Suatu sore dipekan hari. Aku dan
Wulan—anakku, mengunjungi taman bermain. Di sana terdapat ragam wahana
permainan. Salah satunya wahana pancing ikan. Kali ini sarananya bukan hanya
replika melainkan ikan sungguhan—ikan mas koki merah. Mereka dengan gesit
meliuk-liuk dalam air, menghindari saringan dari anak-anak yang ingin
menangkapnya.
Usaha menangkap ikan gagal, tak ada satu
ekor pun yang Wulan tangkap. Akhirnya dia menyerah dan mengajakku pulang dengan
wajah kuyu. Namun, wajahnya berubah cerah karena ternyata setiap pengunjung
yang selesai bermain mendapatkan reward
seekor ikan. Dia letakkan plastik berisi ikan ke dalam keranjang sepeda dan
pulang dengan hati riang.
Di tengah jalan, aku menyadari bahwa
plastik berisi ikan bocor. Kami pun berhenti di depan minimarket. Memindahkan
ikan ke dalam botol bekas air minum yang labelnya sudah dikelupas oleh Wulan.
Lalu menambahkan air keran yang tersedia di depan minimarket. Kemudian
melanjutkan perjalanan menuju ke rumah.
Sesampainya di rumah, aku membongkar
barang dari keranjang sepeda. Meletakkan dua botol air kemasan mineral—air
minum dan botol berisi ikan, di dalam rumah. Tak lama, Mama—nenek Wulan duduk
dekat kedua botol tersebut diletakkan, seraya mengunyah kerupuk. Botol yang
berisi ikan aku buka tutupnya agar mendapat oksigen.
“Ma … Ne … Nenek …!” teriak aku dan
Wulan berbarengan ketika melihat Mama tiba-tiba meminum botol berisi ikan.
Pendengaran Mama sudah tidak berfungsi
baik. Sehingga teriakanku dan Wulan tidak didengar. Dia berhenti menenggak air
karena Wulan langsung merebut botol dari tangannya.
“Nenek! Ini ikan Wulan!” seru Wulan.
“Ya, ampun … dikira Nenek air minum.
Lagian ikan di taro di botol, sih,” ujar Nenek bingung.
“Lagian, minum gak lihat-lihat dulu, yang
disebelahnya itu baru air minum,” celetukku.
“Tapi kok, airnya gak bau amis?” tanya
Nenek.
“Soalnya, tadi airnya diganti pakai air
keran, makannya gak bau,” jawabku.
“Untung, kamu gak masuk mulut nenek,”
ujar Wulan kepada ikan dalam botol.
“Ha-ha-ha,
nenek ada-ada aja, ikan diminum,” selorohku.
“Ga
apa-apalah, sehat, minum air ikan, ha-ha-ha,” kelakar Nenek.
“Ha-ha-ha-ha.”
Aku tak kuasa berhenti tertawa. Mama yang seharusnya marah karena aku menaruh
botol ikan di dekatnya, dia malah berkelakar seperti itu.
***
Keesokan harinya. Setelah pulang kerja
dan berbenah diri. Mama cerita kalau Wulan ngambek kepadanya.
“Anak lu tuh ada-ada aja, ha-ha-ha,”
ujar Mama tertawa.
“Apaan sih, Ma. Belum cerita udah ketawa
duluan,” kataku bingung.
“Ikan dia kan mati. Terus dia bilang
gini ke Mama, “Nenek sih minum ikan. Jadinya ikan Wulan mati!” tutur Nenek
mengulang perkataan Wulan.
“Ha-ha-ha-ha, ha-ha-ha-ha” tawaku dan
Mama saling sahut.
“Padahal, ikannya mati karena dia
sendiri. Airnya dikobok-kobok, dikasih nasi, dan botolnya di kocok-kocok. Pas
mati neneknya yang disalahin,” urai Nenek.
“Mama … Ma … ikannya mati, nenek sih
minum ikan, jadinya mati tuh,” jelas Wulan seraya duduk dipangkuanku.
“Ha-ha-ha-ha, ha-ha-ha-ha.” Aku dan Mama
kembali tertawa di tengah kebingungan Wulan.
Penulis:
Dwinov Swa
No comments: