin anak tantrum. Ga boleh gampang naik darah. Jadi pembelajaran banget loh untukku yang masi single

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau anak tantrum sediain jus mangga kak Amel biar otak tetep adem, hehehe

      Delete
  4. Bingung emang ya mbak klo anak tantrum gtu, jadi kesel sih.Tapi emang harus gtu, q juga gtu sih mbak udah capek bujuk akhirnya di diamin aja.

    ReplyDelete
  5. Dulu anakku yang pertama begitu, suka tantrum. Sempat beberapa kali ngambek, tapi karena cara menangani nya sama seperti mba dwi, seiring waktu hilang sendiri mba. Tapi memang kita sebagai ortu harus tega ya begitu demi kebaikan anak.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalo kitanya tidak menuruti ketika tantrum. Otak anak akan berkata, "wah ... tantrum gak ngefek nih sama Mamaku."
      Jadi mereka ga akan mengulangi tantrum, hehehe

      Delete
  6. Wulan kayaknya kecapean main. Perlu makan dan minum dulu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Eh, betul Mba. Sampainya di rumah dia makan seporsi nasi dan ayam goreng sendiri. Wkwkwk after tantrum terbit lapar :d

      Delete
  7. Terkadang Ibu tidak tega seperti itu, tetapi semua untuk kebaikan Wulan. Ibu tidak pernah salah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Heeh bener, nanti kalo ka Edwin punya anak. Harus sepaham sama istri cara mengasuh anak, apalagi ketika menghadapi tantrum. Biasanya para bapak-bapak kan ga tegaan. Eh ... ko jadi ngawur komennya, peace :d

      Delete
  8. Tulisan kak novi selalu menginspirasi dan selalu ada pembelajaran didalamnya. Keren kak.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yang baiknya diambil, yang jeleknya dibuang aja, kak :d

      Delete
  9. Tantrum pada anak memang perlu kesabaran dalam menghadapinya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bener banget, Mba. Harus ada stock sabar yang banyak untuk seorang Ibu.

      Delete
  10. iya aku setuju, ketika kita tegas dengan anak bukan berarti kita kejam, tapi kita coba mengajarkan sesuatu yang kekak akan dia fahami, it's work in me and my son. be strong ya mama wulan. salut padamu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya bener, Bund. Aku juga pikir, posisi aku pun harus berperan jadi ayah untuk dia. Jadi, mau gak mau, aku sedikit keras tapi harus lembut diwaktu yang kadang bersamaan.

      Delete

Followers

Powered by Blogger.