Anak kecil akan selalu ketagihan ketika diajak berkendaraan roda dua—motor. Meskipun hanya sekedar membeli kebutuhan di ujung gang. Begitu pun Wulan—anakku. Dia ketagihan naik motor bersama tetangga kala sore. Tetangga yang biasa disapa dengan panggilan Om Ndut.
"Om Ndut, jangan ngajakin Wulan
jalan-jalan sore naik motor lagi. Dia suka ngerengek minta naik motor pas lu
gawe. Gue motor dari mana, pusing tau denger rengekannya?"
Aku melayangkan protes kepada Om Ndut.
Selain bekerja, dalam waktu dekat dia akan menikah dan pindah. Selain kepadanya
Wulan pasti akan merajuk kepadaku. Benar saja, setelah ditinggal menikah,
anakku mulai mencari pelampiasan. Menodong setiap tamu atau teman yang bertandang
ke rumah—meminta naik motor, sebelum mereka pulang.
Rasa malu terhadap tamu dengan ulah
anakku, membangkitkan keinginan membeli motor. Namun, dana yang kumiliki tidak
cukup. Meskipun cukup tidak dapat membelinya. Namaku masuk dalam daftar
hitam Bank Indonesia karena digunakan mantan suami sebagai penjamin lembaga
peminjaman dan leasing atas dua kendaraan—mobil dan motor. Lalu gagal melakukan
pembayaran—kredit macet. Dia kabur membawa kendaraan serta mewariskan hutang
kepadaku.
Motor tidak mungkin kubeli. Sehingga
beralih ke alternatif lain yaitu sepeda. Kujelajahi market place melakukan riset produk. Kian kugali, informasi mengenai
sepeda. Semakin aku tahu bahwa harga sepeda dengan bobot rangka ringan sangat
mahal. Setara dengan harga sebuah motor. Sebenarnya bisa saja membeli sepeda
yang harganya lebih terjangkau. Namun, aku hampir kehabisan energi karena
terkuras dalam perjalanan berangkat dan pulang kerja. Rasanya akan sangat
menguras tenaga untuk menggenjot sepeda yang berat. Belum lagi ditambah bobot
Wulan. Hingga kuurungkan niat membeli sepeda.
Setelah perenungan panjang. Akhirnya aku memilih sepeda listrik. Harganya memang seperti sepeda dengan rangka ringan kualitas standar—seperempat harga sebuah motor. Namun, sepeda listrik memiliki pedal gas bersumber tenaga listrik. Meringankan aku ketika mengendarai meskipun dengan bobot yang berat. Setelah mensortir beberapa merek, aku memutuskan membeli sepeda listrik karya anak bangsa. Sepeda Listrik Jarvis—lahir di Surabaya. Teknologinya tak kalah canggih dengan buatan Negeri Tirai Bambu.
Sepeda listrik yang kupilih adalah tipe Jarvis +1. Modelnya seperti sepeda dengan tulangan setang pengendali berwarna silver. Di tengah setang terdapat alat indikator baterai, multifungsi sebagai lampu depan. Sisi kanan terdapat lubang kunci yang tersambung dengan pedal gas dan terselip tombol pengendali otomatis. Baterai—suplai tenaga listrik, berada di bawah jok utama yang dapat difungsikan sebagai penopang kaki. Depan jok utama aku pasangi kursi tambahan—singgasana Wulan. Kerangka sepedanya berwarna hitam dan dipadu merah. Selain itu terdapat keranjang kotak berjeruji besi sebagai bagasi.
Spesifikasi Jarvis +1 hampir sama dengan sepeda listrik lainnya. Memiliki kecepatan maksimal 30 km/jam, beban maksimal 150 kg, ban dengan ukuran 14 inc x 2.125 inch, daya listrik 350 watt, dan baterai 36V, 12Ah. Satu keistimewaan yang belum dimiliki oleh sepeda listrik lainnya yaitu memiliki teknologi auto pilot—pengendali otomatis. Maksudnya, ketika kita sedang melaju dan menekan tombol pengendali tersebut maka sepeda akan tetap melaju, meskipun sudah melepas pedal gas. Kecepatanya sesuai dengan kecepatan pada saat pedal gas ditekan sebelum mengaktifkan pengendali.
Kedatangan Jarvis +1 disambut suka cita
oleh anakku. Kemudian aku memberi nama dengan Mamang Jarpis. Namun, karena kepanjangan akhirnya dipersingkat menjadi Mamang.
“Mamam, motol kita ya, Ma?”
Wulan masih sulit mengucapkan kata yang
berakhiran ‘ng’ sehingga dia jarang memanggil Mamang. Hanya aku yang setia
memanggil sepeda listrik kami dengan namanya. Kini, Mamang selalu setia
menemani kala mengunjungi rumah saudara, ke pasar, pusat permainan, atau pusara Bapak—kakeknya Wulan. Kehadiran Mamang seperti anggota baru keluarga.
Penulis:
Dwinov Swa
No comments: