Hanya
berbekal keisengan mengecek tarif transportasi online roda dua dalam gawai.
Akhirnya, aku dan Wulan—anakku mengunjungi Pantai Losari—Makassar. Menyusuri
pantai pada siang hari. Merasakan pengalaman pertama menginjakkan kawasan pesisir
pantai sebagai turis domestik.
Kami—Aku,
Mama, dan Wulan melakukan perjalanan menuju kampung almarhum bapak di Kepulauan
Selayar—Sulawesi Selatan. Sebelum ke sana kami bertandang dan singgah di Makassar.
Bersilaturahmi dengan sanak sepupu di sana. Dua hari dua malam kami di
Makassar. Para sepupu sangat antusias menyambut kedatangan kami. Ketika bapaku
wafat, hampir terputus komunikasi kami
dengan para sepupu. Jarak antara Jakarta dan Makassar menjadi penghalang
utama. Namun, seiring berkembangnya zaman dan teknologi yang kian canggih, kami
kembali terhubung.
***
Kami
bermalam di rumah salah satu sepupu di sebuah perumahan. Suasana lingkungan
masih ramai oleh anak-anak dan pemuda meski waktu menunjukkan jam sepuluh
malam. Sepintas mirip pemukiman tempat tinggalku di Jakarta. Hanya saja, perumahan
berada di tengah Kota Makassar, hingga beberapa gedung pencakar langit terlihat
dari balkon.
Siang hari
selepas zuhur, Mama tidur siang, dan para sepupu sedang sibuk dengan
rutinitasnya. Menyisakan aku dan Wulan yang kebingungan. Bingung melakukan apa
untuk membunuh kebosanan dalam rumah. Rasanya bukan diriku, kalau hanya berdiam
diri di tempat baru. Akhirnya kuajak Wulan berkeliling mengitari lingkungan
rumah sepupu.
Teriknya matahari
tidak menghalangiku yang ingin menjelajah tempat baru. Perumahan tersebut
ternyata terdapat dua sisi yang saling berlawan. Bagian depan perumahan selepas
pintu gerbang terdapat jajaran rumah mewah. Rata-rata rumah memiliki garasi beserta
isinya dan pagar tinggi nan angkuh menjulang. Memasuki ke dalam dan keluar dari
sebuah gang kecil. Terlihat rumah-rumah sederhana tanpa teras. Pejalan kaki
dapat melihat seisi rumah dari pintu kecil yang terbuka. Sepetak rumah dengan
kebahagiaan yang terpancar dari penghuninya kala menikmati makan siang bersama.
Beberapa
orang dari warga tersebut tersenyum kepadaku ketika melintasi mereka yang
tengah bercengkrama. Bahkan menyapa dan bertanya siapa aku, karena terlihat
asing di mata mereka. Kami pun singgah di sebuah warung dan membeli cemilan dan
minum. Lalu berhenti di sebuah pos ronda untuk menikmati cemilan dan melepas dahaga.
Kami kembali
ke rumah sepupu. Namun, pemandangannya masih sama. Ruang tamu sepi, para sepupu
belum kembali, dan Mama masih pulas. Aku melepaskan penat sesaat dan mulai
memainkan gawai. Sedangkan Wulan masih menikmati cemilan yang masih tersisa di
tangannya. Entah kenapa pikiranku tertuju ke Pantai Losari dan memerintahkan
jari masuk ke dalam satu aplikasi transportasi online. Mengecek tarif dari
rumah sepupu ke sana seberapa mahal.
Namun, aku
terbelalak ketika tarif yang tertera hanya sebesar lima belas ribu, “Berarti deket
dong dari sini,” ujarku sendiri.
Tanpa
berpikir panjang aku hendak ke sana dan memakaian Wulan tudung. Logikaku
kembali mengusik. Seandainya aku menggunakan aplikasi transportasi online,
pasti akan bingung kalau ditanya titik penjemputan. Hingga teringat bahwa di
pertigaan lingkungan perumahan ada beberapa bentor—becak motor yang mangkal.
“Pak,
narik, gak?” Kutepuk kaki tukang bentor yang merebahkan tubuhnya dalam bentor seraya bersenandung dengan mata
ditutupi topi.
Tukang bentor
terkejut dan keluar dari becak, seraya bertanya, “Iye, mauko pi mana?”
“Ke Pantai
Losari, Pak?”
“Nae’,”
kata tukang bentor.
Aku tak serta merta naik seperti perkataan tukang bentor. Ragu menggerayangi, takut
ditembak dengan tarif yang tidak masuk akal ketika sampai di Losari. Sedari
tadi tidak ada pembicaraan tarif tetapi sudah menyuruh naik, pikirku.
“Ongkosnya
berapa, Pak?”
“Dua lima.”
“Bukannya
lima belas, Pak?”
Tawar
menawar pun terjadi dan sepakat di angka dua puluh ribu. Kami menikmati jalanan
Kota Makassar yang serupa dengan Jakarta. Ada sensasi berbeda dibandingkan naik
becak biasa. Alih-alih menggoes, tukang bentor menekan pegas dalam tangan serta
berkoordinasi dengan kaki yang bersiaga mengurangi kecepatan.
Kami sampai
di kawasan Pantai Losari. Sayangnya tukang bentor tidak dapat mengantar tepat
depan pintu masuk. Melainkan menurunkan kami di ujung kawasan karena merupakan
jalan satu arah. Ternyata tempat kami diturunkan adalah akses masuk menuju
Masjid Amirul Mukminin. Tempat ibadah umat muslim yang dikenal dengan sebutan
Masjid Apung. Namun, sayang, aku tidak dapat mengunjunginya karena tengah
berhalangan.
Wulan
sangat senang dan berlarian ke sana kemari menyusuri tepian jalur pejalan kaki.
Kami menyusuri Pantai Losari diiringi terik matahari yang kian menyengat. Peluh
pun hadir di wajah.
“Ma, Yan
us,” tutur Wulan kehausan.
Wulan
menyadarkanku bahwa kami tidak membawa bekal. Hingga akhirnya kuputuskan mampir
ke sebuah minimarket terdekat. Membeli kudapan dan menikmatinya di bawah pohon dekat
tulisan yang terpampang dengan sangat besar—Pantai Losari.
Kawasan pantai
ternyata cukup panjang. Setiap beberapa meter terdapat tulisan besar yang terpampang,
bertuliskan nama-nama daerah Sulawesi—Bone, Makassar, dan Ujung Pandang. Azan asar
berkumandang dan mengakhiri perjalanan siang kami di kawasan Pantai Losari.
Aku
memutuskan pulang dengan menggunakan bentor kembali. Menghampiri pangkalan yang
berderet bentor di sepanjang tikungan dekat kawasan pantai. Berbekal ingatan
nama perumahan yang kubaca kala keluar gerbang perumahan. Kudekati satu bentor
yang pemiliknya sudah terlihat menyambutku. Ternyata, tarif dari sana menuju
rumah sepupu lebih mahal. Tarifnya dua kali lipat tapi dapat kutawar hingga
menjadi tiga puluh ribu. Mungkin, tarif bentor yang mahal disebabkan karena aku
dan Wulan merupakan turis domestik. Terlihat dari aksen bicaraku yang berbeda
ketika bertanya dan menawar. Selain itu, ternyata, perjalanan kembali menuju
rumah sepupu lebih jauh dibanding perjalanan berangkat.
“Tante,
darimana?” tanya salah satu sepupu setibanya kami di rumah.
“Kamu
darimana?” tanya Mama.
“Aku sama
Wulan dari Pantai Losari,” jawabku.
“Iye ka!
Tau tempatna, tak nyasar pi Losari,” seloroh sepupu lainnya.
“Alhamdulillah,
engga nyasar Ji. Tadi bilang mau ke Pantai Losari sama tukang becak.”
“Oh … pergimi
nae’ bentor,” ujar sepupu yang bertanya.
“Iya, naik
bentor yang mangkal dipertigaan depan. Tadi, kalau nyasar dan gak bisa pulang,
tante mau telpon minta jemput, he-he-he,” kelakarku disambut tawa.
“Dish, ke
sono gak ajak-ajak Mama,” sungut Mama.
“Mama tadi
tidur, ga enak ngebanguninnya,” sanggahku.
“Malam pi
baru aku bawa ke Losari,” ujar salah satu sepupu menghibur Mama.
Malam pun menyapa. Sesuai janji sepupu, kami semua diajak mengunjungi Pantai Losari. Atmosfir siang dan malam hari sunggu berbeda. Ketika kami sampai, di sana sudah dipenuhi pengunjung dan para penjaja makanan, minuman, dan mainan. Terlihat beberapa costplayer yang tengah mengais rezeki yang menggunakan kostum robot Bumble Bee—Transformer, dan lainnya. Kami pun tak luput mengabadikan momen kebersamaan yang sangat jarang terjadi. Aku dan dan Wulan sungguh beruntung. Dapat merasakan momen berbeda kala mengunjungi Pantai Losari. Tak kusangka semuanya berkat dari buah keisengan.
Penulis: Dwinov Swa
No comments: