“Ka-ka-mu … siapa?” tanyaku gugup.
Bagaimana tidak gugup, ketika membuka mata. Tiba-tiba
dalam kamar terlihat sosok lelaki tinggi nan tegap. Berpakaian seragam polisi. Otot
lengannya kekar, mencuat di sela lubang lengan seragam—hasil pull dan push up
yang tak terhitung. Rambutnya cepak, hidungnya bangir, alisnya tebal, dan
memiliki mata besar. Aku terkesiap tatkala tatapan matanya yang tajam beradu. Menghunus
telak jantungku.
“Ini aku!” serunya.
“Dulu aku pernah berkelahi dengan Topan,” ujarnya menjelaskan tentang dirinya.
Namun, membuatku
kian bingung. Siapa dia dan siapa Topan yang dimaksud.
“Topan, siapa?” tanyaku penasaran.
“Topan temannya Ali, Beo, dan Ibeng. Kamu
kenal Ibeng, kan?”
Seketika otakku dibuat bekerja lebih
keras. Dahiku mengkerut berusaha mencungkil memori di masa lalu. Mengingat nama-nama
yang lelaki itu sebutkan.
“Oh … Ibeng!” seruku. “Tapi, kenapa kamu
sampai berkelahi dengan Topan?”
Aku bertanya dengan penuh rasa bingung.
Masih belum terlihat benang merah antara perkelahiannya dengan salah
satu teman lelaki di masa lalu.
“Karena aku, sayang sama kamu,” ujarnya
lugas.
Perkataannya seperti memercik ingatan. Tiba-tiba tubuhku kaku. Serasa disekap oleh
balokan es di pasar ikan. Lalu, mencair begitu cepat. Tertabrak sinar ultraviolet dengan kadar tertinggi. Leleh tanpa sisa. Hingga menembus
otak dan mengenali, lelaki di hadapanku.
Seketika Aku merunduk, layaknya tanaman mimosa
pudica yang sudah terjamah tangan manusia. Menunduk dalam diam dan berusaha memikirkan
apa yang seharusnya dikatakan.
“Itu sebabnya, aku harus menjaga jarak
dan pergi dari kehidupanmu. Hilang dari pandangan dan dari setiap radarmu yang
selalu mengintaiku.”
“Kenapa?”
“Aku tidak menyayangimu,” ujarku tanpa
menatapnya.
“Bohong!”
Lelaki itu menyanggah perkataanku. Benar. Aku, berbohong. Tanpa
kusadari tangannya menyentuh kedua pipiku yang telah rembes dengan air mata, entah sejak kapan. Menghadapkan wajahku dengan wajahnya. Mengangkat wajahku yang tertunduk
secara halus. Kami beradu tatap seolah tengah berbincang dalam hati.
“Kamu tahu, berulang kali aku gagal
menjalin hubungan selepas kamu menghilang. Kerap kali aku salah memanggil nama
wanita yang menjalani hubungan denganku. Namamu yang selalu kupanggil. Namamu
terpatri dalam pikiranku. Aku tidak percaya kalau kamu tidak menyayangiku. Apa
arti air mata ini?” tuturnya seraya menepis air mata yang kian luruh.
Keheningan menguasai kami setelah aku
menepis tangannya. Kembali menunduk menekuri lantai. Perkataan dan tatapannya yang hanya sesaat, Membuatku
kembali merasakan desir kasih yang dulu sangat kunikmati. Tutur katanya yang
lembut tak luntur dimakan waktu. Penuh kasih dan ketulusan.
Masa lalu bersama lelaki itu begitu membahagiakan. Rasa sayangnya terpancar dari setiap kebersamaan kami. Kehadirannya selalu menjadi obat kala sendu menyapa. Kami pernah merasakan dimabuk asmara di tengah hubungan yang tidak pernah diresmikan.
Namun, berakhir dengan pikiran tentang perbedaan yang mengusik. Kami tidak mungkin bersatu. Selalu terbentur dengan perbedaan keyakinan antara aku dan dia.
“Kamu, tahu, kan. Apa yang membuat kita tidak bisa bersatu,” ujarku seraya memberanikan diri menatapnya.
“Kita, beda!"
"Agama menghalangi kita,” lanjutku terisak.
Kini bukan hanya wajah yang dia paksa berhadapan. Namun, dia merengkuh tubuhku yang tremor menahan gejolak emosi yang tertahan. Pelukannya begitu hangat.
Tangan kekar nan lembut membelai punggungku.
Ada kehangatan dari bahuku yang menopang wajahnya. Berasal dari air mata yang cukup
deras mengalir dari kedua matanya.
Di tengah kesenduan yang merajam. Terhanyut
dalam dekapan orang terkasih. Tiba-tiba air mengalir dari bawah kakiku sampai
ke pangkal paha. Kian lama alirannya semakin deras. Membuatku terbelakak, panik,
dan tersadar.
“Wulan …! Ah! Ngompol, kan. udah
dibilang jangan lompat-lompatan kalau mau tidur!” seruku kesal karena terbangun
dari mimpi.
Kusingkirkan Wulan—anakku dari jejak ompolan yang dia cipta. Kulepas seluruh pakaiannya yang rembes. Membiarkannya berada di sudut kasur berbalut selimut.
Aku mencuci pakaian yang terkena ompol
dan kembali ke kamar. Membawa pakaian yang sudah di cuci dengan segayung air busa. Lalu kuseka bagian yang terkena ompol dengan air sabun secara
berulang. Setelah terlihat semakin basah, kemudian membiarkan kipas angin meniupkan
angin ke sisi kasur.
“Kamu tuh, ya, Lan. Bikin mimpi Mama buyar aja. Kapan lagi coba dipeluk pacar polisi,” ujarku tersipu seraya memakaikan Wulan pakaian.
Wulan hanya pasrah dan tetap terpejam ketika kugeser posisi tidurnya. Bahkan, terlihat seulas senyum dari bibirnya yang terlelap.
Bunga tidurnya indah banget ya. Auto ngakak, seketika mimpi itu berhenti gara-gara wulan ngompol
ReplyDeleteAmbyaaar ya haha
ReplyDeleteYahhhh... Nanggung banget sie... Hahaha...
ReplyDeleteTulisannya bagus dan lucu kak. Ikut ketawa bacanya.
ReplyDeletewkwkwk ngompol yang membuyarkan mimpi
ReplyDeletejadi teringat dulu saat dulu sering ngompol haha
ReplyDeleteKeren cerpennya. Di awal cerita bingung kenapa judulnya ompol tapi berkisah tentang cinta he..he..
ReplyDeletekoq saya jadi ketawa cekikikan ini bacanya...sudah seriuss serius aduuh ternyata mimpi dan ngompol wkwkwkwk...
ReplyDeleteKeren banget kak ceritanya, kreatif deh..
ReplyDeleteternyata mimpi toh ..wkwkwkwk
ReplyDeletewahahaahahha.....mimpinya keren mbak, semoga jadi kenyataan lah...
ReplyDelete