Selepas pulang bekerja. Aku dan teman
berniat melakukan donor darah. Kebetulan lokasi PMI—Palang Merah Indonesia,
berada tak jauh dari kantor. Sesampainya di sana pengunjung tidak terlalu
ramai, menjadi alasan kami berkunjung di hari Selasa. Sehingga rangkaian
pemeriksaan sebelum donor berlalu dengan cepat. Namun, sayang, aku tidak dapat
mendonorkan darah. Kadar hemoglobin dalam darahku tidak memenuhi kriteria
sebagai pendonor. Berbeda dengan temanku, dia berhasil mendonorkan darahnya.
Setelah temanku selesai mendonorkan darah,
kami pulang dan berpisah di tengah jalan. Waktu sudah menunjukkan pukul
19.25 WIB. Aku terlambat pulang. Membuatku mampir ke minimarket membelikan
cemilan untuk Wulan—anakku sebagai kompensasi keterlambatan.
Sesampainya di rumah, kuparkir Mamang—sepeda listrikku, lalu bergegas menuju kamar atas. Menemui Wulan yang tengah asyik bermain laptop. Di tangga aku sudah membayangkan ekspresinya ketika dia menerima cemilan favoritnya. Namun, bayangan itu hanya sekedar ekpekstasi semata. Kekecewaan dan emosi mulai menjalar kala melihat botol skin care teronggok tanpa tutup di atas mesin cuci. Isinya berceceran di badan luar botol. Aku murka, teringat susah payahnya mendapatkan sebotol serum perawatan wajah itu. Bahkan aku belinya secara mengangsur.
“Wulan …! Ini pasti kerjaan kamu!”
Wulan yang tengah asyik nonton film di
depan laptop terkejut. Tubuhnya mengkerut melihat Mamanya datang
dengan badai amarah.
“Mana tutupnya!” seruku, “Kenapa Wulan
main ini? kenapa, hah!” bentakku tak dapat menahan amarah.
“Mama agi ga puyam-puyam, yama banget
puyamna,” jawab Wulan seraya berdiri.
Seketika aku merasa bersalah, luput mengabarinya
kalau pulang terlambat. Namun, rasa kesal masih sangat kental. Hingga amarah
masih merongrong untuk dilampiaskan.
“Kalau Mama pulang lama, telpon! Bukan
main beginian! Argh …!”
Wulan mundur dan menjauh, berdiri dekat mesin cuci. Wajahnya tampak ketakutan, tetapi ada rasa kesal yang terlihat. Rasanya seperti ingin melampiaskan kekesalannya padaku. Lalu dia meraih botol skin care dan melemparnya ke arahku. Botol terpelanting memuntahkan cairan kental di lantai.
“Udah! Wuyan dah tepon! Tapi Ma-ma ga
angka!”
Oliv—kakak sepupu Wulan yang tinggal di
rumah terkejut dan menghampiri kami. Mencari tahu, keributan apa yang sebenarnya terjadi.
“Emang bener, tadi Wulan telepon?”
tanyaku kepada Oliv.
“Iya, dia telepon Kakak dua kali, tapi
engga di angkat-angkat,” jawab Oliv yang berdiri di sisi Wulan.
Mendengar jawaban dari Oliv, Wulan
memicingkan mata ke arahku. Kucoba melihat handphone dan tidak ada satu
notifikasi pun.
“Gak ada telepon yang masuk,”
“Wuyan tepon Mama!” seru Wulan.
Aku coba ganti saluran internet data
seluler menjadi wifi di rumah. ‘Tring-tring-tring-tring.’ Sahutan dering
notifikasi di handphone milikku bersahutan. Berisi pesan-pesan yang tertunda
diterima. Termasuk panggilan video yang tak terjawab dari Wulan. Ternyata data
internet selulerku habis.
Rasa bersalah menyergapku. Tatapan sinis
Wulan begitu telak menghujam jantung. Aku pun menghampirinya, berlutut, dan
memeluk tubuh mungil di hadapanku.
“Maafin, Mama, ya,” ujarku lirih.
“Hu-hu-hu-hu.” Wulan menangis dengan
terisak. Air matanya rembes di pundakku. Aku biarkan dia luapkan emosinya dalam
peluk. Mengelus punggungnya tanpa berkata sedikit pun. Setelah tenang dan
tangisnya reda, kugiring dia ke dalam kamar. Duduk bersisian di tepi kasur.
“Mama tuh marah karena make up itu
mahal, Lan.”
Aku berkeluh kesah kepadanya.
Mengatakan penyebab kemarahanku. Wulan
hanya diam dan mendengarkan dengan seksama. Kupungut botol skin care yang tergeletak di atas lantai. Kuintip isinya, ternyata masih ada sedikit di dalamnya.
“Tutupnya dimana? Waktu dimainin, Wulan
taro mana tutupnya?”
Aku bertanya seraya sibuk mengais sisa-sisa cairan kental yang tercecer di lantai dengan telunjuk jari. Kemudian memasukkan kembali dalam botolnya. Memang benar, usahaku tidak merubah keadaan isi botol. Namun, setidaknya dapat menghiburku.
“Ini, Ma, ni.” Ternyata Wulan mencari
tutup botol dan menemukannya.
“Lain kali, jangan mainin make up Mama
lagi, ya. Nanti Mama ngamuk.”
Wulan menggangguk dan sedikit tertawa
mendengar kata ngamuk, lalu berkata, “ Iya, Ma.”
Botol skin care menjadi pemicu konflik antara aku dan anak usia empat tahun. Namun, aku serasa sedang bertengkar dengan ABG—Anak Baru Gede. Membuatku tertawa dalam hati. Tidak menyangka Wulan akan bereaksi dan memberikan penjelasan. Semua ternyata hanya kesalahpahaman antara kami. Biang keladinya adalah data selulerku yang habis. Membuat kami meledakkan badai amarah.
Penulis:
Dwinov Swa
No comments: