Pengalaman Pertama

 


Ini kali pertamanya aku mengajak Mama dan Wulan—anakku, pergi menggunakan pesawat terbang. Kami akan mengunjungi tanah kelahiran almarhum bapak di Selayar—Sulawesi Selatan.

“Masyallah, akhirnya naik pesawat lagi,” ujar Mama ketika pesawat lepas landas.

“Dulu waktu Mama naik haji pesawatnya begini, gak?” tanyaku.

“Pesawatnya lebih gede, terus gak berisik kaya gini. Ini mah berasa naik bis kota, lihat, busa kursinya keluar gini,” tutur Mamaku menunjuk kursi depannya.

Aku hanya tersenyum kecut mendengar ucapan Mama karena hanya mampu membelikan tiket pesawat kelas ekonomi. Kami akan mendarat di Bandara Sultan Hasanuddin, saudara bapak sudah menunggu—siap mengantar ke rumahnya yang berada di tengah kota. Tujuan pertama kami bersilaturahmi ke rumah sanak saudara di beberapa tempat yang berada di Kota Makassar. Kemudian, tulat akan bertandang ke Selayar menggunakan jalur darat.

Kehadiran kami disambut hangat oleh sanak saudara. Sewajarnya saudara yang telah puluhan tahun tidak bersua. Terlebih ketika kami bertandang, peristiwa duka menghampiri salah satu kerabat. Tangis haru suka cita membersamai pertemuan silaturahmi tersebut.

Bagi Mama, ini pertama kali menginjakkan kaki di tanah kelahiran suaminya. Puluhan tahun menikah dia tidak pernah mau ikut, entah apa alasannya. Hingga akhirnya bapak tutup usia, tertutup sudah alasan untuk pulang ke kampung. Aku tidak ingin memutus silahturahmi dengan keluarga bapak. Membuatku mulai merencanakan perjalanan dan menabung untuk membeli tiket.

Aku selalu sibuk dengan rutinitas pekerjaan. Bahkan hari libur pun masih disibukkan dengan pekerjaan rumah dan Wulan. Membuat jarak diantara aku dan Mama terbentang. Namun, berkat perjalanan ini membuat kami menjadi erat. Banyak cerita yang mengalir darinya, seperti alasan enggan ikut pulang kampung.

 “Mama takut, kalau diajak bapak. Takut ditinggal terus ngga bisa kabur,” seloroh Mama.

“Apaan sih, Ma, masa suami ninggalin istrinya,” ujarku.

“Bukan gitu, kan bapak dulu berlayar, pulangnya berbulan-bulan. Lah Mama bakalan sendiri di kampung, ya ... ada sih saudara-saudaranya, tapi Mama gak ngerti bahasa mereka. Kebayang banget ribetnya apalagi di sana pasti sepi gak kaya Jakarta,”

“He-he-he, Mama ada-ada aja, tapi iya sih, seingat saya dulu di sana sepi banget, belum ada listrik,”

“Tuh, kan, terus kalau mau kabur ke Jakarta juga susah. Harus nyebrang laut, wah Mama ngebayanginnya aja udah takut duluan. Makannya dulu waktu di ajak, Mama suruh aja kamu yang ikut bapak. Mama alasannya jualan dan kamu juga belum sekolah waktu itu, jadinya kamu deh yang pergi, tumbal Mama, he-he-he,”

“Dih, Mama rese, he-he-he.”

***

Perjalanan dari Makassar menuju Selayar memakan waktu sangat lama. Kami berangkat menggunakan mobil travel pukul 03.10 WITA. Sampai di Pelabuhan Bira pukul 09.00 WITA dan mulai menyeberang dengan kapal feri.

Waktu penyeberangan hingga sampai ke Pelabuhan Pamatata—Kepulauan Selayar butuh waktu sekitar 3-4 jam. Perjalanan yang melelahkan, untungnya Wulan tidak rewel dan selalu bermain dengan anak-anak penumpang lain sepanjang perjalanan. Begitu pun ketika berada dalam kapal, dia bermain dengan anak penumpang yang duduk disamping kami. Pasangan suami istri dengan seorang anak lelaki seumurannya.

“Monggo, ngicipi,” tutur Ibu di sebelahku.

“Terima kasih, Bu,” Aku dan Mama mengambil kue—semprit, dalam kotak makan.

“Dedenya, mau?” Tak lupa menawari Wulan yang tengah bermain HP bersama anaknya.

“Sempritnya enak, Bu. Teksturnya beda dengan yang biasa saya buat. Biasanya saya buat pakai tepung sagu, tapi tidak seperti ini teksturnya?” kataku setelah mencicipi.

“Iya, Mba, ini saya buat pakai tepung ararut,” ujar Ibu.

“Itu tepung apaan, Bu, saya baru dengar,” tanyaku.

“Tepung dari umbi garut, Mba, ditempat saya—Jogja, dekat pinggiran hutan banyak numbuh, jadi sama warga sekitar dibuat olahan setengah jadi—tepung ararut, namanya.”

“Oh …” kataku mengangguk.

“Ibunya dari Jogja,” kata Mama menimpali.

“Injih, Bu. Iki pulang kampung omah suami. Baru pertama dijak suami ning Selayar, adoh banget,  ra sampe-sampe,” keluh Ibu.

“Iya, bener, jauh banget. Saya juga baru pertama nginjek kampung suami. Padahal suaminya mah udah meninggal. Ini diajak anak pulang ke kampung bapaknya, biar silaturahmi tidak putus,” jelas Mamaku.

“Wulan doyan kuenya, bilang apa sama Ibu,” kataku ketika Wulan mengambil kue.

“Ci, Bu,” jawabnya.

***

Akhirnya kami sampai di Dusun Padang Tengah—Kepulauan Selayar saat azan asar berkumandang. Kami disambut penuh suka cita. Selama di sana tak luput kami menyambangi makam leluhur, mengunjungi wisata lokal, bertemu kerabat bapak di seberang pulau, dan bertandang ke rumah tetua. Jajaran rumah panggung menjadi pemandangan yang jarang kutemui di Jakarta. Hingga mataku tertuju ke sebuah sumur di tengah dusun.

Bersama bapak aku selalu diajak ke tempat itu. Bermain air dan bercengkrama dengan anak-anak dusun setiap pagi kala usiaku 6 tahun. Tak lupa sarapan buah srikaya yang tumbuh rimbun dekat sumur. Memakan daging buahnya dan meluncurkan biji dari mulut hingga terpelanting ke tanah.

 ‘Tit-tit-tit’ bunyi alarm HP membuyarkan lamunan. Tanda harus mengirim tulisan di platform sesuai ketentuan komunitas menulis yang tengah aku ikuti. Namanya, Komunitas one day one post—pelatihan menulis tanpa henti. Berhubung dalam perjalanan jauh, mensiasatinya dengan menyetel alarm agar tidak lupa mengirim tulisanku setiap hari.

***

“Nda ... nda mo, Ma, hu-hu-hu.” Wulan menangis ketika di suruh masuk ke dalam mobil travel yang akan membawa kami pulang ke kota.

Lingkungan kampung disisipi dengan hamparan ladang hijau, birunya air laut di belakang rumah, dan suasana yang jauh dari hingar bingar. Membuatku enggan beranjak dari dusun, seperti Wulan yang menolak pulang. Namun, hidupku di Jakarta, tempatku berjuang membesarkan Wulan. Kami harus mengucapkan selamat tinggal. Biarlah perjalanan ini menjadi sebuah kenangan yang tak lekang dimakan waktu, terkhusus Mama karena baginya ini pengalaman pertama.

 

 

Penulis: Dwinov Swa

Pengalaman Pertama Pengalaman Pertama Reviewed by Dwi Noviyanti on June 17, 2022 Rating: 5

2 comments:

  1. Wah, ngebayanginnya aja sudah capek, kek jauh banget.

    Mudah2 an someday bs traveling kesana, eheheheh

    ReplyDelete
  2. Memang jauh banget kak. Perasaan tuh, jalan tapi ngga sampe-sampe, hehehe
    Amin, semoga terkabul doanya. Saya juga mau kesana lagi, tapi nabung dulu :d

    ReplyDelete

Followers

Powered by Blogger.