Suatu
pagi di hari kerja, magku kambuh dan tidak dapat melakukan aktivitas. Hingga
akhirnya aku meminta cuti sakit dan mengabari kantor. Otakku mulai
berekspektasi, hari ini hanya akan rebahan, makan, minum obat, dan rebahan
lagi. Namun, aku lupa kalau saat itu aku sudah memiliki anak balita yang belum
genap 4 tahun. Seorang anak yang tengah sibuk mengeksplorasi apapun, termasuk
mamanya yang masih berkubang di balik selimut.
“Ma,
udah pagi, bangun,” kata Wulan menyibak selimutku.
“Mama
lagi sakit, Lan. Perut Mama, sakit banget,” kataku sembari menarik selimut.
“Mama,
ee dulu,” tutur Wulan memberi solusi.
“Udah,”
jawabku asal dan mencoba kembali tidur.
Terdengar
krasak-krusuk, mendistraksi usahaku untuk tidur. Ketika mengintip, ternyata
Wulan sedang mengendap-endap, hendak mengambil HP—Hand Phone, yang
tengah di charger. Dia pun mencabut kabel dan HP sudah berada dalam
genggamannya. Namun, dia tersadar kalau mamanya tengah mengawasi. HP diletakkan
begitu saja di atas kasur, dia mendekati, lalu berbaring di sisiku sembari
mengelus-elus rambut mamanya.
“Ust-ust-ust,
mama bobo lagi,” bisiknya seolah mengeloni anak bayi.
Kelonannya
tidak berhasil membuatku tidur. Aku hanya mampu memeluknya dengan penuh kasih
dan tersenyum. Rasa sakit dalam perutku membuat aku tidak dapat bercengkrama
dengannya seperti hari-hari lalu. Aku pun terbangun dan meminum obat. Ketika
melihat jam di dinding waktu baru menunjukkan pukul 07.35 WIB. Masih ada waktu
untuk memulihkan diri sebelum Wulan berangkat sekolah.
“Ini,
kalau udah mau sekolah, HP-nya Mama ambil tapi kamu jangan nangis,” kataku
memberi ijin main HP.
“Emang
udah jam sepuluh?” tanya Wulan.
“Belum,
nanti kalau sudah jam sembilan, kamu mandi dan sikat gigi sendiri. Terus
sekolahnya dianter nenek atau kakak,” jelasku. “Ini HP-nya, Mama mau bobo dulu
nanti bangun lagi,” lanjutku.
“Ok,”
jawab Wulan.
Alam
sadarku seolah mengirim sinyal dan membuatku terbangun pada pukul sembilan.
Wulan masih asyik dengan main HP.
“Lan,
mandi, gih. Sini HP-nya. Udah jam sembilan, kamu mandi sendiri, ya?” titahku.
Wulan
menyerahkan HP dan meminta tolong pakaiannya dibuka. Lalu bergegas ke kamar
mandi.
“Jangan
lama-lama mandinya, sebentar lagi sekolah,”
“Iya,”
jawabnya sebelum masuk kamar mandi.
Efek
dari obat membuatku sangat mengantuk, tanpa terasa aku terpejam kembali. Selang
beberapa menit kemudian, aku terbangun dan langsung melihat jam dinding.
Waktu sudah menunjukkan pukul 09.27 WIB.
“Wulan
... Wulan ....” panggilku.
Tidak
ada jawaban dari Wulan. Mungkin dia sudah berangkat sekolah, pikirku. Namun,
ketika hendak masuk ke kamar mandi, pintunya terkunci. Terdengar suara Wulan
yang sedang bersenandung. Aku pun mengintip dari lubang kunci yang rusak dan
terkejut melihat Wulan masih di dalam kamar mandi.
“Wulan
…! Buka pintunya …!” teriakku sembari menggedor pintu.
Wulan
pun terkejut mendengar teriakanku dan tidak berani membukakan pintu.
“Wulan!
Buka gak pintunya!”
“I-ya,
i-ya,” jawabnya terbata.
Pintu
kamar mandi terbuka. Terlihat semua mainannya berserakan di lantai dan dalam
bak. Air bersih dalam bak berubah menjadi kumpulan busa—hasil menuangkan
setengah botol sabun cair. Aku pun murka melihatnya.
“Ya,
ampun, Wulan …! Mamah suruh mandi bukannya main! Kamu main sabun berapa banyak
sampai berbusa gini, hah! Kamu mau sekolah, gak! Udah jam berapa ini!”
bentakku.
Wulan
hanya diam, tidak menjawab dan hanya menunduk. Dia tidak berani menatap wajah
mamanya yang terbakar emosi. Setelah aku memandikan dia dan mengeringkannya,
kuajak masuk kamar. Mengambilkan pakaian dan menyiapkan keperluan sekolahnya.
“Mama,
marah-marah terus,” ujarnya setengah berbisik.
“Wulan,
yang bikin mama marah!” kataku sembari memakaikan pakaiannya.
“Kata
bu guru, kalau marah, baca doa,” jelasnya.
Aku
tergemap, duniaku terhenti sekian detik, mendengar ucapan Wulan barusan.
Kemudian menghela nafas.
“Astagfirullahaladzim,”
lirihku beristigfar di hadapan Wulan.
“Kalau
marah, baca doa, la … ta ….” kata Wulan dengan menangkupkan kedua tangan
sembari mengingat doa.
“(1)La-tak-dob-wa-la-kal-jan-nah,”
sambungku bantu mendikte doa yang dia maksud.
Wulan
mengikuti perkataanku, melafalkan doa, dan berkata, “Janganlah kamu marah,
niscaya surga bagimu.”
Penulis: Dwinov Swa
(1)Sebuah hadis untuk menahan amarah (perilaku baginda Nabi Muhammad SAW yang patut jadi pedoman)
Ceritanya membuatku jadi tahu tentang dunia menjadi ibu-ibu. Harus banyak sabar...
ReplyDelete