Suatu sore, seorang tetangga bersama dua orang anaknya—Isna dan Tara bertandang ke rumah.
Keduanya, teman main Wulan—anakku. Tanpa diminta mereka berdua bergegas
menghampiri Wulan yang tengah asyik bermain sendiri dengan mainannya, mereka
pun mulai bermain bersama. Kedatangan tetangga yang biasa di sapa Mama Isna, ternyata ingin
meminjam HP—Hand Phone, untuk
menelepon suaminya yang tengah bekerja di luar kota sebagai supir kontainer.
“Mama
Wulan, saya boleh pinjam HP-nya?” tanya Mama Isna.
“Pinjam
untuk apa?” tanyaku selidik.
“Saya mau
telepon Papanya anak-anak. Katanya, kemarin pulang, tapi sampai sore gini belum
sampai rumah.”
“Oh … bentar,
ini HP-nya. Saya tinggal ke dapur ya …” kataku seraya memberikan HP dan
bergegas kembali ke dapur.
“Iya Mama
Wulan.”
Tak lama
kemudian terdengar suara Mama Isna yang tengah berbicara. Mengalirlah
percakapan antara suami dan istri. Di tengah percakapan tersebut kedua anaknya
sadar bahwa mamanya sedang berbicara dengan papa mereka. Tanpa aba-aba, mereka
berdua berlari dan menyerobot HP dari genggaman mamanya.
“Papa … Papa … Papa … Pa …”
Suara
mereka saling tumpang tindih memanggil papanya. Perebutan HP antara Isna dan
Tara tidak terelakkan. Mama mereka pun tidak dapat melerai perebutan yang
terjadi. Hingga akhirnya si sulung—Isna yang berusia 5 tahun memukul tangan
adiknya. Pertengkaran mereka berakhir dengan tangis si bungsu—Tara yang baru
berusia 2 tahun. Kini HP berada di tangan Isna dan mulai berbicara dengan
papanya.
“Papa, Papa
kapan pulangnya. Katanya mau pulang,” tanya Isna.
Tara
berhenti menangis setelah di pangku mamanya. Mama Isna mengambil HP dari tangan
Isna dan menyentuh tanda loud speaker.
“Nih Pah,
tangan adiknya dipukul sampai merah sama si Isna!” lapor Mama Isna.
“Lagian
sih, adik tarik-tarik HP-nya. Isna kan mau ngomong sama Papa,” bela Isna.
“Gak boleh mukul sayang, kasihan kan adiknya
... Isna sama Tara lagi ngapain?” tanya Papa mengalihkan.
“Isna sama
Tara lagi main sama Wulan, mainannya bagus-bagus deh Pah. Isna mau … beliin ya,
Pah ...” rajuk Isna.
“Iya, nanti
kalau Papa pulang, Papa beliin ya …”
“Ye-ye-ye-ye,
Papa pulang bawa mainan, ye-ye-ye-ye,” girang Isna.
“Kalau
gitu, Isna sama Tara main lagi sama Wulan. Papa mau ngomong sama Mama. Mainnya
jangan berantem, ya …” pesan Papa.
Saat Isna
dan Tara sedang berbicara dengan Papanya. Wulan yang sedang main, tiba-tiba
menghentikan mainnya dan terpaku menatap mereka. Ketika mereka bergabung
kembali untuk bermain. Kini Wulan yang pergi menghampiri Mama Isna dan
menatapnya tanpa berkedip.
“Wulan
kenapa?” tanya Mama Isna.
“Lan mu
mong,” jawab Wulan.
“Oh ...
bentar, ya. Pah, ini Wulan mau ngomong
katanya. Terima aja ya, kasihan ayahnya udah lama nggak pernah telepon. Kayanya
dia kangen,” ujar Mama Isna mengkonfirmasi dan menekan kembali tombol loud speaker. Lalu meletakkan HP
dipangkuan Wulan.
“Halo
Wulan, Wulan lagi ngapain?” sapa Papa Isna.
“Ao, Yah ...”
jawab Wulan seraya tersenyum.
Sebelum
kembali berbicara Wulan mulai sibuk dengan kesepuluh jarinya dan mulai
berhitung dengan suara keras.
“Yah, Lan
sa tung, tu … wa … ga … pat … ma … nam … juh … pan … lan … luh …! Ye … Lan sa
tung, Yah!” kata Wulan antusias.
Namun, Papa
Isna tidak merespon perkataan Wulan.
“Itu Pah,
tadi Wulan berhitung satu sampai sepuluh. Hebat, ya, Wulan,” ujar Mama Isna
menjelaskan seraya mengusap rambut Wulan.
“Oh … Wulan
pintar sekali, sudah bisa berhitung. Wulan hebat,” respon Papa Isna.
Wulan
sumringah ketika mendengar pujian dari Mama dan Papanya Isna. Sedangkan aku yang
mendengar dari dapur sangat terharu. Tanpa terasa setetes air mata merembes
dikedua pipi.
Setelah
perceraian, aku tidak pernah membatasi komunikasi antara Wulan dengan ayahnya.
Bahkan khusus aku siapkan satu HP untuk komunikasi mereka dan rumah pun terbuka
24 jam untuknya menemui Wulan. Namun, sangat disayangkan dia tidak peduli dengan
perasaan seorang anak berusia tiga tahun yang merindukannya. Hingga Wulan
mengutarakan rindunya, meski salah sasaran.
Penulis: Dwinov Swa
jadi pengen peluk wulan. kalau ini kisah nyata peluk jauh ya sayang.
ReplyDeletePeluk Ibu juga dari jauh. Memang kisah nyata sih, Bu. Tapi sudah berlalu, anaknya sekarang sudah happy, banyak yang sayang sama dia melebihi ayah biologisnya.
DeleteSalam kenal ya, Ibu. Nanti kalau ada rejeki ke Bali, Wulan boleh mampir ya, Bu :)
Peluk Ibu juga dari jauh. Memang kisah nyata sih, Bu. Tapi sudah berlalu, anaknya sekarang sudah happy, banyak yang sayang sama dia melebihi ayah biologisnya.
ReplyDeleteSalam kenal ya, Ibu. Nanti kalau ada rejeki ke Bali, Wulan boleh mampir ya, Bu :)