Dulu ketika masih anak-anak, aku menyukai bermain kantor-kantoran. Permainan peran menjadi orang yang bekerja di depan layar monitor, menulis, memakai kacamata, dan mengangkat gagang dari pesawat telepon. Kini, Wulan—anakku yang keranjingan bermain permainan tersebut. Bedanya, dia bermain di tempat sesungguhnya—tempatku bekerja. Sebuah ruang yang terdapat: meja berderet, layar monitor, keyboard, mouse, filling cabinet, tumpukan kertas, seperangkat mesin cetak, dan alat tulis dalam wadah—menjadi tempat favorit Wulan untuk dikunjungi.
“Ma, ayo, ke kantor Mama lagi,”
pintanya.
Kerap kali dia memintaku membawanya ke
kantor. Namun, tidak serta merta menuruti permintaannya. Kecuali jika
benar-benar ada pekerjaan mendesak, seperti hari sabtu kemarin. Aku diminta membuat
desain stiker foot step untuk kantor. Kami pun menuju kantor menggunakan
Mamang—sepeda listrik milikku, sampai stasiun dekat rumah. Lalu melanjutkan
perjalanan dengan kereta listrik. Selama perjalanan dan sampai tiba depan lift
kantor, dia sangat riang.
“Ma, Wulan aja yang pencet liffnya.”
Pinta dia dengan menebalkan huruf F.
Aku hanya tertawa melihat tingkah Wulan.
Sesampainya di lantai yang dituju, kami bertemu Embah—office boy yang bertugas.
“Salim sama, Embah,” kataku.
Wulan menghampiri dan menyodorkan
tangannya, “Salim, Bah.”
“Wah … si cantik mau ngapain ini?” tanya
Embah.
“Mau cetak sticker, Pak. Mau desain di
sini aja biar sekalian ke tempat percetakan. Kalau dari sini lebih dekat,” jelasku.
Kami sudah masuk ke dalam ruangan yang
menjadi rumah keduaku. Meminta Wulan untuk duduk di meja rekan.
“Ma, ini laptop, kan.” Tanyanya ketika
melihat monitor, mouse, dan keyboard.
“Itu komputer, tapi sama sih dengan
laptop. Nanti Mama nyalain, Wulan bisa mainnya?”
“Bisa, kan main laptop Mama di
rumah, Wulan bisa-lah,” jawabnya sombong.
“Yaudah, Mama kerja di sini, Wulan
disitu.”
“Oke, siap bos,” selorohnya.
“Ha-ha-ha.”
Aku mulai mengerjakan pekerjaanku
sedangkan Wulan sibuk dengan tontonannya. Tiba-tiba telepon berdering
“Iya, lagi dikantor. ACnya minta tolong
nyalain, ya.”
Ternyata telepon dari seorang teknisi
yang sedang bertugas. Memastikan kalau ada kegiatan di ruangan kantorku.
“Ma, Wulan, mau telepon, dong.”
“Angkat gagang telepon itu, terus tekan
nomor 377.” Aku mengarahkan Wulan.
‘Kring-kring, kring-kring’ telepon
berdering dan Wulan girang, “Wah … bunyi, Ma!”
“Dah, taro lagi gagangnya, berisik.”
“Lagi Ma, lagi, tapi Mama angkat, ya.”
Dia mengulangi arahanku dan telepon pun bordering.
“Halo, ini siapa?” tanyaku mengikuti
permainannya.
“Ini, Wulan.”
“Oh … Wulan lagi ngapain?”
“Keja, main laptop, sama nulis-nulis,”
“Oh, gitu, he-he-he.” Aku tak kuasa menahan tawa melihatnya berakting di hadapanku.
Kemana pun dia pergi termasuk kantorku, Wulan enggan pulang meskipun sore kian menjelma. Kerap kali selalu bersilat lidah
dengannya atau bernegosiasi sengit sampai dia menyetujuinya.
“Wulan gak mau pulang. Mau di sini aja.”
“Dih, Wulan mau nginep di sini?”
“Iya, inep.”
“Kita pulang, nanti ke kantor Mama lagi.
Ini udah sore, bentar lagi gelap, liat tuh.” Aku menunjukkan jendela yang
terbuka.
Akhirnya Wulan mau pulang setelah aku
membujuk dan menjanjikannya beli coklat di minimarket. Namun, sepanjang
perjalanan berulang kali dia mengatakan.
“Pokona, Wulan mau sana lagi, kantor Mama.”
Penulis:
Dwinov Swa
wulan lucu ya kak, tetap semangat kak, kebahagiaan anak pasti kebahagiaan kita. semoga mbak dwinov diberi kelapangan rexeki ya, aamiin...
ReplyDeleteAamiin yaa robbal allaamiin, doa baik untuk kakak juga :)
Delete