Bosan

 


Bosan. Kata yang kerap kali dikatakan Wulan—anakku. Entah darimana dia belajar menggunakan kata tersebut. Bermula dari kebiasaannya makan nasi pakai kecap—menu favoritnya, yang dia tolak dengan alasan bosan. Lalu, dia tidak bermain dengan teman-temannya. Memilih bermain sendiri dalam kamar, saat aku bekerja. Meskipun teman-temannya memanggil, mengajaknya bermain, dia tidak menggubris. Tetap asyik sendiri dalam kamar.

"Kata Nenek, kamu seharian di kamar, gak mau main sama teman-teman, kenapa?" tanyaku.

"Wuyan bosan, main ma temen."

Lagi, kata bosan menjadi alasan. Padahal setauku, kalau dia sudah bergabung main dengan teman-temannya akan lupa waktu. Ada satu perkara lain yang dijadikan alasan bosan. Kala aku libur bekerja dan memilih bersantai di rumah.

“Ma, Wuyan bosan nih di umah teyus. Kita jayan, yu.”

“Kan, tadi udah ke pasar.”

Terkadang alasan bosan yang digunakan hanya dibuat-buat olehnya. Seperti ketika sedang ujian disekolahnya. Saat aku bekerja, tiba-tiba gurunya mengirimkan pesan singkat. Menanyakan keadaan Wulan yang tidak seperti biasa. Katanya Wulan selama di kelas terlihat lesu dan tidak bersemangat mengerjakan ujian mewarnai. Padahal hari-hari biasanya, dia termasuk murid yang semangat dan selalu menyelesaikan tugas lebih dulu dibanding teman-temannya.

“Tadi pagi sih baik-baik aja, Bu. Saya berangkat kerja dia masih petakilan dan bawel nitip beli makanan,” kataku membalas pesan gurunya.

Tak lama gurunya mengirimkan video ketika anak-anak dalam kelas. Dalam rekaman tersebut terlihat Wulan seperti ayam sayur. Dia mewarnai tapi setengah hati mengerjakannya. Dagunya bertopang di atas meja setengah merebahkan kepalanya. Pensil warna hanya dia pegang dan hanya melihat lembar ujian mewarnai dengan tatapan malas.

“Selama di kelas dia seperti itu, Bu. Saya tanya dia gak jawab. Mewarnainya gak selesai-selesai sampai jam pulang.” Gurunya menjelaskan dalam pesan singkat setelah mengirimkan video.

“Iya, ya. Itu anak kenapa,” tanyaku bingung.

“Saya juga bingung, Bu. Makanya saya tanya Ibu. Wulan sampai ketinggalan ujian kedua—gunting dan menempel. Jadi, ujiannya di rumah aja, Bu. Lembar ujiannya saya masukin dalam tas Wulan. Nanti tempel di kertas HVS kosong, Senin dikumpulkan.”

“Baik, Bu. Terima kasih banyak atas perhatian dan pengertiannya, ya, Bu guru.”

Aku akhiri obrolan pesan singkat dengan guru Wulan. Lalu aku mencoba menghubunginya dengan panggilan video. Ingin memastikan keadaannya. Apa tiba-tiba dia sakit, pikirku. Namun, kenyataannya dia segar bugar. Dalam panggilan video dia tengah asyik bermain sendiri dengan hamparan lego yang berserakan. Bahkan menyapaku dengan singkat seraya sumringah.

“Hai, Mama.”

Sungguh kali ini ulahnya membuatku bingung. Tingkahnya 180 derajat berbeda dengan video yang dikirim oleh gurunya. Baiklah, nanti setelah pulang akan aku tanyakan langsung kepadanya.

***

Setelah bercengkrama dan makan malam bersama keluarga. Aku mengajak Wulan ke kamar untuk bersitirahat. Teringat pesan gurunya untuk bantu mengrjakan ujian gunting dan menempel.

“Oh, iya, Ibu guru bilang, katanya ada tugas yang harus dikerjakan di rumah?”

“Iya, Ma, ada di tas. Wuyan ambil tasna duyu.”

Aku hanya memberi pengarahan dan mengawasinya mengerjakan ujian di rumah. Tidak ikut membantunya ketika dia meminta bantuan.

“Ini kan ujian, Wulan harus kerjain sendiri. Bagian yang ini harus digunting, keluar garis juga gak apa-apa.”

“Keyuar gayis, ga pa-pa, Mama gak mayah.”

“Masa Mama marah, yang penting Wulan kerjain sendiri.”

“Wuyan mau nilai A.”

“Kalau gitu kerjainnya yang rapih. Oh, iya, hari ini kamu kenapa? Tadi Bu guru telepon Mama, katanya Wulan gak semangat ngerjain ujiannya.”

Wulan tidak menjawab dan ketika kutanya ulang, dia protes, “Mama jangam bisik, Wuyan kan gi kejain ni.”

Setelah selesai megerjakan, ku ambil minum dan cemilan untuk dia makan dan kembali kutanya. Jawabannya membuatku menggeleng.

“Wuyan, bosan. Kejainna sendili, ga dibantuin.”

Anak kecil umur empat tahun seperti Wulan memang terkadang berulah di luar dugaan orang-orang dewasa. Membuat orang tua dan gurunya khawatir. Padahal biang keroknya adalah alasan yang dibuat olehnyabosan.



 

Penulis. Dwinov Swa

Bosan Bosan Reviewed by Dwi Noviyanti on July 11, 2022 Rating: 5

11 comments:

  1. ada-adanya ya ulah su wulan ni, jangankan anak-anak mbak, kita sendiri pernah ngalamin hal yang sama dengan rutinitas yang itu-itu aja, q suka sama tulisan kakak, pas baca seolah kita ikut di dalamnya alami banget kak.

    ReplyDelete
  2. Begini ya gambaran kalau udah punya anak wkwk. Jadi teringat klo dulu pernah di posisi kayak wulan juga, bosan. Salut banget sama ibu-ibu yang sabar menghadapi anak beginian

    ReplyDelete
  3. Hahaha.. lucu nya Wulan. Alasan bosan emang bikin orang sekitar mentolerir apa yang sudah ga mau kita lakukan lagi. Wkwkwk . Saya juga gitu.. suka pake alasan bosan😆

    ReplyDelete
  4. wkwkwk wulan, wulan, ada aja ya kamu, lucu banget sih adik cantik

    ReplyDelete
  5. Hm itu berarti Wulan sudah bisa mengekspresikan diri. Ia tahu perasaan bosan :)

    ReplyDelete
  6. Anak sekarang memang lebih kreatif ya, jadi bikin mereka lebih cepat merasa bosan. Hehehe

    ReplyDelete
  7. Sebagai orang tua emang harus bener² mantau dan nemenin anak²nya di masa perkembangan seperti wulan kak.

    ReplyDelete
  8. Wulan sedang senang dengan kata bosan mba....jadi bilang bosan terus.hehe

    ReplyDelete
  9. Ini ada yg di rumah nii yg suka blg kata2 serupaaa.. haha wulan gemesin

    ReplyDelete
  10. lucu pasti ekspresi nya Wulan bikin gemes.

    ReplyDelete

Followers

Powered by Blogger.