Tempat
baru, teman baru. Selalu seperti itu ketika Wulan—anakku, diajak berkunjung ke
sebuah tempat. Dia anak yang mudah mendapatkan teman, tidak peduli
siapa mereka. Orang yang bisa diajak bermain adalah teman baginya. Begitu
pun ketika melintasi sebuah jembatan penyeberangan disalah satu pinggir kota
Jakarta. Keberadaan kami di sana tengah menunggu seorang teman.
Di tengah
jembatan terlihat seorang pedagang masker dan aksesoris. Membuatku
menghampirinya karena membutuhkan penghubung masker. Ternyata si pedagang
bersama dengan anak kecil seumuran Wulan. Tanpa basa-basi dia menghampiri anak
kecil yang tengah memainkan penghubung masker berbentuk rantai warna-warni.
Tak berapa lama, dia asyik bermain dengan teman baru.
“Itu mereka
cepat sekali akrabnya,” tanya pedagang.
“Iya, Wulan
memang begitu. Apalagi kalau yang didekati welcome
kaya anak Ibu,”
“Oh … namanya
Wulan. Kalau anak saya Queen. Wulan umurnya berapa tahun, Mba?”
“14 Maret
kemarin, genap 4 tahun.”
“Wah, beda dua
bulan sama Queen, dia bulan Januari. Queen senang kalau ada yang ngajak main,
soalnya setiap hari nemenin saya jualan di sini.”
Aku mendengar
cerita si Ibu seraya mengamati kedua anak yang kian berlari berkejaran hingga
hampir memasuki halte bus.
“Wulan …!
Jangan turun-turun kesitu. Queen juga, naik ya, nanti diomelin petugas,”
teriakku.
Ternyata
mereka tengah berusaha menangkap seekor kucing kecil. Hingga akhirnya kucing
tersebut dapat ditangkap dan menjadi mainan. Malang nian nasib kucing itu, jadi bulan bulanan kedua anak kecil, pikirku.
“Kucing itu
memang suka dibawa-bawa Queen. Nanti sore ada enci yang datang dan kasih
kucing-kucing sekitar sini makan, baru dilepasin kucingnya sama dia.”
“Oh, gitu," kataku, "Queen, gak rewel diajak jualan setiap hari,” lanjutku bertanya.
“Namanya
anak kecil, kadang suka rewel juga. Abis gimana, ya, Mba. Queen kan anak
ke-5. Anak pertama saya bekerja dan tiga lainnya masih sekolah. Sedangkan suami
bekerja—tukang bangunan. Kalau di rumah, gak ada yang ngurus,” tutur pedagang.
“Queen,
anak ke-5? Keliatannya Ibu masih muda. Dikira anak pertama atau kedua.”
“Dulu saya
nikah muda. Belum lulus sekolah udah disuruh nikah. Keluarga gak ada biaya
ngelanjutin sekolah. Makanya anak saya banyak, he-he-he. Kalau Mba sendiri,
Wulan anak keberapa?”
“Kalau si
Wulan, anak pertama, Bu.”
“Ga pengen nambah,
Mba?”
“Mau sih,
tapi harus cari suaminya dulu, he-he-he”
“Kok,
gitu.”
“Iya, saya
sudah tidak bersama ayahnya Wulan.”
“Meninggal
atau gimana, Mba?”
“Bukan,
saya pisah karena bercerai. Sudah tidak sanggup hidup dengan lelaki yang doyan
kawin. Ditambah utangnya banyak, sebagian pake nama saya lagi, pusing Bu
ditagih orang terus.”
“Astagfirullah,
yang sabar, Mba.”
“Iya, Bu.
Lepas dari dia bisa napas lega. Bahkan sudah mulai bisa nabung untuk biaya
sekolah Wulan. Kalau dulu mah boro-boro, tabungan saya dikuras terus, ga pernah
ada sisa.”
“Ya ampun, Mba
kerja, kan?”
“Iya, alhamdulillah
masih bekerja.”
“Semoga nanti dapat ganti yang lebih baik dan bertanggung jawab, ya.”
“Amin.”
Obrolan
kami pun berlanjut seputar anak-anak si pedagang, pengalaman dikejar Satpol PP, dan susahnya
membenahi lapak ketika turun hujan karena terkena rembesan atap yang bocor. Sampai
terdengar suara tangis Wulan.
“Mama, dia
nda mau kasih kucingna,” adu Wulan.
“Tadi, kan,
Wulan udah gendong. Lagian kasian itu kucingnya, udah lepasin aja, ya,” ujarku.
“Jangan …
nih de, kamu yang pegang kucingnya, nanti kalau udah sampe situ, gantian, ya,” kata
Queen menyerahkan kucing.
Mereka pun
kembali bermain. Hingga tiba saatnya Wulan berpisah karena temanku sudah berada
di tempat temu janji.
“Lan, ayo,
teman Mama udah sampai.”
Wulan
menyerahkan kucingnya ke Queen dan mengenakan sepatunya yang sedari tadi
ditanggalkan.
“Wuyan pegi
duyu. Nanti ke ini agi,” kata Wulan
“Bunda …
Wulan ga boleh pergi,” rajuk Queen.
Kami pun meninggalkan Queen dan ibunya. Queen yang sudah tidak merajuk melambaikan tangan ke arah Wulan yang semakin menjauh.
"Da-da ... Da-da ...," ucap Wulan seraya melambaikan tangan.
Penulis: Dwinov Swa
No comments: