Aku dan Wulan—anakku, terbiasa
menghabiskan nasi yang sudah tersaji dalam piring. Tidak meninggalkan sebulir
pun. Jika terdapat sisa nasi, maka kami harus bersiap mendengar ocehan
Mama—neneknya Wulan.
“Nyentong nasi jangan banyak-banyak,
dikit aja kalau kurang baru nambah. Kalau gak habis begini, kan, mubazir!”
“Nenek dari
tadi suruh Wulan duduk, bukan makan sambil kesana-kemari, kalo nasinya udah
tumpah gini gimana, hah!”
“Kalian tuh ga pernah tau, susahnya
makan nasi waktu Mama kecil, hiks. Mau makan harus ikut kerja di kebun orang,
itu juga makannya nasi jagung, numbuk dulu. Bisa makan nasi tanpa lauk itu
rasanya senang … banget. Eh, ini nasi dibuang-buang.”
Beberapa perkataan Mama yang sering
sekali dikatakan kala emosional terhadap penyia-nyiaan nasi. Bahkan meratapi nasi yang tengah dia jemur, pemberian tetangga. Dalam gang sempit rumah
kami, Mama menampung nasi basi. Menjemurnya hingga kering kemudian dikumpulkan
dan dibeli oleh pengusaha ternak untuk dijadikan pakan. Hasilnya tidak seberapa
dibanding lelahnya turun naik tangga menjemuri nasi-nasi basi. Namun, dia tidak
tega melihat nasi yang pernah menjadi barang berharga dalam hidupnya,
terbengkalai begitu saja.
Berkat itu, kami—anak-anak dan
cucu-cucunya tidak akan menyia-nyiakan nasi dalam piring. Terutama aku dan
Wulan yang tinggal seatap bersamanya. Anakku yang berusia empat tahun akan
selalu melapor apabila makanan dalam piringnya habis. Bahkan kebiasaannya
adalah menghabiskan nasinya terlebih dahulu kemudian lauknya. Meskipun demikian, ada kalanya dia menyisakan nasi karena lauk habis lebih dulu.
“Nasinya habisin dong, lauknya tambah
gih. Nanti kalau gak dihabisin, nasinya nangis,” ujar Mama merayu.
Wulan nurut, mengambil lauk dan mulai
menghabiskan nasinya, lalu bertanya kepadaku, “Nasi, isa nanis, Ma?”
“Iya, nasi bisa nangis kalau kamu gak
habiskan. Nasi yang dipiring kesepian dan sedih karena yang lain sudah masuk
mulut, tapi dia masih di piring.”
“Oh … gitu.”
Suatu sore di hari Kamis, ketika berbuka
puasa. Mama terlalu banyak makan kudapan, membuatnya menyisakan nasi dan
sebagian lauk dalam piring. Wulan pun melayangkan protes.
“Nene! Ko mamna ga abisin, ental nasi
nanis, Ne.”
“I-ya … tapi Nenek kekenyangan nih,
nanti Nenek habisin selesai salat isya, Nenek janji.”
“Ha-ha-ha, diomelin cucunya, lagian sih
tumben amat beli kue gitu-gituan, biasanya buka langsung makan nasi,”
kelakarku.
Saat makan bersama keluarga. Kami
terbiasa mengambil nasi sedikit dan akan menambah nasi apabila masih terasa
lapar. Hanya saja, terkadang Mama kalap ketika aku membeli atau memasak masakan
kesukaannya. Nambahnya terlalu banyak hingga tak sanggup menghabiskan. Lalu dia
akan meminta pertolongan anggota keluarga lain—bantu menghabiskan nasi beserta
lauk yang tersisa. Namun, apabila tidak ada yang membantunya, nasi
beserta lauk tersebut akan dia simpan dan dimakan beberapa saat kemudian.
Haram bagi Mama menyia-nyiakan sebulir nasi.
Penulis:
Dwinov Swa
No comments: