Mimisan


“Srek, der, srug-srug,”

Samar terdengar suara krasak krusuk dari sudut kamar, membuatku terbangun dari tidur. Ternyata suara pintu yang berusaha dibuka oleh Wulan—anakku. Dia menoleh kearahku ketika sadar tengah diperhatikan. Aku terperanjat dan bangun secepat kilat kemudian menghampirinya. Pipi, telinga, dan tangan anakku terlihat bercak merah. Dalam genggamannya terselip selembar tisu berisi rembesan darah. Wulan mimisan. Darah masih mengalir dari salah satu lubang hidungnya. Kududuki Wulan dan menyumpal hidung yang berdarah dengan tisu yang kupilin.

"Wulan mimisan? Kok gak bangunin Mama?"

"Mama, bobo, yan mo ci daya," ujarnya tenang seraya menunjuk kamar mandi.

Dia hendak membersihkan darahnya sendiri. Namun, karena pintu kamar terkunci ganda—atas dan bawah terselot, hingga tidak dapat terbuka. Diusianya yang belum genap tiga tahun, Wulan sudah terbiasa dan terlatih menangani mimisan. Ketenangannya melihat darah mengalir dari hidung membuatku merasa de javu. Seolah melihat aku kecil dalam dirinya yang kerap kali mengalami mimisan.

"Mama ...! darahnya keluar terus. Kalau aku kehabisan darah gimana?"

Aku kecil selalu berkata demikian ketika darah keluar dari hidung. Seiring waktu menjadi terbiasa. Bahkan, ketika mimisan aku tidak bergegas menyumbatnya dengan daun sirih—obat herbal menurut Mama. Namun, yang kulakukan adalah melihat cermin. Pantulan cermin yang memperlihatkan seorang anak kecil keluar darah dari hidung, terlihat sangat keren. Seolah aktris yang memerankan adegan perkelahian, terkena pukulan, lalu berdarah. Hingga menekuri diri di depan cermin beberapa saat seraya tertegun dan tersenyum.

Aku tidak menyangka hal serupa terjadi kepada anakku. Ketika pulang bekerja, tanpa sengaja melihat pakaian yang Wulan kenakan sangat kotor. Terutama dibagian satu lengannya, terlihat bercak noda. Kupikir kotoran dari sisa cokelat yang dia nikmati. Setelah kudekati, ternyata bercak tersebut berwarna merah dan berbau anyir.

“Wulan, mimisan, ya?”

Mendengar perkataanku Wulan terlihat bingung, dia tidak merasa mimisan. Aku lihat lubang hidung anakku dan salah satunya terlihat setitik darah menggumpal. Ketika kucongkel dengan tisu, darah kembali mengalir. Ternyata dia tidak sadar menyeka hidungnya yang berdarah dan mengira yang keluar hanyalah ingus.

"Tuh, kan, kamu mimisan!" seruku seraya mengambil tisu baru dan hendak menyumbat aliran darah.

"Tundu Ma, tundu," katanya.

Dia menolak pertolongan pertama yang aku lakukan. Lalu berlari menuju cermin besar, tersenyum melihat pantulan dirinya dengan segaris darah yang keluar dari hidungnya. Bahkan, dia terlihat senang melihat pantulannya sendiri.

"Masyaallah anak ini … mimisan kok girang," celetukku.

"Ha-ha-ha, Wulan, Wulan. Baru kali ini ngeliat anak kecil mimisan, bukannya nangis malah kesenengan," timpal Oliv—kakak sepupu Wulan.

Mungkin, Wulan bisa bersikap tenang dan responsif ketika mimisan karena melihat mamanya tenang. Tidak terlihat panik ketika dirinya keluar darah dari hidung. Setelah diamanahi seorang anak, aku menekankan kepada diriku untuk bersikap tenang—jangan panik. Terutama ketika terjadi hal yang tidak diinginkan. Kasus pada anakku, ya, ketika dia mimisan.

Sepertinya, mimisan yang dialaminya merupakan gen warisan dariku. Sampai saat ini aku pun kerap kali mimisan terutama ketika dilanda kelelahan. Bahkan ketika Wulan masih dalam kandungan memasuki usia kehamilan 37 minggu, hampir setiap pagi mimisan.

“Mungkin dinding selaput dalam rongga hidung ibu tipis. Sehingga, ketika menyentuhnya pembuluh darah halus di dalam hidung pecah dan terjadi pendarahan. Tidak apa-apa, Bu, pendarahannya masih dibatas normal. Jangan khawatir,” jelas dokter kandungan kala melakukan konsultasi.

Mimisan yang terjadi pada diriku tidak berbahaya dan bukan indikasi penyakit serius. Begitu pun dengan Wulan, yakinku. Keyakinan tersebut bukan hanya tercipta begitu saja. Melainkan hasil dari pengamatan aku mengasuh Wulan terutama ketika hidungnya berdarah. Ada tiga faktor yang menjadi pemicu anakku mengalami mimisan yaitu suhu ruangan yang berbeda dengan tubuh, imunitas kurang prima, dan kelelahan.

Ketiga faktor tersebut aku simpulkan setelah beberapa kali mengamati anakku mimisan. Wulan tidak bisa tidur di ruangan yang menggunakan Air Conditioning—AC. Pengalaman pertama dia mimisan ketika kami bertandang ke rumah sepupu di Makassar. Ruangan yang kami tempati ber-AC. Keesokan paginya, dia mimisan. Ketika kami bertandang ke rumah sepupu di Selayar, tanpa menggunakan penyejuk udara, dia tidak mimisan. Namun, ketika kami kembali ke Makassar dan menginap di rumah sepupu yang berbeda serta menggunakan AC, Wulan kembali mimisan ketika bangun pagi. Faktor imunitas dan kelelahan menjadi faktor pendukung karena saat itu kami—Aku, Wulan, dan mama tengah melakukan perjalanan lintas kota—Jakarta, Makassar, dan Selayar.

Mimisan terkadang menjadi momen mengerikan bagi sebagian anak-anak seumuran Wulan. Namun, tidak berlaku untuknya. Dia terlihat begitu santai dan mengatasinya sendiri. Bahkan menikmati ketika darah mengalir dari lubang hidungnya. Memang benar, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Persis seperti aku dan Wulan. Menikmati momen ketika mimisan.

 

 

Penulis: Dwinov Swa

Mimisan Mimisan Reviewed by Dwi Noviyanti on July 28, 2022 Rating: 5

No comments:

Followers

Powered by Blogger.