Kala mendekati hari Raya Idul Adha. Aku berniat
memberikan edukasi mengenai perayaan umat muslim tersebut kepada Wulan—anakku. Sebelum
tidur aku menceritakan kisah tentang ketaqwaan Nabi Ibrahim kepada Allah. Rela menyembelih
anaknya—Nabi Ismail yang sudah sekian lama dinanti kehadirannya. Ketika
memasuki bagian Nabi Ibrahim menyampaikan perihal penyembelihan kepada anaknya.
Wulan melayangkan pendapat.
“Ayahna jaat, Ma.”
Seketika ceritaku terhenti. Sempat bingung
karena tidak menyiapkan jawaban atas respon Wulan yang di luar dugaan.
“Ayahnya—Nabi Ibrahim tidak jahat, tapi
dia sedang menjalankan perintah Allah.”
Wajah Wulan bingung, dia pun hendak
melontarkan pertanyaan, tetapi aku menahannya dengan berkata, “Dengar ceritanya dulu
sampai selesai. Nabi Ibrahim sedang diuji ketaqwaannya oleh Allah.”
“Oh … ayahna ujian, sendili,” katanya.
Kata 'ujian' menurut Wulan mengerjakan sendiri. Pemikiran itu terbentuk atas arahan guru disekolahnya, ketika dia diberikan lembar ujian. Gurunya menyampaikan kalau harus dikerjakan sendiri tanpa bantuan dari guru dan temannya.
Mendengar perkataan polosnya, aku
terpingkal. Wulan pun ikut tertawa meskipun bingung apa yang sedang
ditertawakan. Lalu aku lanjutkan cerita dan menjelaskan ujian yang dimaksud.
Allah memberi perintah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya. Lalu
menyampaikan perintah tersebut kepada Nabi Ismail.
“Kalau Wulan jadi Nabi Ismail, Wulan mau
ga disembelih?”
“Ga! Ga mo,” serunya menutup leher dengan tangan.
“Waktu ayahnya bilang mau sembelih dia. Nabi Ismail bilang begini, ‘Jika ini perintah dari Allah, aku siap
disembelih, ayah.’ Dia tidak nangis atau takut.”
Wulan hanya diam. Raut wajahnya pias. Mungkin terbesit dalam benaknya, rasa tak percaya. Ada ayah yang ingin menyembelih anaknya. Sepanjang melanjutkan cerita, kedua tangan dia masih menutupi lehernya.
“Akhirnya tiba waktunya Nabi Ismail
disembelih.” Aku berkata dengan membawa boneka beruang diibaratkan Nabi Ismail
dengan posisi terbaring dan mencekal leher boneka.
“Lalu, Allah mengganti Nabi Ismail
dengan seekor domba.” Aku mengganti boneka beruang dengan boneka kambing.
“Oh … anakna ga jadi dipotom.”
“Iya, anaknya—Nabi Ismail tidak jadi
disembelih. Nih, kan tadi begini, terus, wus … tiba-tiba diganti dengan domba.
Allah yang menggantinya,” kataku seraya mengulang adegan pergantian boneka.”
“Wus ... gitu, ya, ha-ha-ha,”
kelakarnya, “Awoh baik, ya, Ma,” lanjutnya.
“Iya, Allah baik. Baiknya bukan hanya kepada Nabi Ismail, tapi kesemua makhluk—manusia, hewan, dan tanaman. Makannya Wulan harus sayang sama Allah.”
“Sayam awoh, nyembah ya, Ma.”
“Betul," kataku, "Oh, iya, menyembah Allah itu caranya gimana, sih?”
tanyaku.
“Kita soyat, Ma.”
“Wulan Pintar, tapi selain salat menyembah
Allah dengan puasa, memberi makan orang yang kesusahan, rajin belajar, dan
nurut sama Mama.”
Ternyata menceritakan tentang kisah para
nabi sangat bermanfaat. Aku bisa mengajarkan tauhid kepada Wulan. Hanya saja
cara menyampaikannya harus sesuai nalarnya. Hingga terkadang banyak improvisasi
yang dilakukan kala membaca buku dongeng untuknya. Seperti kisah ketaqwaan
Nabi Ibrahim yang aku jadikan cerita menyembelih anak.
Penulis:
Dwinov Swa
No comments: