Plester Luka

 


Di tengah asyik membereskan kamar atas seorang diri. Tiba-tiba, Wulan—anakku, tergopoh menaiki tangga, lari menuju kamar, dan menutup pintu serta menguncinya.

“Kamu kenapa?” kataku.

“Ssst … jangam  bisik,” pintanya agar aku tidak berisik.

“Wulan …! Ini apa-apaan, boneka diplesterin semua. Dagangan Nenek habis! Kabur kemana nih anaknya!” Nenek Wulan mencak-mencak mengetahui dagangan warung—plester luka, habis dibuat main cucunya.

“Ya ampun Wulan ... Ih, kamu tuh main apaan sih, itu kan dagangan Nenek. Tuh, Nenek marah, nyariin kamu.”

“Ma, boneta tatit.”

Bonekanya sakit dan dia obati dengan menempel plester luka di seluruh wajah, tangan, serta kaki. Ingin marah tetapi tak kuat menahan tawa ketika melihat boneka yang teraniaya olehnya dari anak tangga. Setelah kejadian itu, Mama menyimpan plester luka jauh dari jangkauan cucunya.

***

Suatu malam, ketika aku tengah membenahi perkakas. Tanganku tergores pisau lipat. Seketika, keluar sebulir darah. Membuat Wulan yang berada disampingku terperanjat.

“Mama, teyuka!” serunya seraya melihat tanganku, “Tundu, ya, Mama diem situ,” lanjutnya, lalu meninggalkanku.

Aku hanya tersenyum melihat dia cemas dengan gayanya yang mirip aktris cilik—tayangan dalam ponsel. Dia kembali dan menghampiriku dengan wajah muram.

“Ya … tempeyan da ada, Wuyan da nemu,”

“Ha-ha-ha, diumpetin sama Nenek, ya. Wulan sih, main plester terus,” kataku terpingkal, “Terus, luka Mama gimana dong?” tanyaku.

“Makanya, Mama ati-ati! Bental, Ma, bental.”

Wulan menasehatiku dan kembali berlari menuju warung nenek di bawah. Kali ini dia tidak menyusuri warung, tetapi bertanya ke Oliv—kakak sepupunya, yang tinggal di rumah.

“Kak, tempel mana?”

“Tempel apaan?”

“Itu … tempel, tuk yuka.”

“Oh … plester, engga ah! entar kamu diomelin nenek, mainan plester terus.”

“Butan … butan tuk Wuyan … tuk Mama.”

“Wulan bohong, ya ….”

“Ngga, Ka, Mama bedayah. Kalo caya, sini deh, sini.” Wulan meyakinkan Oliv dengan menarik tangannya untuk melihat aku yang terluka.

“Yaudah, Kakak ambilin, tapi satu aja, ya.”

“Dua Kak, dalahna banyak.”

Aku hanya tersenyum mendengar percakapan mereka dari ujung tangga. Ketika Wulan sudah terlihat di anak tangga, aku pun bergegas kembali ke dalam kamar. Dia menghampiriku dengan menunjukkan plester yang dibawa.

“Sini, Ma,” pintanya mendekat, “Bental, Wuyan buta dulu,” katanya membuka plester.

“Jangan kenceng-kenceng, ya,” kataku.

“I-ya … Mama jangam nanis.” Dia merekatkan plester ke tanganku.

“Aw ….”

“Tahan, Ma, tahan, huf-huf-huf,” ujarnya seraya meniup luka, “Bental lagi selesai.”

Dua plester luka tertempel bersilang menutupi luka yang secuil. Namun, aku menghargai perhatian dan usahanya untuk mengobatiku. Setelah kuucapkan terima kasih, dia tersenyum lega sekaligus bangga karena telah menolong mamanya. Sejak saat itu, ketika aku beraktivitas menggunakan benda tajam, dia akan selalu mewanti-wanti.

 “Mama, ati-ati, ya.”

 

 

 

Penulis: Dwinov Swa

Plester Luka Plester Luka Reviewed by Dwi Noviyanti on July 03, 2022 Rating: 5

No comments:

Followers

Powered by Blogger.