Ketika mengambil keputusan untuk
mengakhiri hubungan dengan suami. Wulan—anakku baru menginjak usia 6 bulan.
Masih sangat kecil untuk mengerti sebuah peristiwa pelik yang dialami kedua
orang tuanya.
Saat resmi bercerai aku tidak membatasi
hubungan antara anak dan ayahnya. Meskipun kepalaku penuh dengan kebencian
terhadap lelaki yang berulang kali menyakiti batinku. Memang di HP—Hand Phone, milikku nomornya telah di blockir. Namun, aku menyediakan HP
khusus untuk komunikasi Wulan dengan ayahnya dan memberi kelonggaran menemui
Wulan kapanpun.
Setelah sempat menghilang untuk
meghindari para penagih. Akhirnya dia menghubungi anaknya melalui panggilan
suara atau panggilan video. Wulan sangat senang meskipun saat itu belum
mengerti caranya berkomunikasi jarak jauh. Namun, setidaknya masih mengenal
suara dan wajah ayahnya.
***
“Wulan anak siapa?” tanya tetangga kala
itu.
“Na Ma, na Ne, na Yah,” jawab Wulan di balik dekapanku yang ditopang kain jarik.
Saat itu Wulan masih merasakan kehadiran
ayahnya meskipun hanya melalui panggilan jarak jauh yang sangat jarang. Masih
ada kata ayah ketika ditanya sayang siapa, walaupun berada di urutan ketiga. Jika
ada yang bertanya ayahnya kemana, Wulan pun menjawab pergi kerja untuk beli
susu.
Suatu ketika, aku mencoba mendamaikan
hati untuk berbaikan dengan sang mantan. Sebelumnya, aku sudah tidak berbicara
sama sekali. Saat itu terbesit keinginan menjalin komunikasi baik
dengannya. Harapanku, ingin Wulan merasakan kehangatan kasih sayang kedua orang
tuanya. Aku mengambil kesempatan itu ketika dia menelepon Wulan.
“Kemarin aku dapat telepon dari orang
leasing, katanya selama corona ada keringanan untuk pembayaran denda. Syaratnya
kamu harus pergi ke kantor leasing dan mengurus berkas di sana,” ujar Ayah
Wulan tanpa basa-basi.
Aku hanya diam, tidak menjawab. Dalam
hati aku mulai mengutuki niat damaiku. Masih terpatri di memoriku
setiap bujuk rayunya. Kalimat manis dari bibirnya meluluhkanku. Hingga
memberinya izin menggunakan data diriku setiap kali melakukan pinjaman. Bahkan berani kredit
kendaraan yang digunakan untuk mahar pernikahannya
dengan perempuan lain di saat Wulan
masih dalam kandungan.
Baru beberapa hari lalu, aku masih berhadapan dengan para
Deep Colector yang mengusik
keluargaku. Kini dengan santai dan tanpa tahu malu, memintaku mengurusi
masalah yang dia perbuat.
“Ayolah,
kamu tidak kasihan sama aku. Sekarang aku baru mulai cari kerja, ini aku di
Kalimantan. Kalau kamu minta keringanan aku bisa tenang.”
“Dasar gak tahu malu! Lu masih mau
nyusahin gue!” seruku.
“Ini satu-satunya jalan agar kamu sama
Wulan gak diganggu sama penagih. Demi kebaikan kamu juga.”
“Engga! Engga akan pernah gue bantuin lu
lagi!”
“Ya udah, terserah! yang penting gue udah
kasih tahu lu!” racaunya.
“Dasar gila! Gue gak minta lu nafkahin Wulan, terus, lu masih mau nyusahin gue. Lu bayar itu mobil! Mobil lu yang pakai!
Motor lu yang bawa! Terus gue masih harus ngurus dan bayar itu cicilan. Gila!”
cecarku tak terkendali.
Sambungan telepon aku putus dan HP
kulempar ke atas kasur. Napasku tersengal, jantung pun berdetak tak karuan,
ingin rasanya aku mencambik wajahnya. Betapa murkanya diriku, niat untuk
memaafkan, tapi masih dimanfaatkan oleh bajingan tengik.
Sejak saat itu, berbulan-bulan dia tidak pernah menghubungi
lagi. Wulan yang terkadang menghubunginya lebih dulu. Itu pun jarang diangkat,
alasannya sinyal yang tidak bagus karena berada di pulau terpencil. Hingga
akhirnya Wulan terbiasa tanpa sosok seorang ayah.
***
Suatu siang di hari Minggu. Ketika aku
tengah berbincang dan bersenda gurau dengan Mama. Wulan yang tengah asyik
bermain dengan bonekanya, tiba-tiba tergopoh menghampiri kami.
“Ma, Ne. Ni mamana … ni dedena,” kata
Wulan memberitahu.
Dia memberitahukan dua boneka anjing
yang berbeda ukuran.
“Kalo ni, Ni mamana … ni dedena … ni nenena,”
katanya lagi.
Kali ini dia memberitahukan tiga boneka
monyet yang berbeda ukuran.
“Ayahnya mana?” tanyaku
Wulan tidak menjawab meskipun aku
bertanya berulang kali. Dia seperti sengaja tidak mendengar pertanyaanku. Terkadang
menunjukkan wajah kesalnya atau pergi berlari ketika ada yang bertanya hal
serupa.
Anakku menyayangi orang-orang yang peduli
dengannya secara nyata. Orang yang selalu ada di dekatnya, seperti: Mama dan
neneknya, para saudara, sepupu, tetangga, atau teman-teman mamanya yang kerap
kali memeluk dan mengajaknya bermain. Ada kehangatan setiap berinteraksi
denganya secara langsung. Baginya, mereka adalah keluarga. Hal seperti itu yang
membuat anakku menyayangi mereka tanpa diminta atau ditanya. Begitulah konsep
keluarga bagi Wulan—anak kecil seorang single
parent.
Penulis:
Dwinov Swa
No comments: