Minum Obat

 


Beberapa kali aku menjadi saksi sebuah peristiwa penolakan seorang anak kecil yang diberi obat oleh ibunya. Seberapa pun rasa sakit yang diderita, anak akan bersikeras menolak. Alih-alih merayu atau membujuk dengan lembut, sang ibu memaksanya. Merejeng anak hingga kaki dan tangan terkunci kemudian membuka mulutnya dengan paksa. Atau yang lebih lembut, membohongi anak kalau obat itu manis meskipun bau. Hingga sang anak menutup hidungnya, lalu meminum obat dengan terpaksa.

Namun, anehnya ketika aku diamanahi Wulan—anakku, dia menyukai obat. Jangankan manis, pahit pun dia telan tanpa penolakan. Bahkan ketika sudah mulai bisa berinteraksi, kerap kali dia meminta obat.

“Ma, bat.”

“Emang Wulan sakit? Engga panas, kok.”

“ki, Ma, uhu-uhu.”

Wulan akan berpura-pura sakit apabila menginginkan obat, meskipun tengah malam. Untuk mengantisipasi kejadian seperti itu, kusediakan vitamin berbentuk sirup dalam kotak P3K.

Selama empat tahun mengasuhnya. Baru sekali dia menolak minum obat. Saat itu usianya belum genap setahun. Dia terkena herpes oral—bagian mulutnya dipenuhi sariawan. Jangankan obat, air putih pun dia tolak. Aku yang tidak pernah bermasalah memberinya obat, harus memutar otak. Bagaimana caranya agar Wulan minum obat tanpa aku paksa. Sudah hampir seharian tidak ada makanan atau minuman yang masuk—membuatku mulai cemas. Sayur kesukaanya tidak menggugah untuk disantap.

Aku mencoba alihkan rasa sakitnya dengan bermain. Kupilih wastafel cuci piring sebagai arena main. Kududukkan Wulan ke dalam bak wastafel dan memutar keran hingga air mengalir. Melihat air mengalir wajah kuyunya berubah sumringah. Beberapa suap nasi akhirnya berhasil kusuapi. Meskipun kadang meringis ketika mengenai sariawannya. Namun, ketika hendak kusuapi obat, wajahnya berubah murung. Aku meletakkan sendok yang tertahan di depan mulutnya. Mematikan keran dan mengafirmasinya.

“Wulan engga mau minum obat karena sakit, ya,”

“Hu-hu-hu,”

Kurengkuh tubuh mungil dan memeluknya, “Cup-cup-cup, sabar ya sayang. Sakit, enak ga?”

Wulan hanya menggeleng dalam pelukanku, aku pun kembali berujar, “Sakit itu ga enak, kan. Wulan mau sembuh?”

“Mo,” jawabnya  lirih.

“Sakitnya bisa sembuh kalau Wulan minum obat. Mama tau, pasti sakit pas masuk mulut, tapi Wulan harus tahan, sebentar … aja, Wulan mau sembuh, kan.”

Wulan mendongak menatapku. Wajahnya seakan tengah berpikir mempertimbangkan apa yang aku katakan.

“Wulan kan anak hebat, biasanya juga minum obat sendiri,” pujiku.

Dia masih berpikir, tak lama mulai membuka mulut. Menelan obat dengan erangan dan kembali menangis.

“Cup-cup-cup, sabar ya, Allah lagi sayang sama Wulan, makannya dikasih sakit. Insyaallah bentar lagi sembuh. Kan Wulan udah minum obat.”

Kini setelah usianya empat tahun. Dia akan memberitahuku dengan tingkah konyol jika melihat teman atau saudaranya menolak minum obat. Bahkan terpingkal sendiri ketika ingat, kala yang diberi obat menyemburkan obatnya dari mulut. Aku hanya turut tertawa mendengar ceritanya.

“Emang Wulan berani minum obat,”

“Berani, tapi kan Wuyan ga cakit.”

"Oh, iya, he-he-he,"

 

 

Penulis: Dwinov Swa

Minum Obat Minum Obat Reviewed by Dwi Noviyanti on June 23, 2022 Rating: 5

No comments:

Followers

Powered by Blogger.