Dulu sebelum kehadiran Mamang—sepeda listrik. Aku dan Wulan—anakku, kerap kali kerepotan kala berziarah ke pusara bapak. Meskipun termasuk Taman Pemakaman Umum disalah satu wilayah Jakarta. Namun, akses menuju kesana sangat susah. Kendaraan umum tidak menjangkau sampai gerbang.
Turun kendaraan masih harus berjalan sekitar sepuluh menit atau naik
ojek pangkalan yang ongkosnya lumayan menguras dompet. Jika menggunakan ojek
online sering kali sang driver kesulitan menuju titik penjemputan karena TPU
yang sangat luas. Sedangkan pusara bapak berada di blok paling ujung.
Kehadiran Mamang sungguh meringankan bebanku
ketika berkunjung ke makam kakeknya Wulan. Aku tidak perlu bersusah payah
menggendongnya. Namun, tak kusangka. Kejadian aneh menimpa kami disaat pertama
kali kubawa Mamang. Menyadarkan aku bahwa dunia ini tidak hanya dihuni oleh
manusia. Melainkan hidup bersama, makhluk tak kasat mata.
***
Selepas salat asar, aku memakaikan kerudung Wulan. Menyiapkan minum dan makanan serta buku yasin. Kami bersiap menuju TPU.
“Mama, kita mo ke umah kake yam banyak dombana.”
Jika aku mengatakan ingin mengunjungi rumah
kakek. Dia sudah tahu bahwa akan bertemu domba atau kambing yang digembala oleh
warga sekitar TPU. Biasanya ketika kami sampai dan tengah membaca doa-doa, para
penggembala akan melintas. Menggiring binatang-bintang kembali ke kandang.
Pemandangan yang sangat disukai Wulan.
“Assalamuallaikum ya ahli kubur,”
Kuucapkan salam kala memasuki gerbang TPU yang
disambut dengan jajaran pusara. Ketika hendak memasuki blok pemakaman bapak.
Aku memarkir Mamang dan melepaskan sandal kami, kemudian menggiring Wulan
mendekati pusara.
“Assalamuallaikum, Kek. Aku sama Wulan datang
nih.”
Aku pun memanjatkan doa dan membaca
Surah Yasin beserta Tahlil. Sedangkan Wulan memakan cemilan yang kubawa,
bermain handphone, dan menikmati pemandangan pengembala bersama binatang
gembalaannya. Setelah selesai berdoa, aku menaburkan kembang dan air yang sudah
disiapkan.
“Ma, Wuyan aja, yam ituin.”
Wulan meraih kantong berisi kembang lalu
menaburkannya. Tak lupa dia tuangkan air ke pusara bapak dari atas hingga ke
bawah.
“Kake, num ya.”
Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya, lalu
berkata, “Lan, jangan diabisin, sisain untuk uyut sama nenek haji.”
Biasanya kami hanya singgah di pusara nenek buyutnya karena memang satu arah. Namun, karena kami membawa serta Mamang. Maka ziarah kali ini hendak menyinggahi pusara saudara yang jarang kami kunjungi. Terakhir kali setahun lalu dan kini blok pemakaman saudara tersebut sudah banyak berubah. Hingga sulit menemukan pusaranya.
Aku susuri satu persatu pusara dan membaca setiap nama yang tertulis dalam nisan. Lima belas menit berlalu, tapi tak kunjung kutemukan. Mencoba menghubungi sanak saudara dan meminta patokan. Masih tetap tidak ditemukan. Hilir mudik menapaki jalanan tanah dan sesekali melintasi gundukan pusara.
Hari mulai gelap, matahari hampir tenggelam. Putus
asa sudah mulai menjalar dan mengurungkan niat mengunjungi pusara. Namun,
tiba-tiba ada seorang lelaki yang membantu hingga menemukan yang kami cari
sedari tadi.
Kami bergegas kembali ke rumah setelah
membacakan surah pendek dipusara saudara. Baru keluar dari gerbang pemakaman,
azan magrib berkumandang. Aku tidak menghentikan laju kendaraan, ingin cepat
sampai karena Wulan tertidur di tengah perjalanan. Semuanya seperti biasa,
tak ada hal yang aneh. Hingga kejanggalan mulai terasa setelah
anakku terbangun dari tidurnya yang sepintas.
Selepas bangun tidur Wulan terlihat lesu dan muram. Dia tida bergairah seperti biasanya. Dua teman yang mengajaknya bermain dia abaikan. Hanya merebahkan badan di depan televisi ruang bawah bersama Mama—neneknya.
Biasanya kalau menyadarkan diri setelah bangun tidur. Wulan hanya butuh
beberapa menit. Lalu aktif kembali. Namun, sudah hampir satu jam berlalu
dia masih seperti itu. Lesu. Apa mungkin sakit, tapi kusentuh dahinya tidak panas.
Malam pun kian larut, kantuk menjalar. Aku menggendong Wulan untuk naik ke kamar atas dan beristirahat. Sesampainya depan kamar Wulan seperti orang baru, berulang kali terkejut dalam gendonganku. Dia gelisah seakan tidak ingin masuk kamar yang setiap hari kami tiduri. Kuturunkan dia dan membenahi tas beserta bawaanku. Lalu merebahkan diri di sisi Wulan yang sudah menangkupkan wajah dengan boneka kesayangannya. Aku hampir memejamankan mata ketika Wulan berteriak.
“Mama …!”
Wulan memelukku dengan
sangat erat. Seolah ada yang ingin menerkamnya. Kutelusuri seisi kamar, tapi
tidak menemukan apa-apa. Sebenarnya apa yang terjadi, ada siapa dalam kamar
ini. Anakku beberapa kali memberanikan diri melihat sudut pintu samping lemari. Lalu menjerit dan kembali menyembunyikan wajahnya ke dalam
tubuhku.
“Ini ada yang tidak beres!”
Aku kembali turun, menggendong Wulan menemui Mama dan mengatakan yang baru saja terjadi di kamar. Mama pun membaca ayat-ayat suci disebuah gelas berisi air, lalu membasuh wajahnya dengan air tersebut.
Tetangga lelaki yang biasa main dengan anakku. Melihat kamar dari jalan, depan pintu bawah dengan tatapan selidik. Kemudian dia menghampiri aku yang memangku Wulan.
“Tadi dari mana?” tanyanya kepadaku.
“Dari makam bokap.”
“Lain kali kalau ke makam jangan sore-sore. Coba sini,” ujarnya seraya meraih Wulan.
“Ada yang ngikutin ini anak,” katanya.
“Gue biasa ke makam bokap abis ashar kok. Dan
biasanya baik-baik aja,” sanggahku.
“Oh … iya, bener, kalian dari makam ya? Mama gak
tengetin,” timpal Mama.
Tetanggaku menyerahkan Wulan yang hanya diam dan tertunduk. Pergi begitu saja, lalu datang kembali bersama tetanggaku seorang ibu yang biasa kusapa Mba Lin.
Kehadiran mereka berdua hendak melakukan pengusiran sosok kasat mata yang mengikuti anakku. Mba Lin mendekat dan memegang kepalanya. Sedangkan tetanggaku terlihat tengah komat-kamit dengan tangan menyentuh pundak Mba Lin.
Seketika Wulan menangis, menjerit, dan meronta
hendak melepaskan tangan di kepalanya. Aku tersentak, bahkan Wulan hampir
terlepas dari rengkuhanku. Berusaha mengendalikan rontaan
anakku yang memiliki tenaga sebesar itu. Hingga tiba-tiba, Mba Lin
merunduk.
“Jenengan[1] siapa?” tanya tetanggaku.
“Tohar!” jawab Mba Lin dengan suara yang
berbeda.
“Kenapa jenengan ngikutin anak ini?”
“Dia kotor! Saya tidak suka dengannya!” kata Mba
Lin membelalak ke arahku.
“Memangnya apa yang dia perbuat.”
“Dia kotor! Dia menginjak-injak saya!”
“Tolong dimaafkan, dia tidak sengaja dan tidak
tahu kalau ada jenengan di sana.”
“Ma-maafin saya, saya janji tidak akan
melakukannya lagi,” ujarku terbata dan takut.
“Tolong terima maafnya, dia tidak sengaja
melakukannya.”
“Tidak! Akan saya bawa dia!” Mba Lin kembali
membelalak ke arahku.
“Atas kejadian ini saya minta maaf, tolong
keluar, kasihan anak kecil ini. Saya akan kirim doa untuk jenengan."
“Sajen! Udut karo kopi.”
“Maaf, disini tidak ada rokok dan kopi. Saya
akan kirim doa untuk jenengan.”
Tetanggaku memindahkan tangannya dari pundak ke
arah kepala Mba Lin dan kembali komat-kamit. Mba Lin menjerit, matanya
membelalak ke atas, lalu melemah, dan terkulai di pundak tetanggaku.
“Astagfirullah …,” ujar Mba Lin seraya bangkit
dan menenggak air minum yang kusediakan.
“Lu dateng bulan?” tanya tetanggaku.
“Iya, tapi baru keluar pas tadi mau salat isya. Sebelum
ke makam gue salat asar dulu malah.
“Mama Wulan, saya pamit ya,” ujar Mba Lin.
“Oh, iya Mba, terima kasih banyak, jadi
ngerepotin,” kataku.
“Sini, sayang. Anak Om kasihan banget sih. Yuk
jajan sama Om.” Ajak tetanggaku yang disambut suka cita dari Wulan.
Baru kali ini melihat kejadian seperti itu menimpa keluargaku. Rasa takut masih menggerayangi terutama ketika memasuki kamar.
Namun, Wulan sudah kembali normal. Apalagi membawa sekantong pelastik hitam yang berisi cemilan. Pengalaman yang sungguh tidak akan pernah terlupakan dan menjadi pelajaran berharga buatku. Meski tak terlihat, mereka ada.
Idih merinding aku bacanya, seriusan itu? Makhluk gaib emang ada. Aku juga dulu punya pengalaman soal rasuk merasuki bgtu
ReplyDeleteSama Mba, apalagi saya yang dipelototin langsung sama si makhluk astral itu. Ciut nyalinya, ih ...
DeleteIhh serem. Jadi inget dulu pas SMA ada kesurupan massal kebetulan ak jadi panitianya. Itu kesurupan dari mulai di Buper sampe dibawa2 ke sekolahan. Jadi merinding....
ReplyDeleteNah, iya bener Bund. Jaman sekolah dulu waktu orientasi ekskul sering banget ngeliatin orang yang kerasukan. Dulu, mikirnya ah palingan cuma caper doang (saya org yang gak percaya begituan). Eh dalah, dilalanya anak sendiri ketempelan. Dan saya malah yang jadi penyebabnya. Pokoknya harus jaga perilaku karena kita hidup berdampingan dengan mereka.
Delete