Entah berawal darimana. Aku dan keluarga
memelihara kucing di rumah. Kucing liar berdatangan silih berganti. Minta
makan, diberi makan, menetap, bertumbuh, berkembang biak, dan mati. Siklus yang
sudah berapa kali terjadi, sedari aku kecil hingga mempunyai anak kecil bernama
Wulan.
Seekor kucing belang tiga; oranye, cokelat, dan putih tiba-tiba memasuki rumah kami tanpa permisi kala usiaku 24 tahun. Mengalami siklus hingga berkembang biak. Sudah tak terhitung anak yang
dilahirkan Si Mpus—nama kucing belang tiga tersebut. Ia sudah menjadi bagian
dalam kehidupanku dan menyaksikan serangkaian kisah yang tercipta. Aku ingat
ketika aku mengandung Wulan, ia pun sedang mengandung. Hanya saja Wulan belum
lahir, ia sudah melahirkan dua kali. Terkadang kusampaikan rasa ibaku
kepadanya.
“Mpus, bunting ga enak, kan. Kalau ada jantan
yang ngajak kawin, lari ke kamar. Jangan biarin mereka nyentuh tubuh kamu.
Sampai kapan kamu sengsara sendiri begini. Bunting, lahiran, netein anak, cape,
Mpus.”
‘Meow.’ Ia seakan mengerti rasa iba yang
kusampaikan padanya. Namun, layaknya seekor kucing betina belang tiga. Pesonanya
tak pernah redup dimata sang jantan. Hingga menyetubuhinya berulang hingga bunting.
Namun, aneh, anak-anak yang dilahirkannya banyak yang mati. Entah dimakan
tikus, jatuh dari atap, atau dimakan sendiri oleh Mpus. Konon katanya, induk
kucing akan menghabisi nyawa anak mereka kala mengetahui sang anak terlahir
cacat. Aku pernah menyaksikan Mpus tengah melahap kepala anaknya yang masih
sangat merah. Tak heran jika ketika dia lahiran, aku atau Mama menghitung
anaknya ada tiga ekor. Selang satu hari berlalu tersisa hanya satu ekor.
Sekian anaknya yang terlahir sehat,
bertumbuh, dan menjadi bagian dari keluarga adalah dua ekor kucing betina dua
warna, belang kuning dan putih. Kucing besar diberi nama Kuning, ia yang
menemani kala Wulan bayi hingga belajar berjalan. Kucing satunya yang masih
kecil diberi nama Jelek. Jika ditakar dengan usia manusia. Si Jelek dan Wulan
seumuran. Membuat mereka sangat akrab. Memberi makan menjadi rutinitas wajib
bagi anakku. Bahkan dia yang turun tangan sendiri untuk memandikan kucing kecil
itu. Ketika aku menjahili si Jelek, Wulan akan marah.
“Jangam gitu Ma, Jeye kan kucim kesayangan
Wuyan, tal dia sakit loh.”
Hingga suatu hari, Si Jelek jatuh sakit.
Sakitnya dikarenakan kehilangan Mpus. Kami—aku, Mama, dan Oliv—kakak sepupunya
Wulan, membuang Mpus beserta keempat anaknya yang satu bulan lalu dilahirkan.
Konspirasi pembuangan mereka berawal dariku yang jengah dengan bau kotoran
dari keempat anaknya.
Mpus melahirkan di kamar kosong depan
kamarku. Keempat anaknya lahir sempurna dan bertumbuh. Ketika mereka mulai
makan pakanan kucing yang kusediakan di rumah. Kotorannya kian hari menumpuk menguarkan
bau busuk yang membuat sakit kepala. Mereka berempat tidak mengikuti aturan
tinggal di rumah kami. Aturan yang sudah dipenuhi oleh Mpus, Kuning, dan Jelek—buang
kotoran di toilet atau di luar rumah. Berulang kali sudah kusampaikan kepada
mereka berempat, tetapi mereka masih saja tidak menggubris.
“Ma, itu kucing-kucing dibuang aja sih.
Bau banget. Mereka pada ee di kamar,” ujarku
“Mama gak tega buangnya, masih pada
kecil gitu,” jelas Mama.
“Iya, Wa, kucing-kucingnya buang aja,
nanti Oliv bantu bawain kucing-kucingnya,” kata Oliv menyodorkan bantuan.
Demi memanusiakan hewan atas perselisihan
pendapat kami. Diputuskan bahwa keempat anaknya dibuang bersama dengan Mpus
karena mereka masih menyusui. Akhirnya eksekusi dilakukan selepas salat subuh
oleh Mama dan Oliv. Mereka dibuang ke tempat pembuangan sampah dekat pelelangan
ikan. Namun, tak disangka, kepergian Mpus membuat kedua anaknya di rumah jatuh sakit.
Mereka nelangsa, kehilangan sang induk.
Hanya dua hari Kuning terlihat murung dan kembali
sehat seperti sedia kala. Berbeda dengan si Jelek. Ia semakin susah makan dari
hari ke hari. Tubuhnya yang lemas membuatnya enggan bermain. Hanya rebahan dan
duduk dikasur dengan wajah lesu.
“Ma, si Jeyek akit, beyi obat, Ma.”
Wulan menyampaikan kepeduliannya melalui
panggilan video saat aku bekerja. Awalnya aku berikan Jelek obat manusia. Dua kali
diberi minum, ternyata makin bertambah parah dan muntah-muntah. Tubuhnya kian
lemah. Bahkan ia tak sanggup ke toilet hingga buang air di tempat merebahkan
tubuh. Aku tak tega membiarkan hewan yang sudah menjadi bagian dari keluarga
menderita seperti itu. Akhirnya aku konsultasi dengan dokter hewan melalui
media online. Dokter mendiagnosis, Jelek terserang virus. Aku harus mengunjungi
vet—klinik hewan agar ia dapat diberikan antibiotik dan melakukan vaksinasi. Namun,
karena dilingkungan kami tidak tersedia vet, maka aku minta dibuatkan resep. Hanya
saja, dokter memberi peringatan.
“Baik, saya akan memberikan resep. Namun,
saya tidak menjamin kucingnya selamat karena sudah tidak makan berhari-hari.”
Aku hanya dapat menelan ludah diberi
peringatan seperti itu. Ketika kucek harga obat-obatan dalam resep. Tiba-tiba jantungku serasa ingin loncat. Harganya empat kali lipat dari harga obat
Wulan ketika sakit. Konsultasi online saja sudah memakan biaya. Apalagi jika
membelikan obat dengan resep dari dokter, yang ada aku dan Wulan tidak makan
selama seminggu.
Namun, ketika melihat keadaan Jelek. Rasa
iba menjalar kala melihat tatapan sendunya. Seakan meminta tolong untuk
disembuhkan dari rasa sakit yang ia derita. Aku harus memutar otak mencari obat
untuknya yang sesuai isi dompet. Tak mau kalah dengan usaha Wulan untuk
kesembuhan si Jelek.
“Lan, kok mainan pianonya ditaro situ,”
tanyaku bingung. Wulan meletakkan piano di sisi Jelek. Menyetel piano dan menekan
salah satu tombol piano. Hingga terdengar melodi lagu romance de amor.
“Bial Jeyek senem, teyus sembuh deh.”
Kucoba mencontek resep dan mencari
informasi mengenai obat-obatan khusus kucing. Hingga menemukan obat dan vitamin
serta pakan yang direkomendasikan dokter hewan. Kesemuanya itu aku beli dengan
harga yang ramah dengan isi dompet. Obat yang kubeli terdapat dua jenis. Pertama
obat yang dicampurkan ke dalam pakan. Kedua diminumkan ke dalam mulut.
Awalnya Si Jelek menolak, tapi aku
memaksanya. Bahkan aku suapi pakan dengan sendok. Sehari berlalu dan sudah
terlihat perubahannya. Ia mau makan dan sudah kembali buang air di toilet. Hari
kedua ketika kuberi obat oral, tanpa dipaksa ia menelannya dengan suka rela. Hanya
butuh dua hari pengobatan berlangsung. Si Jelek sudah mulai bugar dan nafsu makannya
bertambah. Ternyata hewan pun dapat merasakan kehilangan yang begitu
mempengaruhi kesehatannya. Seperti Kuning dan Jelek, dua kucing yang
kehilangan.
Penulis:
Dwinov Swa
No comments: