Flying Fox

 


Suatu hari aku mengajak Wulan—anakku, ke Taman Matahari. Saat itu masih dalam peralihan masa pandemi. Tempat wisata yang biasanya sangat ramai, kini sepi. Hanya segelintir pengunjung yang terlihat, termasuk aku dan Wulan.

Saat mengelilingi taman. Aku melihat tali sling terbentang menyeberangi danau besar di tengah taman. Mengingatkan aku sebuah permainan meluncur dari ketinggian. Kususuri sling tersebut bersama Wulan dan berujung di sebuah gazebo dengan papan informasi yang tertulis besar di atasnya ‘Flying Fox’.

Sejak Wulan batita. Kerap kali aku mengajaknya melakukan sesuatu yang baru. Tidak terkecuali wahana menantang yang ada di depan mata. Seperti biasanya Wulan manut dan dengan senang hati mengikuti ajakan mamanya.

“Asalkan sama Mama, Wulan mau.”

Kalimat itu yang selalu terlontar ketika aku ajak bermain ke tempat baru atau wahana baru. Meskipun sebenarnya dia tidak tahu seperti apa wahananya. Wulan masih berusia tiga tahun, tetapi tingginya sudah mencapai 90 cm. Membuat petugas wahana flying fox memberi ijin bermain.

“Nanti, dedenya dipangku, ya.” Instruksi dari petugas dan mulai memakaikan peralatan. Adapun peralatan yang dipakai oleh setiap pemain yaitu: carmantel, carabiner, harness, pulley, dan helm.

Ketika dipasangi peralatan, Wulan hanya diam. Sesekali melihat mamanya yang tengah dipasang carmantel seperti dirinya. Raut wajahnya datar, tetapi masih ada senyum ketika melihat mamanya yang tersenyum kepadanya.

Peralatan sudah terpasang di tubuh dan bersiap berjalan menuju atap menara—tempat awal meluncur. Wulan berjalan di depanku tanpa ada kata yang keluar dari mulutnya. Awalnya dia menaiki tangga sendiri, aku berjalan di belakangnya. Namun, di tengah tangga yang kian tinggi. Rasa takutnya tidak dapat disembunyikan. Wajahnya pias dan langkahnya terhenti.

“Mama.” Hanya kata itu yang keluar dari mulutnya. Aku yang berdiri di belakang dengan sigap menggendongnya. Wulan mengencangkan pelukannya ketika aku tertatih menaiki tangga. Dalam dekapan, aku menyadari ketakutannya membuncah.

“Kalau Wulan takut, jangan lihat ke bawah,” kataku memberi saran. “Peluk Mama, Mama di sini sama Wulan,” lanjutku menenangkannya.

Aku berusaha mengajarkan Wulan untuk meredam ketakutan dalam dirinya. Setiap anak tangga yang kunaiki, aku bicara menyemangatinya. Mengalihkan rasa takut dengan melihat sekeliling dari atas.

Semua pemandangan taman terlihat mempesona dan begitu indah. Danau yang menggenang di bawah sangat luas. Berwarna kehijauan dengan beberapa perahu bebek mengambang di atasnya. Aliran sungai dengan bebatuan, menjulang panjang bak seekor naga yang menggeliat.

Namun, yang mampu mengalihkan ketakutan Wulan adalah sebuah taman mini berisi kelinci dan kolam kecil. Kolam itu berisi kawanan angsa yang tengah berenang. Digendonganku dia mulai mengangkat kepalanya dan melihat ke tempat yang aku tunjuk.

“Lihat, Lan. Ekornya enggal-enggol, enggal-enggol,” kataku riang.

“Ha-ha-ha-ha, dia lucu ya, Ma. Ekornya goyang-goyang. Ma! Ada kelinci juga!”

Ketakutan Wulan sudah teralihkan. Kini waktunya aku memberinya saran untuk menghadapi rasa takut yang akan dihadapinya. Meluncur di atas danau dan menggantung hanya dengan kaitan carbiner ke tali sling.

“Kalau Wulan takut, teriak, ya. Ah …! Jangan diam. Teriak aja yang kencang. Mama ada di sini sama Wulan.”

Kita pun tiba di puncak menara dan bersiap meluncur. Ternyata ketika meluncur, Wulan tidak berteriak. Dia hanya diam dan memegangi tali di atas tangannya sesuai instruksi petugas. Namun, terlihat jelas wajahnya pias karena takut.

Ketika turun dan kembali ke lokasi titik awal, Wulan berkata, “Wulan gak takut, kan. Wulan berani kalau ada Mama.”

“Anak Mama hebat, Wulan mau naik lagi gak?” tanyaku iseng.

Tidak ada jawaban darinya. Bahkan ketika aku ulangi pertanyaan yang sama, dia seolah tidak mendengar. Mungkin dia berkata demikian hanya ingin menyenangkan hati mamanya. Namun, ketika dia melihat fotonya saat bermain flying fox, dia akan berkata, “Wulan mau naik itu lagi, Ma.”

 


Penulis: Dwinov Swa

Flying Fox Flying Fox Reviewed by Dwi Noviyanti on June 12, 2022 Rating: 5

4 comments:

  1. keren ya kak wulan, lama-lama juga berani. Mamanya takut gak ya? hihihi

    ReplyDelete
  2. Aku juga takut sama ketinggian. Bisa gemetaran sampai keringat dingin di tangan dan kaki. Hebat Wulan yaaa.. berhasil ga takut

    ReplyDelete
  3. wow Wulan dan mama hebat, melawan rasa takut adalah dengan menghadapi apa yang membuat kita takut itu. great ..
    Big Hug both of you

    ReplyDelete
  4. Hebat ya kak,pengenalan rasa takut dan cara mengatasinya... dua jempol untuk Wulan dan Mama

    ReplyDelete

Followers

Powered by Blogger.