Memasak bersama
Wulan—anakku merupakan salah satu kegiatan mengisi waktu, kala libur bekerja. Disaat
memiliki bahan-bahan kue, kerap kali aku mengajaknya membuat cemilan.
Ketika tengah sibuk menyiapkan peralatan: wadah bulat, timbangan
dapur, spatula, pengocok, dan lainnya, dia terlihat bersemangat ingin membantu.
“Ma, nanti Wuyan ja
masukin ni.”
Pintanya ingin membantu
memasukkan bahan-bahan seperti: tepung, mentega, keju, susu, atau bahan
lainnya. Membuat dapur berantakan sisa bahan-bahan yang tercecer. Aku
membiarkannya bereksperimen dengan adonan serta cetakan kue. Setelah selesai,
aku memintanya untuk bantu membereskan kekacauan yang dia buat.
Kini dia tumbuh makin
besar, tak terasa sudah berusia empat tahun. Memasak bersama denganku menjadi satu
hal menyenangkan baginya. Beberapa hari belakangan ini, dia merengek minta buat kue bersama. Namun, karena sibuk, aku tidak dapat memenuhi permintaannya.
Hingga suatu sore—pulang kerja, di dalam minimarket, aku lihat tepung es
krim sedang turun harga. Kuraih satu bungkus lalu membaca cara penyajiannya. Ternyata sangat mudah—hanya
mengocok tepung dengan air dingin.
“Ini, apaan, Ma?”
tanyanya ketika menggeledah tas belanja.
“Tepung es krim?”
“Kita, mau buat es
klim.”
“Iya, Wulan mau es
krim, ga?”
“Mo, Ma, Mo.”
Ketika aku tengah
mengeluarkan pengocok dari tempatnya, dia bertanya, “Mama, butuh bantuan?”
Aku hanya tertawa mendengar
perkataannya yang kaku diucapkan oleh anak seusianya. Dia kebanyakan
nonton tayangan anak-anak bule di handphone, gumamku. Dihadapan kami sudah tersedia tepung, pengocok,
wadah, dan air dingin, hanya tinggal mengeksekusinya.
“Lan, tolong gunting tepungnya, terus masukin ke wadah, jangan lupa air dinginnya. Nanti Mama yang ngocok pakai mixer.”
“Ok.”
Ketika hendak merekam
momen kebersamaan memasak. Wulan sadar kalau dia tengah masuk dalam rekaman
videoku.
“Hai, teman-teman. Kali
ini, kita akan buat es klim, tuh liat.”
Aku terpingkal ketika
dia berimprovisasi layaknya anak-anak dalam tayangan yang sering dia tonton.
Membuatku turut melakukan improvisasi.
“Pertama-tama kita
siapkan tepung es krimnya, air dingin 300 ml, tapi karena ga ada, jadi kita
ganti pakai air es batu. Terus dikocok dengan mixer kurang lebih tiga sampai
lima menit—sampai mengembang. Eh .. tapi ingat ya, mixernya harus dibantu mama
atau papa, harus ditemani orang dewasa.”
Adonan es krim sudah terlihat
mengembang kemudian dituang ke dalam wadah.
“Ye … es klimna uda
jadi.”
“Eh, belum, ini harus
dimasukkan ke dalam freezer dulu, ini belum enak kalau di makan.”
“Ya ….” Dia kecewa.
Es krim yang kami buat
sudah berada dalam lemari pendingin. Setelah merapihkan perlengkapan. Wulan sibuk
hilir mudik—penasaran dengan es krim yang dia buat.
“Lan, es krimnya baru
jadi besok.”
“Lama amat si.”
“Sabar, udah kamu tidur
aja dulu. Biar cepat pagi dan bisa makan es krimnya.”
***
Pagi hari menyapa. Aku sudah
selesai merapihkan kamar dan membersihkan pakaian kotor. Kemudian berjibaku di
dapur menyiapkan makan—ritual Minggu pagi. Ketika dia terbangun, hal pertama yang dilakukan adalah lari menuju lemari pendingin. Untung saja aku dapat menghalanginya.
“Eh, No! Mandi dulu. Terus
abis itu makan nasi. Kalau mau makan es harus makan nasi dulu, biar perutnya ga
sakit.”
Wulan manyun, tetapi
mengikuti semua perintahku. Setelah makan nasi, dia mengambil es krim dan menikmatinya.
Tepung yang aku beli seharga sepuluh ribu, ternyata menghasilkan es krim
sebanyak 500 ml. Sehingga dapat dinikmati sekeluarga—aku, Wulan, Nenek, dan
kakak sepupunya. Tanpa mengeluarkan uang yang banyak, kami dapat merasakan es
krim enak. Bahkan menikmati momen kebersamaan. Membangun ikatan antara aku dan
Wulan ketika memasak bersama.
Penulis: Dwinov Swa
No comments: