Disaat aku bekerja, tiba-tiba ada pesan
singkat dari Oliv—sepupu yang tinggal di rumah. Katanya, Wulan—anakku,
menghabiskan sabun cair sebotol penuh. Aktivitasku terdistraksi. Segera
kuhubungi Oliv dengan panggilan video—ingin kuledakkan amarah kepada Wulan setelah
membaca pesan.
“Mana anaknya, Ka!” seruku saat
panggilan tersambung.
Oliv mengarahkan kameranya ke wajah
polos yang tengah tertidur memeluk boneka monyet. Terurai sudah amarah yang
hendak kuluapkan. Meskipun rasa jengkel masih menggelitik—tak habis pikir dengan ulahnya kali ini. Dalam sebulan sudah keempat
kalinya mengisi botol sabun berukuran 300 ml. Baru saja semalam membeli bersamanya
dan berulang kali kuperingatkan, jangan main sabun. Dia pun berjanji dengan
sangat meyakinkan sehingga aku teperdaya.
Sesampainya di rumah, aku tidak memarahi
atau membahas perkara sabun. Belum tepat waktu, pikirku. Makan malam bersama
dan bercengkarama setelah rutinitas di luar rumah menjadi prioritas bagiku. Sampai
tiba waktunya beristirahat dan mengajak Wulan ke kamar.
“Kamu, main sabun, ya?”
“Eng-ga.” Jawabnya gagap.
“Terus, sabunnya habis karena siapa, Kakak Oliv?”
“Gak tau, Ma.”
“Kamu kenapa main sabun?”
“Wulan, gak main sabun.” Dia menjawab dengan
memalingkan wajahnya.
Dalam hati aku bergumam, ‘Dia belajar
bohong.’
Aku terus memaksanya berkata jujur.
Namun, dia tetap menyangkal. Ketika intonasiku meninggi, dia pun menjawabnya
dengan tinggi. Kuakhiri percakapan mengenai sabun dan berusaha meredam
emosi yang mulai menguap. Setelah tenang aku mendekatinya dan turut bermain
bersama. Kami pun terbawa keseruan bermain action figure little poni.
“Kamu bener, gak mainan sabun, Lan?”
“Engga, Ma, Wulan gak main.”
“Kalau bukan Wulan, bukan Kakak Oliv
juga, terus siapa dong?”
“Tau.” Jawabnya singkat dalam wajah yang mulai menunduk.
“Apa … jangan-jangan, botolnya jalan
sendiri, ya?”
“Iya! Ma, botolnya jalan sendiri.” Kepalanya
terangkat dan berkata dengan yakin.
“Memangnya botol punya kaki?”
“Iya, Ma, botol punya kaki.”
“Oh … dia jalan sendiri, eh tapi kan
botolnya ditutup. Gimana dia bukanya, apa dia punya tangan juga?”
"Iya! Ma, dia punya tangan juga. Botol
yang mainin sabun!" katanya sangat meyakinkan.
"Kamu bohong, Mama gak suka Wulan
bohong." Kataku menatap wajahnya.
“Botolnya jalan sendiri, Ma …” Jawabnya
lemah dan beringsut menjauh dariku
“Lan, botol gak punya kaki, gak punya
tangan juga,” jelasku.
Aku mulai melihat kegelisahannya. Dia menunduk
makin dalam seolah tangisnya akan menghambur dari kedua matanya.
“Sini jelasin ke Mama, Mama gak marah
kok,” kataku, “Wulan mainin untuk bikin gelembung sabun?” tanyaku dengan
lemah lembut.
“I-ya,” jawabnya terbata.
“Sini, Wulan cerita ke Mama.” Kataku dan
mendudukkannya dipangkuan.
“Wulan, nin, gelembung, jatoh,” jawabnya
lirih.
“Apa, Lan, Mama gak denger. Wulan main
sabun buat bikin gelembung, tapi botolnya jatoh, gitu.”
“I-ya … hu-hu-hu, Maapin Wulan, Ma ….” Tangisnya
pecah dan memelukku seraya meminta maaf.
“Iya, Mama maafin, tapi Mama mau Wulan
janji. Jangan main sabun lagi, kalau gak bisa buka botol, minta tolong, ya. Janji.”
Aku melepas pelukan dan memintanya berjanji dengan menyodorkan jari kelingking.
“Janji.” Katanya menautkan jari
kelingkingku dengan kelingkingnya.
Penulis:
Dwinov Swa
No comments: