Pergantian Tahun

 


Aku bersama keluarga tinggal di pinggiran kota—wilayah pesisir pantai Jakarta. Warga disekitar lingkunganku selalu sibuk setiap tanggal 31 Desember setiap tahunnya. Menyiapkan tradisi—perayaan kecil di rumah masing-masing. Perayaan pergantian tahun dengan bakar-bakaran—memanggang ikan, ayam, udang, jagung, baso, atau sosis depan rumah. Memanggang secara tradisional menggunakan bara. Ikan laut menjadi primadona sebagai bahan bakar-bakaran. Tradisi tersebut akan mulai dilakukan setelah usai salat isya. Entah siapa yang memprakarsai tradisi tersebut. Aku pun tidak tahu.

Ikan laut menjadi bahan istimewa bakar-bakaran setiap tahunnya. Hingga tak pelak wilayahku tinggal menjadi tujuan para pembeli. Bukan hanya terdapat beberapa pelelangan ikan. Namun, setiap pagi sebelum malam pergantian tahun. Pedagang ikan menjajakan dagangannya di pinggir jalan raya. Jalan utama yang menuju pusat kota. Memudahkan pengendara yang lalu lalang melipir dan membeli secara langsung tanpa turun dari kendaraan.

Aku turut menyiapkan bahan untuk bakar-bakaran dengan membeli ikan bawal laut, sosis, dan jagung. Menyiapkan alat untuk membakar dan bumbu bakaran. Sore berlalu dan malam siap menghantar keriaan masyarakat dalam menyongsong tahun baru. Jam sudah menunjukkan delapan malam. Para warga sudah mulai menyalakan musik dengan suara yang sangat keras. Melodi dan irama berdendang saling sahut menyahut. Arang yang dibakar menghasilkan asap pedih di mata sebelum menjadi bara. Namun, tidak menyurutkan antusias warga.

Ketika yang lain tengah berpesta menyambut detik-detik pergantian tahun baru. Anakku—Wulan, mulai gelisah. Takut melihat asap dan suara menggelegar dari sound sistem yang sengaja terpasang oleh tetangga untuk mendengarkan lagu. Anakku pun takut terhadap api, termasuk asap. Sepertinya aku yang salah karena sejak dia kecil mengafirmasi berlebihan terhadap bahaya api.

 “Udah, Ma?” tanyanya dalam mata yang tertutup.

Dia akan menutup mata kala melintasi tempat makan yang tengah memanggang pesanan pembeli. Wulan tahu, asap dihasilkan oleh pembakaran yang berasal dari api. Hingga akhirnya dia pun takut dengan asap.

Selain api dan asap dia takut dengan suara kembang api yang seperti tembakan. Meski letupan dari selongsong akan menghasilkan kembang nan indah menghiasi angkasa. Dua komponen penting yang menyemarakkan tradisi pergantian tahun baru. Namun, mejadi boomerang bagi Wulan. Hingga aku selalu berharap, malam pergantian tahun baru turun hujan dan badai.

Ternyata doaku terkabul. Dua tahun berturut-turut, di Jakarta turun hujan dan badai saat malam pergantian tahun. Kalau pun tidak hujan. Tradisi bakar-bakaran tidak diperbolehkan. Pemerintah tengah gencar mengawasi seluruh rakyat dalam penerapan salah satu protokol—menghindari kerumunan. Tanpa kecuali tempatku tinggal. Protokol tersebut tercipta sejak adanya virus COVID-19. Virus yang bertubuh mungil dan kasat mata telah menginvasi bumi. Masyarakat dunia gempar akan kehadirannya, tapi mulai terbiasa hidup berdampingan dengannya.

Dua kali malam pergantian tahun, aku dapat bernapas lega. Namun, berbeda dengan tahun ini. Malam pergantian tahun 2021 menuju 2022. Suasana langit sangat cerah. Cuaca pun bersahabat. Matahari menampakkan tubuhnya yang gagah. Hingga tenggelam keperaduannya dengan begitu indah. Suasana yang dinantikan banyak orang menjadi hal yang tidak diharapkan buatku, terkhusus Wulan.

Memasuki malam, selintingan kembang api mulai diletupkan. Membuat anakku resah. Dia ingin bermain dengan teman-temannya, tapi seluruh gang dikepung asap dan terdengar suara menggelegar dari setiap rumah. Mengurungkan niatnya dan hanya berada di dalam kamar atas.

“Ma, uda beyom?” tanyanya mengintip dari sudut dapur.

“Bentar lagi, Lan. Mama nyiapin bumbu dulu, nanti Mama ke kamar. Wulan di kamar aja, nonton Little Pony atau Boboiboy,” ujarku yang sibuk menguliti ikan segar.

Wulan sedari tadi sudah memintaku masuk ke dalam kamar dan menemaninya. Ketika kuserahkan ikan beserta bumbu kepada Mama yang tengah membuat bara. Ternyata Oliv—kakak sepupu Wulan, membutuhkan bantuan—memasukkan sosis dalam tusuk sate. Aku pun membantunya seraya berbincang dan bercengkrama bersama Mama dan Oliv. Hingga lupa dengan janji kepada Wulan.

“Mama …! Kok ga naek-naek sih!” serunya.

Wulan protes dan marah. Lalu menangis, membuatku bergegas menuju kamar. Kusudahi kesenangan bercengkrama dengan mereka. Ketika waktu menjelang detik-detik pergantian tahun. Kembang api mulai disulut satu per satu. Langit kian cerah dengan gemerlap kembang api. Sahutan suara dentuman terdengar bertubi-tubi. Dalam dekapan, anakku meringkuk. Hanya mampu memejamkan mata atau sesekali menutup kedua telinganya.

“Coba deh, Wulan lihat. Kembang apinya bagus … banget. Langitnya jadi warna-warni,” bujukku.

Wulan tidak menggubris bujukanku. Dia kian gelisah, berusaha terlelap. Akhirnya kututup semua pintu dan jendela. Lalu kusetel film kesayangannya dengan suara yang cukup besar. Hingga pendengarannya teralihkan.

Tahun pun berganti dengan harapan baru. Cuaca yang begitu cerah seolah memberi kabar kalau tahun ini akan menjadi harapan baru setelah dua tahun melalui kesulitan karena dibersamai dengan virus COVID-19. Aku berharap, suatu saat nanti Wulan dapat menikmati indahnya kembang api yang menghiasi angkasa pada malam pergantian tahun.

 

 

Penulis: Dwinov Swa

Pergantian Tahun Pergantian Tahun Reviewed by Dwi Noviyanti on July 22, 2022 Rating: 5

No comments:

Followers

Powered by Blogger.