POSESIF

 

“Gak boleh!” seru Wulan.

“Di bawah ada teman, Mama,” kataku.

“Mama, di atas aja, gak boleh turun!”

“Itu, kan Om yang waktu itu ajak Wulan naik motor. Mama, nemenin Om dulu, ya,” bujukku.

“Mama di atas aja, nonton poni sama Wulan!”

“Mama, turun sebentar aja, Lan, Nanti naik lagi.”

Wulan menangis seraya memegangi tanganku agar tidak turun.

***

“Ya, ampun, memang benar Sof, si Bela ngegugat suaminya? Keliatannya mereka baik-baik aja deh,” kataku tak percaya.

“Bela yang cerita ke saya … sok atuh ditanyakeun ke Bela langsung,” jawab Sofi teman SMA-ku dulu.

“Postingan terakhirnya, dia abis jalan-jalan ke luar kota. Ada masalah apa sih dia sama suaminya?”

“Jalan ke sana, jalan ke sini, ternyata itu cuma alibi doang, biar si Bela senang dan nutupin kalau dia nikah lagi,” seloroh Sofi

“Gila!” pekikku.

 “Ma, Mama …” panggil Wulan.

“Iya, Lan, kenapa sayang?” jawabku.

“Sini, Mama ke sini dulu. Wulan gak bisa pasang ini,” ujar Wulan meminta bantuan memasang puzzle.

“Minta tolong Kakak Ica aja, Lan,” sahutku.

“Tuh, Kakak Icanya ada di situ. Ica … temenin Wulan main,” timpal Sofi.

Ica—anaknya Sofi yang berusia 6 tahun sibuk main game di ponselnya. Sedangkan Wulan mulai bosan bermain puzzle sendiri.

“Kemarin Bela sempat telepon gue. Dia nanya-nanya soal daftar gugatan gitu, gue pikir buat temannya,” tukasku.

“Mama …! Mama …!” teriak Wulan.

“Apa sih Lan! Mama lagi ngobrol sama tante Sofi. Main aja dulu,” keluhku.

“Iya, kasihan tau si Bela, mana di sini dia merantau. Keluarganya pada jauh, mau tinggal di mana dia kalau jadi pisahan,” jelas Sofi.

“Nanti kalau Bela butuh tem ….”

Tiba-tiba Wulan membekap mulutku dengan kedua tangannya.

***

“Alhamdulillah, kemarin Faiz full ASI 2 tahun,” tutur Bundanya Faiz—tetanggaku.

“Enak ya, Bundanya Faiz, jadi bisa irit, he-he-he.”

“Mama Wulan ada-ada aja, memang Wulan dulu gak full ASI?”

“Waktu usia 4 bulan, Wulan bingung puting. Dia mau minum ASI, tapi maunya di botol gak mau nyusu langsung.”

“Owalah, terus dibantu sufor ya?”

“Iya, soalnya ASI saya lama-lama gak keluar, padahal udah saya pompa, makan-makanan penambah ASI, bahkan sampai minum ASI Booster, tapi enggak ngaruh.”

“Mama …!” teriak Wulan.

“Kenapa, Lan.”

“Mama …! Mama …! Mama ...!” teriak Wulan lagi.

“Apa sih, Lan. Ditanya tapi gak jawab, jangan teriak-teriak gitu nanti Dede Faiznya bangun,” selorohku.

“Iya, saya dengar kalau anak menyusu langsung ada enzim yang keluar dan itu bisa merangsang produksi ASI,” ujar Bundanya Faiz.

“Oh … baru ta ….”

Tanpa sepengetahuanku, tiba-tiba Wulan menyumpal mulutku dengan gelas yang berisi air minum.

***

“Oh, iya benar, Bang. Sekarang kalau gak dipasarin di online barang jualanan gak laku,” kataku menimpali.

“Iya, Mba, saya sih pengennya kerja. Usaha foto copy dan ATK lagi pada sepi. Sekolahan kan pada online semua,” jelas penjaga foto copy.

“Mama, ayo …” ajak Wulan.

Aku tidak menjawab ajakan Wulan karena tengah asyik berbicara dengan penjaga foto copy. Wulan pun kian kesal.

“Ini usahanya punya abang sendiri atau punya orang?” lanjutku bertanya.

“Mama … ayo, lama amat!” sungut Wulan.

“Bentar sih, Lan! Ini kita beli ini, yah. Kamu mainan di sini,” kataku seraya mengambilkan paket penggarisan berlubang yang bergerigi. Diarsir dengan pensil sehingga menghasilkan bentuk lingkaran yang indah.

 “Punya orang Mba, bagi hasil,” jawab penjaga foto copy.

“Owalah, git ….”

‘Pletak’ terdengar suara penggaris patah.

“Mama, sih, ngomong terus, jadi patah, kan,” gerutu Wulan.

***

Ketika Wulan tengah asyik menonton video di HP-Hand Phone. Tiba-tiba ada panggilan telepon dari teman pria. Wulan langsung memberikan ponselnya kepadaku.

“Halo, hai, ih … tumben telepon. Ada apa nih, orang sibuk telepon gue, he-he-he.”

Percakapan berlangsung sekitar lima menit. Wulan sudah gelisah melihatku menerima telepon yang cukup lama. Wajahnya mulai kesal. Tidak lama kemudian ponsel di rebut olehnya dan mematikan sambungan telepon. Namun, temanku menelepon kembali dan aku mengangkatnya.

“Maaf ya, keputus. Jadinya, gim …”

“Wulan! apa-apaan sih, Mama, kan lagi telepon!” bentakku.

Setelah merampas HP dari tanganku, dia menjauh dan mendekapnya. Kembali, temanku menghubungi, tetapi langsung di reject oleh Wulan. Berulang kali Wulan melakukannya. Hingga pada panggilan yang kesekian, barulah Wulan menjawab.

 “Om lagi, om lagi! Wulan gak suka Mama ngomong sama Om! Ah …” jawab Wulan kesal seraya menangis.

***

Awalnya aku tidak mengetahui apa maksud di balik tingkah Wulan yang menyebalkan. Namun, pada akhirnya aku menyadari semua tingkah Wulan tersebut menunjukkan bahwa aku—Mamanya, sangat berarti di hidupnya. Tidak rela perhatian mamanya terbagi dengan orang lain. Wulan menyampaikan perasaannya kepadaku dalam wujud tingkahnya yang aneh dan di luar dugaan. Tingkah seseorang yang sedang posesif.

 

 

Penulis: Dwinov Swa