Tanaman Liar

 


Aku berusaha memanjat dinding tanah disaat gelap masih menggelayut manja. Matahari enggan beranjak dari peraduannya. Ketika sampai puncak, terdapat jalan setapak di tengah hamparan hijau yang terbentang luas. Tanaman padi dalam petakan sawah bertumbuh subur. Menggoyangkan tubuhnya kala tertiup angin—seolah menyapa. Dikejauhan, netraku menangkap samar, berdiri angkuh menjulang ke langit—sang penguasa dataran tinggi—Gunung Galunggung.

Jalan setapak itu kian terjal dan licin karena hujan semalam. Namun, sisa petrichor masih terendus nikmat oleh hidung. Kuraba setiap tanaman padi yang berembun, mengajak mereka memasuki setiap pori tanganku. Terdengar gemericik air, menggiringku melangkah. Hingga bertemu jalan beraspal yang dapat dilalui kendaraan roda dua. Kususuri jalan yang kian membuatku berdecak kagum. Netraku dikepung pemandangan yang biasanya hanya dilihat dalam lukisan persawahan.

Tidak, aku tidak boleh menikmatinya sendiri. Kulangkahkan kaki berbalik arah, menyusuri jalan yang sudah kutapak. Kembali ke rumah paman—tempat singgah kami—aku, Wulan, dan Mama. Kehadiran kami di sana memenuhi undangan paman yang akan menikahkan anak gadisnya. Langkahku kian cepat ketika sayup terdengar suara tangis Wulan—batitaku.

Sesampainya depan rumah, Wulan berada dipangkuan Mama. Dia gelisah mencariku yang menghilang.

“Eh, tumben, anak Mama udah bangun,” kataku.

“Kamu kemana sih, pagi-pagi udah ngayap, kebiasaan,” sosor Mama.

Aku hanya menyunggingkan senyum. Mama sangat paham kebiasaan anak perempuannya. Tidak akan menyia-nyiakan pagi bersama selimut ketika berada di tempat baru. Hanya saja, terkadang lupa kalau saat ini sudah memiliki anak.

Wulan beralih ke dalam dekapanku. Lalu mengajak mereka berdua berolahraga dengan pemandangan alam. Ketika sampai di jalan beraspal kuturunkan dia dari gendongan, membiarkan berjalan dan berlari sebebasnya.

“Kalau ada sepeda, minggir, ya,” petuahku.

Wulan sudah berada jauh dari aku dan Mama yang tertinggal. Helaan napas kami terasa berat karena jalan kian terjal. Hingga Mama berhenti sejenak, memberi jeda paru-parunya yang sudah 60 tahun bekerja. Napas masih tersengal, tetapi wajah Mama sumringah mendapati kanan kirinya persawahan. Kemudian matanya tertuju ke arah bambu kecil yang tertancap di tanah tepi persawahan dan mengalirkan air jernih. Dia pun menghampiri kemudian membasuh wajahnya. Tak hanya itu, dia menadahkan air ke dalam tangan lalu meminumnya. Aku yang melihatnya bergegas menghampiri dan mengikuti apa yang Mama lakukan.

“Masyaallah, seger banget, Ma,” kataku takjub.

“Iya, ini mata air dari Gunung Galunggung,” ujar Mama.

“Wulan … sini, mau minum ga?” teriaku.

Keberadaan Wulan sudah cukup jauh. Membuatnya terengah ketika sampai di mata air yang tengah kami nikmati. Kami pun melanjutkan perjalanan. Ternyata jalan yang kami susuri tidak hanya terjal melainkan curam nan berliku.

Setelah puluhan meter hanya sawah dan perkebunan yang terlihat. Kami memasuki perkampungan warga yang ternyata sudah berbeda dusun dengan rumah paman. Seperti kebanyakan perkampungan dataran tinggi—jalannya kian terjal kala memasuki pemukiman warga. Membuat Mama terhenti dan beristirahat di halaman rumah warga. Sedangkan aku mengejar Wulan yang tidak kenal lelah.

Matahari mulai menampakkan diri. Sinarnya menyengat kepala, kami memutuskan kembali ke rumah paman. Di tengah jalan, rimbun tanaman liar seakan memanggil. Aku mendekat dan terpikat hingga menyentuhnya.

“Wulan … sini. Kesini dulu deh,” kataku.

Dia menghampiriku dengan wajah bingung. Melihat apa yang kulakukan—menyentuh tanaman liar, kemudian tanaman tersebut mengatup—seolah malu.

“Ma, Wuyan mo,” ujarnya.

Ternyata bukan hanya aku dan Wulan yang menikmati bermain dengan tanaman tersebut. Namun, Mama pun tengah asyik menyentuh dan membuat mereka mengatup. Tawa kami membahana. Menertawai tingkah malu sekumpulan tanaman liar.

 

 

Penulis: Dwinov Swa

Tanaman Liar Tanaman Liar Reviewed by Dwi Noviyanti on June 24, 2022 Rating: 5

2 comments:

  1. Wah, aku jadi membayangkan betapa segarnya di gunung Galunggung sana

    ReplyDelete
  2. Seger banget Kak Amel. Wulan betah di sana, diajak pulang Jakarta gak mau hehehe

    ReplyDelete

Followers

Powered by Blogger.