Main Bersama

 


Main bersama banyak sekali manfaatnya. Khususnya anak-anak pra sekolah seperti Wulan—anakku. Dia dapat mengembangkan keterampilan berbahasa dan menambah kosakata. Anakku, di usianya ketiga tahun masih terbata dalam berkomunikasi. Bicaranya belum terdengar jelas. Tidak, dia tidak mengalami speech delay hanya saja kurang stimulasi sejak kecil. Di rumah hanya ada tiga orang—aku, Wulan, dan Mama—neneknya. Ketika aku bekerja, Wulan bersama dengan Mama yang pendengarannya sudah berkurang sehingga jarang berinteraksi.

Aku pikir salah satu cara melatihnya berkomunikasi yaitu dengan main bersama. Main dengan anak-anak tetangga yang bicaranya sudah lancar. Bahkan anak-anak yang sudah sekolah dasar, ikut bergabung. Selain melatih keterampilan bicara, main bersama dapat melatih kreativitas, dan mengembangkan imajinasi. Manfaat penting lainnya yaitu belajar bersosialisasi. Dia dapat belajar dari anak-anak yang lebih besar dalam mengatasi perbedaan pendapat, menerima saran, atau bekerja sama agar menjadi mahakarya dari setumpuk lego. Mencetak ragam makanan atau bentuk binatang dari play doh. Terkadang aku mengarahkan Wulan untuk main bersama. Entah membawa mainannya atau mengajak teman-temannya bermain di rumah.

Namun, pemikiranku kerap kali berselisih paham dengan Mama. Bukannya Mama tidak menyukai anak-anak. Hanya saja, ketika main di rumah, anak-anak tidak membereskan mainannya ke tempat semula. Selain itu, mainan Wulan banyak yang hilang dan rusak tiap kali usai main bersama. Membuat Mama kesal karena mengetahui harga mainan tersebut.

“Mainan yang itu taro di atas aja, anak-anak sini pada nakal. Mahal kan itu belinya. Wulan gak pernah ngerusakin, anak orang terus yang ngerusakin mainannya!”

Mama suka kesal sendiri karena memang kenyataannya seperti itu. Wulan termasuk anak yang mudah di arahkan. Jika cara bermainnya seperti itu dia akan ikuti, kalaupun ada improvisasi, masih dalam batasan wajar. Berbeda dengan teman-temannya yang berutal—mematahkan, menduduki, mencoret, dan menginjak. Sehingga mainan menjadi rusak dan tidak bisa dimainkan seperti semula.

Pernah sekali aku marah dan kesal. Kala mainan yang harganya lumayan menguras dompet, rusak, dan teronggok dekat tangga bersama mainan lainnya yang sangat kotor. Padahal sepanjang perjalanan pulang kerja, aku berekspektasi segera istirahat sesampainya di rumah. Namun, apalah daya, ternyata tenaga yang tersisa akhirnya digunakan membenahi mainan, mencucinya bersama, dan memperbaiki yang masih bisa diperbaiki. Tentunya, diiringi kicauanku yang seperti mercon tersulut api. Melampiaskan kekesalan kepada Wulan yang tidak bertanggung jawab terhadap mainannya sendiri.

“Mainannya ga usah taro di bawah! Pada rusak, ilang, dan patah. Kamu harusnya tanggung jawab sama mainan sendiri. Masa main play doh dikasih air begini!”

“Aa, Ma … kan Yan.”

“Kasih tau Aa, mainnya jangan begitu. Ini juga, sampai patah jadi dua begini. Kamu bilang, A jangan dirusakin! Kalau kaya gini kan, jadi gak bisa dimainin lagi!”

“Ngam A, ngam usain, ga  yeh, no-no-no.”

Wulan hanya mencoba memperagakan titahku. Berusaha agar kejadian serupa tidak terulang. Berlagak seolah ada si Aa di hadapannya dan memberitahu kalau jangan merusak mainan. Bicaranya yang belum terdengar jelas, membuatku mulai tersenyum. Luruh semua emosi dalam hati melihat tingkahnya yang jenaka.

Meskipun kejadian seperti itu kerap kali berulang. Rasanya tidak tega mengurung Wulan dan menghalanginya main bersama teman-temannya. Aku tidak ingin dia menjadi anak yang antipati dalam lingkungan. Mungkin, mainan rusak, hilang, atau kotor menjadi harga sebuah pelajaran kehidupan—bersosialisasi kala main bersama.

 

 

 

Penulis: Dwinov Swa

Main Bersama Main Bersama Reviewed by Dwi Noviyanti on July 12, 2022 Rating: 5

No comments:

Followers

Powered by Blogger.