Kamis selepas pulang bekerja. Beberapa kali melihat Wulan—anakku tengah mengucek mata bagian kanan. Mungkin matanya gatal karena main bersama temannya di luar rumah, pikirku. Keesokan pagi, mata kanannya terlihat sedikit merah. Sebelum berangkat aku berpesan kepada Mama—neneknya, untuk meneteskan obat mata. Hari berlalu dan aku sudah sampai di tempat kediamanku setelah menjalani rutinitas bekerja. Setelah memarkirkan Mamang—sepeda listrikku, bergegas menghampiri Wulan dan melihat matanya. Kemerahan pada mata kanannya berkurang dari terakhir aku lihat sebelum berangkat. Namun, sepertinya mata kanan membagi kemerahannya ke mata kiri. Meskipun kedua matanya kini menjadi merah, dia masih sangat ceria. Nafsu makannya tidak berkurang dan tidak mengalami keluhan lain, hanya matanya yang merah. Kondisinya yang seperti itu membuatku tenang dan hanya rutin meneteskan obat mata sesuai anjuran.
Hingga ketika
kami bangun tidur di Sabtu pagi. Aku menyadari ada gejala lain dari mata Wulan.
Dia tidak dapat membuka kelopak mata karena adanya tumpukan kotoran di area
mata. Kubantu membersihkan kotoran tersebut menggunakan kapas yang dicelupkan
air hangat. Setelah dia membuka mata, ternyata matanya kian merah. Ketika
kusentuh dahinya, dia sedikit demam. Lama kelamaan demamnya bertambah tinggi. Untung saja hari libur, aku dapat
mengawasinya dengan seksama.
Tubuh yang
demam membuat dia lesu tak bergairah. Hanya rebahan di kamar dan menonton televisi.
Makannya pun mulai tidak berselera. Jika Wulan sudah tidak berselera makan,
tandanya dia benar-benar sakit. Melihat kondisinya yang lemah dan matanya mulai terlihat bengkak, aku memutuskan mengunjungi Klinik Sammy—balai
pengobatan—klinik langganan Wulan kala sakit. Entah kenapa dari sekian klinik
yang berada di sekitar rumah, hanya di sana obatnya cocok untuk anakku.
Meskipun harus merogoh kocek lebih banyak ketimbang berobat di klinik lain.
Namun, sayang, ketika kami ke sana kliniknya tutup. Mungkin, masih terlalu
pagi, pikirku. Hingga memutuskan untuk mengunjunginya kembali pada sore
hari. Ternyata klinik buka disiang hari dan hanya buka beberapa jam karena
dokternya sedang ada urusan.
Entah kenapa, tubuh anak yang kugendong sedari tadi menjadi terasa lebih berat setelah mengetahui bahwa kami tidak dapat berobat di sana. Terseok-seok aku berjalan menuju rumah karena membawa harapan kosong. Dalam gendonganku Wulan menyandarkan kepalanya ke pundak, sesekali menatap wajahku yang berpeluh. Seulas senyum aku berikan kepadanya meski letih menyergap. Sebenarnya bisa saja aku menaiki kendaraan umum, tetapi uangku tidak cukup. Meskipun gagal berobat aku beralih membeli obat. Obat mujarab yang ampuh menurunkan demam dan nyeri harganya hampir setara berobat di klinik.
Aku
nelangsa karena Wulan sakit di saat aku tidak mempunyai uang simpanan sama
sekali. Ingin meminta tolong kepada keluarga, rasanya bukan solusi karena beberapa hari lalu Mama dan adik meminta bantuan kepadaku—minjam uang. Lalu, terbesit
ingin minta tolong kepada orang lain, tapi segan. Kejadian beberapa waktu lalu
menyadarkan aku untuk tidak bergantung kepada orang lain, terutama para lelaki.
Memang benar, mereka dengan mudah mengulurkan tangan ketika aku meminta
pertolongan. Namun, ternyata memiliki niat terselubung karena statusku yang seorang
janda.
Selama
libur bekerja—Sabtu dan Minggu, aku benar-benar memperhatikan Wulan. Mulai dari
makanan yang dia konsumsi, mencegah tangannya yang kerap kali menggosok mata
dan menemani menonton film dalam kamar. Tetes mata masih rutin kuteteskan dan mulai
memberinya obat penurun demam. Selama aku libur dia baik-baik saja meski kedua
matanya masih meradang. Hingga hari Senin aku memutuskan berangkat kerja.
Berpesan kepada Mama untuk meneteskan tetes mata dan memberinya obat apabila dia
demam. Namun, meskipun raga berada di tempat kerja hati kelesah memikirkan
Wulan di rumah.
“Ma, Wulan
gimana?” tanyaku ketika sambungan telepon terhubung.
“Badannya
anget lagi, barusan Mama minumin obat. Sekarang anaknya lagi tidur.”
Akhirnya
aku meminta izin untuk pulang lebih cepat. Sesampainya di rumah, Wulan tengah
berbaring. Aku melihat kedua matanya bukan hanya merah melainkan bengkak lebih
besar. Semalaman Wulan gelisah dalam tidurnya. Padahal sudah kuberikan obat
penurun demam disertai pereda nyeri. Namun, tidak ada perubahan. Suhu tubuhnya
turun naik. Suhunya turun setelah diberi obat, lalu selang empat jam kembali naik.
Kucoba berbagai cara untuk membuat dia tenang. Hingga terlelap dalam pangkuanku
yang tengah bersandar di tembok kamar. Beberapa menit kemudian dia terbangun
dan mengerang. Seketika aku terbelakak, membuka mata yang baru terpejam sekian detik. Kepanikan menjalar ketika suhu badannya kembali naik. Hingga
aku tumpahkan rasa panikku kepada Mama yang tengah bermunajat dini hari.
“Ma, gimana
ini, Wulan kok masih demam aja, ya. Padahal semaleman empat jam sekali aku
kasih obat.”
Mama
memegang dahi Wulan yang sangat panas dan berujar, “Yaudah bawa ke rumah
sakit.”
“Tapi, Ma, aku
gak ada uang sama sekali. Berobat ke rumah sakit biayanya mahal. Mama tolongin bantu
cari pinjaman ke orang, ya. Nanti aku bayar pas gajian.”
Pagi hari
aku bergegas ke rumah sakit swasta. Menuju area pendaftaran dan mendaftarkan
Wulan ke poli mata. Ketika sampai di depan klinik, ternyata antrian pasien sangat
banyak. Aku menunggu antrian sembari menggendong anakku yang tidak mau di
turunkan sedetik pun. Bahkan ketika
tidak bisa menahan kandung kemih yang penuh, aku memangkunya. Untung saja toilet
rumah sakit menggunakan closet duduk. Memudahkanku menuntaskan hajat.
Akhirnya nomor
antrian dipanggil. Kami memasuki ruangan yang serba putih dengan alat-alat
penunjang pemeriksaan khusus mata. Dokter wanita dengan hijab berwarna biru
menyapa dengan penuh kehangatan. Memeriksa kedua mata Wulan dibantu dengan
seorang perawat wanita. Hasil diagnosa yaitu anakku mengalami konjungtivitis—peradangan pada
konjungtiva, disebabkan infeksi bakteri. Sehingga terjadi peradangan yang mempengaruhi
daya tahan tubuhnya. Dokter meresepkan tiga jenis obat—dua diantaranya berupa
tetes mata dan penurun demam. Namun, uang yang kubawa ternyata tidak cukup
menebus kesemua obat tersebut. Hingga kuputuskan hanya menebus kedua tetes
mata.
“Gak
apa-apa, jangan sedih, obat demam kan masih ada di rumah.”
Aku menghibur diriku sendiri yang tiba-tiba muram ketika melihat harga obat. Merasa jadi ibu yang gagal. Hanya untuk mengobati anak saja tidak mampu. Terlebih ketika ingat bahwa uang yang kupegang pun hasil meminjam. Kususuri selasar rumah sakit menuju pintu utama. Berjalan seraya menatap Wulan yang tengah tertidur dalam dekapan. Lalu menatap nanar orang-orang yang berlalu lalang dengan tatapan nelangsa.
Penulis: Dwinov Swa
No comments: