Fase Oral

 


Ketika anak memasuki fase oral—masa pertumbuhan gigi. Mereka akan mencari sesuatu yang dapat dimasukkan ke dalam mulut. Lalu menggigitinya dan melampiaskan ketidaknyamanan kala gusi tengah beregenerasi menumbuhkan mahkota gigi. Fase oral mulai terlihat pada bayi mulai dari usia 4 bulan.

Awal fase oral ditandai anak sering mengeluarka air liur dan mengulum jari. Pada saat menyusui secara langsung, gusi bayi akan lebih terasa keras. Seiring waktu, anak akan senang memasukkan benda apa saja ke dalam mulut yang dapat diraihnya. Anak akan mengekplore tekstur ke dalam organ oralnya. Memasuki fase ini sebagai orang tua harus sangat hati-hati meletakkan barang. Seperti anak-anak lainnya, Wulan—anakku pernah merasakan fase tersebut.

Beberapa teether sudah kubeli sebagai media yang merangsang tumbuh giginya. Namun, hanya dimainkan sesaat. Wulan lebih tertarik mengulum dan menggigiti botol minyak telon, bungkus makanan, dan menggigiti karet dot botol susu. Tak terhitung sudah ganti berapa kali karet dot sejak dia memasuki fase oral.

Salah satu media yang dapat merangsang pertumbuhan gigi yaitu memberi anak cemilan yang teksturnya padat. Selain itu, memasukkan bongkahan kecil es batu ke dalam plastik bening—teether home made, menjadi media yang di gemari Wulan. Dia sangat senang karena sensasi dingin yang dia rasakan. Hingga suatu ketika, plastik bening yang tengah dia kulum bocor halus.

“Coba Mama lihat. Eh … giginya keliatan.”

Aku terkejut sekaligus senang karena di dalam gusi muncul setitik putih. Cikal bakal mahkota gigi yang akan bertumbuh seiring waktu dan memenuhi gusi. Fase ini membuat anak penasaran, apa yang dapat dilakukan oleh giginya. Hingga menggigit menjadi aktivitas pertama yang diketahui.

Namun, apabila aktivitas menggigit pada anak tidak ditangani secara tepat akan menimbulkan suatu masalah. Aku ambil contoh keponakan—anak adikku, yang gemar menggigit abi—ayahnya. Usianya terpaut satu bulan lebih tua dari Wulan. Pertumbuhan giginya lebih cepat dibanding anakku. Mahkota gigi sudah memenuhi gusinya. Hanya saja kegemarannya menggigit sungguh meresahkan. Abinya menjadi korban yang paling sering digigit. Bahkan ketika bermain dengan Wulan aku sangat waspada menjaga mereka. Takut kalau dia kesal anakku menjadi sasaran gigitannya. Pernah sekali mulutnya sudah terbuka hendak menggigitku karena menolak keinginannya.

Kegemaran anak suka menggigit tidak lepas dari penanganan yang kurang tepat. Seperti adikku, tiap kali digigit dia pasrah. Berteriak hanya untuk menahan rasa sakit. Sehingga disinyalir oleh anaknya sebagai bentuk kesenangan. Meskipun keponakanku melihat luka merah berbentuk jajaran gigi yang melingkar—bekas gigitannya, dia tidak merasa bersalah. Mengulangi, lagi dan lagi.

Dalam pikiran keponakanku sudah terbentuk bahwa menggigit adalah hal yang menyenangkan dan sebagai pelampiasan marah. Jika fase ini dilalui sedemkian rupa tanpa adanya penangan tepat. Suatu saat akan menjadi boomerang bagi orang tuanya. Tidak menutup kemungkinan untuk menggigit temannya kala main bersama.

Berbeda dengan keponakanku yang gemar menggigit. Wulan sangat tidak menyukainya. Dia akan marah ketika aku hanya bercanda mengatupkan bibir ke lengannya. Bahkan menangis, kala ada yang berkelakar ingin menggigit. Sebenarnya dia pernah menggigitku sekali. Namun, menjadi gigitan pertama dan terakhir kalinya.

Semuanya bermula ketika dia berusia 8 bulan dan giginya sudah memenuhi gusi. Wulan hendak mengajak aku main. Sedangkan aku tengah sibuk mencuci segunug pakaian kotor. Aku berusaha menolaknya dengan halus. Namun, dia kesal, menghampiriku, kemudian menggigit pundak kananku.

“Aw …!” teriakku.

Tanpa berpikir panjang, aku balas menggigit lengannya. Tangis Wulan pun pecah. Dia pergi meninggalkanku dan menyendiri di sudut kamar seraya menangis dan memegangi lengannya yang kugigit. Kubiarkan dia menangis sendirian beberapa saat. Ketika sudah tenang kuhampiri dengan membawa minyak obat. Kupeluk tubuhnya dari belakang dan dia kembali terisak dalam dekapanku.

“Maafin Mama ya … Wulan sih gigit duluan, jadi Mama gigit, kan.”

Aku meminta maaf seraya mengeluh kepadanya. Lalu kupangku dia dan mengoleskan minyak obat ke atas lukanya. Ternyata gigitan yang aku cipta menorehkan jejak deretan gigi dan kemerahan. Padahal aku menggigitnya tidak menggunakan tenaga.

“Sekarang gantian, Wulan bantu Mama olesin minyaknya di sini,” ujarku menyerahkan botol minyak.

“Ki, ya Ma,” katanya melihat luka gigitan di pundakku.

“Sakitlah, digigit itu sakit. Wulan aja tadi nangis. Kalau gak mau digigit, jangan ngegigit. Kamu mau digigit lagi?”

“Da mo, da,” katanya seraya menggeleng.

Aku mengajak Wulan ke bawah menemui Mama. Meminta Mama menjaganya selama aku mencuci pakaian. Mama heran melihat wajahnya sembab karena menangis.

“Wulan kenapa?” tanya Mama.

“Ne, ki, an gi Ma,” adu Wulan seraya menunjuk bekas luka gigitan.

“Tadi, aku gak sengaja gigit Wulan, Ma, he-he-he,” selorohku.

“Masyaallah, dasar anak ini! Anak sendiri digigit,” gerundel Mama sembari memukulku gemas. “Sini-sini sama nenek, sayang. Biarin, Mama udah nenek marahin.”

Jika teringat kejadian itu, aku hanya tertawa sendiri. Geli dengan tingkahku yang terlihat seperti anak kecil. Bahkan ketika aku menceritakan kejadian tersebut kepada keluarga atau sahabat. Aku jadi bulan-bulanan mereka, tapi diiringi gelak tawa. Kata mereka, aku ibu yang aneh. Namun, berkat keanehan itu Wulan jadi jera dan tidak pernah menggigit siapa pun. Wulan pun lulus dengan baik melewati fase oral.

 

 

Penulis: Dwinov Swa

Fase Oral Fase Oral Reviewed by Dwi Noviyanti on July 26, 2022 Rating: 5

No comments:

Followers

Powered by Blogger.