Ketika tengah berbadan dua, aku berusaha
menerima nasib menjadi istri yang diduakan. Seiring bertumbuhnya janin, perhatian
suami kian luntur dan abai dengan tanggung jawabnya. Jangankan menemani periksa
kehamilan. Ketika kehamilanku bermasalah dan harus menginap rumah sakit, dia
tidak menampakkan batang hidungnya. Perlakuan yang paling tidak kusukai
darinya, kerap kali melampiaskan amarah ketika sedang bertengkar dengan istri
barunya. Entah sudah berapa banyak ratapan hati yang didengar oleh segenap
penghuni kamar. Kesepian merajam kala keluhan kehamilan muncul dan kualami
sendiri tanpa kehadiran suami. Gerakan pertama janin dalam kandungan, tidak
disambut dengan suka cita oleh ayah dan ibunya. Namun, diiringi tangis duka
lara seorang istri yang terabaikan.
Belaian kasih dari tangan seorang suami
yang menyapa anak dalam kandungan, sangat tabuh bagiku. Aku benci setiap jadwal
pemeriksaan kehamilan tiba karena harus terjebak dalam ruang tunggu. Benci
karena harus menyaksikan para suami yang sangat hati-hati menjaga istri yang
tengah mengandung buah hatinya. Benci karena aku hanya seorang diri. Katanya,
emosi seseorang yang tengah mengandung memang sangat labil dan itu hal normal.
Lalu, bagaimana denganku. Labil karena kehamilan dan diperparah dengan keadaan
psikis yang disebabkan pasangan hidup. Perut yang kian buncit membuatku sulit
melakukan aktivitas. Hingga membutuhkan pertolongannya yang tidak ada disisiku.
“Tenggorokanku
rasanya panas banget, aku mau minum tapi galon di kamar habis. Kamu kapan
pulangnya?” pesan singkat kukirimkan ke nomor suami.
“Manja amat sih! Tinggal beli air
kemasan,” balasan pesan singkatku.
Entah siapa yang menjawab pesan singkat
itu, suami atau istrinya. Kalimat pendek itu melukai perasaanku hingga berakhir
minum air mataku sendiri. Sedih dan kesal jadi satu. Janin dalam perut
menggeliat, ngilu rasanya. Aku hanya meringis dan menarik napas, mengurangi
ngilunya. Mungkin, apa yang kurasa selama ini tersalur ke janin sehingga dia
bereaksi.
Aku ingin sekali anak di dalam perut
mengenal ayahnya. Meski hanya sekedar menyentuh perutku. Bahkan ketika aku mengemis
minta hal wajar seperti itu, tak pernah dia gubris. Pernah sekali dia mendekati
perutku dan hendak bicara dengan anaknya. Namun, alih-alih menyentuh dan
berbicara lembut dengan sang janin. Dia mendekati perutku hanya untuk berteriak
tak keruan. Aku hanya diam dan bingung, apakah dia marah atau hanya bercanda.
Perasaan takut, kesepian, cemas, penyesalan,
dan perasaan negatif lainnya kerap kali aku rasakan saat hamil. Sepertinya air
mataku pun sudah kering, habis hingga tak tersisa. Tersalur dalam janinku.
Hingga ketika Wulan—anakku lahir dan bertumbuh, dia menjadi anak yang sensitif.
Mudah menangis dan mengkerut kala mendengar suara-suara keras; teriakan orang,
terompet, kembang api, guntur, dan bahkan suara debur ombak yang menjilati tepi
pantai.
***
Suatu hari ketika usianya belum genap
dua tahun aku mengajaknya berkunjung ke rumah teman di Wilayah Serang—Banten.
Kunjungan kami tidak direncanakan hanya terbesit begitu saja ketika aku main ke
rumah adik yang berlokasi di Tangerang—Banten. Temanku ini teman semasa sekolah
putih abu-abu. Meskipun kami tidak sekelas tapi kami tergabung dalam organisasi
di sekolah. Kami cukup dekat layaknya saudara. Dia tinggal di sana mengikuti
fitrahnya sebagai seorang istri karena suami bekerja dekat kawasan mereka tinggal.
Keluarga yang harmonis dan sempurna di mataku. Memiliki suami penyayang dan
bertanggung jawab serta memiliki anak yang sepasang—lelaki dan perempuan.
Aku dan Wulan pun sampai di rumah mereka.
Kami disambut suka cita oleh temanku yang sudah lama tidak bersua dan ibuk
menanyakan kabar serta bercerita apa saja. Sedangkan anakku sudah membaur
dengan kedua anaknya tanpa basa-basi. Setelah bercengkrama dan ngobrol ngalor
ngidul temanku membuka wacana untuk mengunjungi Pantai Anyer esok hari. Bermain
air dan pasir. Temanku merekomendasikan pantai karena lokasi dari rumahnya
tidak terlalu jauh. Selain itu anak-anak pasti akan sangat senang bermain di
sana. Namun, aku tidak segera menyetujuinya, mengingat tidak mempersiapkan
pakaian ganti.
“Ya elah, santai aja sih. Baju gue yang
ukuran badan lu, banyak. Tinggal pilih, udah gak kepake sama gue. Tau sendiri
badan gue sekarang, kaya sumo, he-he-he-he.”
Kami tertawa, anak-anak pun tertawa
ketika dia mengatakan kata sumo meski tidak tahu apa artinya. Pakaian ganti
Wulan menggunakan pakaian anak temanku yang tubuhnya tidak jauh berbeda.
Paginya kami bersiap berangkat menggunakan dua kendaraan roda dua. Aku
diboncengi suami temanku. Sedangkan temanku memboncengi adik ipar yang
menggendong anak keduanya. Kami sampai di pantai tidak mendekati siang.
“Ma, kita main pasil, ye ….”
Wulan senang ketika sampai di area
parkir dan melihat pasir begitu banyak. Tidak seperti di tempat bermain yang
pasirnya hanya sebaskom. Kami meletakkan tas dan bekal di sebuah saung yang tersedia.
Mengganti pakaian anak-anak dan berjalan menuju bibir pantai. Dalam gendongan,
anakku mulai merasa cemas. Beberapa kali memergokinya menutup kedua telinga
dengan tangan.
“Lan, liat tuh, wah … pasirnya banyak
banget. Tuh, liat, kakak lagi bikin istana pakai cetakan gelas dan kerang.”
Aku berusaha mengalihkan ketakutannya.
Dia pun teralihkan dan turun dari gendongan serta mulai bermain pasir. Tidak
jauh dari kami bermain, temanku dan keluarganya tengah asyik menikmati deburan
ombak yang hilir mudik sebatas paha dewasa. Tawa dan senyum saling berganti
dari wajah mereka. Terutama dari anak keduanya yang perempuan, terlihat lebih
menikmati ketika kepalanya dicelupkan dalam air. Meski tercengap, tapi gembira
ketika diangkat tinggi oleh ayahnya. Aku turut tertawa melihatnya.
Semakin siang, air laut makin tinggi.
Ombaknya mulai menjilati bibir pantai tempat anakku bermain pasir dan menyentuh
kakiku. Desiran ombak beradu dengan lajunya air laut yang datang dan kembali tanpa
perintah tanpa diminta. Tiba-tiba temanku mendekat dan mengajak aku dan Wulan
bermain air.
“Ayo, Lan, seru tau, tuh liat dede
kesenangan, gak mau berenti padahal udah dari tadi main airnya. Kamu juga,
yuk.”
Wulan hanya diam tidak menggubris ajakan
temanku. Tiba-tiba ombak besar datang dan menyapu semua istana, gunung,
kepiting, ikan, dan apa saja yang terbentuk. Hancur tak bersisa, begitu pun
undakan yang dibuat anakku. Niatku menghiburnya dengan menggendong dan berjalan
mendekati laut. Sampai batas air laut setinggi betis. Kami melihat ombak besar
menggulung air disertai buih dan suara desiran yang sangat keras.
Ditengah sorak sorai riuh kegembiraan
pengunjung lain menyambut ombak besar. Wulan ketakutan wajahnya pias. Aku berjalan
menjauh diiringi langkah yang dijiliati air yang hilir mudik. Hingga di batas
air semata kaki, aku duduk memangku Wulan. Merebahkan kedua kakiku yang kerap
kali disapa air. Dalam pangkuanku dia duduk membelakangi laut. Tiba-tiba ombak
yang lebih besar kembali datang diserta desiran ombak keras. Secepat kilat
menghantam kami hingga pakaian basah. Anakku menangis dan meratap.
“Mama … ayo puyam, hu-hu-hu-hu, puyam. Puyam
Ma.”
Aku tidak memaksakan keinginanku agar
dia berani. Hingga kami kembali menuju saung dan melambai ke arah temanku.
Memberinya kode kalau kami kembali ke saung.
“Maafin
Mama, ya, Lan. Mama janji, pelan-pelan akan bantu kamu menaklukkan ketakutan
dalam diri kamu,” tutur batinku menyesal.
Penulis:
Dwinov Swa
No comments: