Berangkat Kerja

 


Rasanya belum afdal kalau seorang ibu pekerja tidak ditangisi anaknya ketika berangkat kerja. Begitu pun anakkuWulan. Usianya waktu itu tiga tahun. Ketika bangun tidur dia merajuk tidak memberi ijin bekerja. Dia marah ketika aku pamit mandi dan bersiap berangkat kerja. Kemudian menangis, membuatku kembali ke kamar dan mengajaknya mandi bersama.

Ketika mandi dan sudah berpakaian rapi dia sudah tidak marah. Dia semangat menceritakan tingkah lucu kucingnya. Namun, aku menyela ceritanya.

“Mama berangkat kerja, ya?”

“Gak!” serunya ketus.

“Kenapa?”

Wulan hanya diam, wajahnya merengut. Aku pegang wajahnya dengan kedua tangan dan menghadapkan ke wajahku.

“Lihat Mama. Kenapa Mama ga boleh kerja?”

Tanganku ditampis dan memukuli bahu dengan sisir yang dia pegang. Aku meringis. Kuraih sisir dan menjauhkan darinya. Lalu kupeluk erat hingga dia tidak bisa berontak. Mengelus punggungnya, berharap dia tenang.

“Kalau Mama ga kerja, Mama ga dapat uang. Kalau Mama ga dapat uang, Wulan ga bisa main, sekolah, naik kuda, na … “ perkataanku disela.

“Engga! Mama ga ye keja.” Wulan berkata seraya melepas pelukanku dan memalingkan wajah.

“Kalau Mama ga kerja, Mama ga punya uang. Kalau ga punya uang Wulan ga bisa main, ga bisa sekolah, ga bisa naik kuda,” kataku, “Wulan tahu sendiri, kalau mau main harus beli tiket, kalau sekolah harus bayar, naik kuda juga bayar. Kalau Mama ga kerja bayar pake apa?” lanjutku.

Wulan mulai melunak dan memperhatikan aku. Meskipun wajahnya masih kecut melihatku. Rasa kesalnya belum memudar sepenuhnya karena aku bersikeras berangkat kerja. Hingga mataku tertuju pada poster yang tertempel di dinding—gambar ragam binatang. Membuatku teringat, kalau Wulan pernah meminta mengunjungi Kebun Binatang.

“Wulan mau ke Kebun Binatang ga?” kataku mengalihkan, “Di sana, kita bisa lihat gajah, jerapah, kuda nil, buaya, dan zebra,” lanjutku.

“Zeba, yam item putih?”

“Iya, yang badannya belang-belang hitam putih.”

“yapi, bukan kuda quaga, kan, Ma,”

“Bukan, kuda quaqqa sudah punah. Kita lihat saudaranya aja,”

“Oh … Kuda zeba, ya, Ma.”

“Iya benar. Wulan mau lihat zebra?”

“Mo, Ma, mo, Wuyan mo kebun binatam,” jawabnya semangat.

“Tapi, Mama harus dapat uang dulu. Kan, kita harus beli tiket.”

“Mama ayus keja, ya.”

“Iya, Mama harus kerja. Kalau Mama udah dapat uang, kita ke Kebun Binatang.”

“Iya deh, Mama keja duyu, Wuyan kan mo iat binatam-binatam.”

Ternyata pengalihan dengan apa yang dia ingin, berhasil meloloskanku untuk berangkat kerja.

Kalau dulu dapat dialihkan dengan keinginanya melihat binatang-binatang. Belakangan ini, ketika dia berusia empat tahun lebih—mulai menggemaskan setiap aku hendak berangkat kerja. Dia akan bangun berbarengan denganku dan turut mandi bersama. Tentunya tanpa paksaan.

Ketika mengeluarkan Mamang—sepeda listrik milikku, dia akan selalu melakukan ritual: salim tangan, melakukan tos, cium pipi atau kadang cium bibir, memeluk, dan cium jauh.

“Wuyan, sayam … banget sama Mama,” katanya ketika memeluk.

“Iya, Mama juga sayang banget sama Wulan. Mama berangkat, ya,”

“Ma … jam-aan yupa beyi dedegerl—yam-yam-yam, kalau pulang.” Wulan berkata seraya memeragakan memakan burger.

Ritual itu hampir setiap hari dia lakukan. Namun, dengan titipan yang selalu berbeda. Entah meminta beli jus, pizza, kentang goreng, atau beli makanan kucing. Bahkan dia akan melakukan panggilan video saat aku dalam perjalanan pulang.

“Jam-an yupa, ya, Ma, dedegerl—yam-yam-yam,”

 

 

 

Penulis: Dwinov Swa

 

Berangkat Kerja Berangkat Kerja Reviewed by Dwi Noviyanti on June 25, 2022 Rating: 5

No comments:

Followers

Powered by Blogger.