Ketika dalam perjalanan pulang, sepupu
yang tinggal di rumah mengirimkan pesan singkat tentang Wulan–anakku.
“Kak,
Wulan dari tadi gak turun-turun dari kamar atas. Disuruh makan sama neneknya, malah
kunci pintu.”
‘Berulah apa lagi itu anak,’ batinku.
Sesampainya di rumah, Mama—neneknya
Wulan, berkata, “Gak tau dia lagi ngapain di atas. Disuruh makan, malah ngunci
pintu.”
“Biasanya sih, kalau ngunci pintu gitu,
dia habis buat kesalahan. Takut ketauan makannya pintunya dikunci,” jelasku
seraya berjalan menaiki tangga menuju kamar.
‘Tok-tok-tok,’ kuketuk pintu.
“Siapa?” tanya Wulan.
“Ini Mama, buka pintunya.”
“Mama siapa?”
“Mamanya Wulan, buka pintunya Lan,”
Berapa menit berlalu, tapi pintu tak
kunjung dibuka,
“Wulan, buka pintunya. Lagi ngapain sih!” seruku mulai jengkel.
“Iya, bentar, Wulan bukain, tapi Mama jangan marah, ya.”
“Udah buka dulu, cepetan!”
‘Krek’ selot tergeser dan pintu pun
terbuka. Betapa takjub kedua mataku melihat kamar yang berubah menjadi kapal
pecah. Ragam permainan berserakan tak karuan di mana-mana. Boneka berpindah
tempat dari singgasananya. Seprai mencuat dari sudut kasur dan terdapat lekukan
yang berasal dari jejak kaki yang melompat. Ketika melangkah masuk, aku
menginjak genangan air yang mengalir dari gelas yang tumpah.
“Astagfirullah,
Wulan …!”
“Katanya, gak marah,” ujarnya menunduk
di hadapanku.
Kuletakkan tas, memungut gelas, dan
mengisinya dengan air dari dispenser. Lalu meminumnya hingga tandas, berusaha
meredam emosi.
“Sekarang beresin semuanya, terus itu, di
lap. Kalau kamu kepeleset gimana?”
“Wulan cape, Ma.”
“Apa, cape! waktu ngeberantakin, kamu
gak cape. Terus kalau kaya gini, kita mau tidur dimana, hah!”
Dia diam sejenak, lalu berkata, “Tapi,
Mama bantuin, ya.”
Akhirnya kubantu dia membenahi kekacauan yang dibuatnya. Di tengah membenahi kasur dan seprai, aku menemukan banyak helai
rambut-rambut pendek. Paling banyak kutemukan di sudut kamar dan tergeletak
sebuah gunting rambut. Kusapu dan kukumpulkan setiap helai rambut, dan ternyata
terkumpul sebanyak segenggam tangan.
Sepertinya aku tahu apa yang dilakukan
Wulan. Karena rambutnya diikat dan emosi yang sempat singgah, hingga tak
menyadari keanehan pada rambutnya.
“Astagfirullah, Wulan … ini rambutnya
kenapa?” Aku kaget ketika membuka ikat rambutnya.
“Wulan potong.”
Kusisir rambutnya dan kian banyak rambut
yang berjatuhan, “Suruh siapa potong rambut?”
“Wulan.”
Aku hanya menggeleng tak habis pikir
dengan ulahnya. Benar dugaanku, kalau helaian rambut yang berserakan itu
rambutnya. Dia potong sendiri hingga berbentuk tak karuan.
“Wulan potong rambut di mana?”
“Situ, sama situ,” katanya seraya
menunjuk depan cermin dan pojokan kamar.
“Kenapa rambutnya dipotong?”
“Biar cantik kaya Mama.”
“Sini, coba Wulan ngaca, cantik gak?”
Aku mengajaknya bercermin setelah menyisir rambutnya.
Wulan mengamati poni yang gompal tengahnya.
Lalu mencoba menidurkan rambut yang berdiri dengan mengusap-usap kepalanya. Namun,
rambut itu tetap berdiri.
“Rambutnya udah gak bisa ditidurin,
terlalu pendek,” jelasku ketus.
Dia masih terpaku melihat wajahnya dalam
pantulan cermin.
“Lain kali, kalau mau potong rambut.
Bilang Mama, jangan potong sendiri. Kan biasanya Mama yang potong. Sekarang,
Wulan cantik gak potong begitu?”
Dia berbalik dan memelukku seraya
berkata, “ Maafin Wulan, ya, Ma.”
“Kamu mah, ada-ada aja mainnya. Udah
kaya gini gimana benerin rambutnya.”
Aku terima maaf Wulan dengan merengkuh
pelukannya. Setelah itu, meraih gunting, dan mulai merapihkan rambutnya.
Pertama yang harus dirapihkan poni gompalnya, agar tidak terlihat seperti
digigit tikus. Aku mengingat-ingat kembali tutorial memotong rambut yang pernah
ditonton dan pernah kuterapkan. Hasil potongannya lumayan, meskipun rambut yang
berdiri sudah tidak dapat diapa-apakan lagi. Setidaknya kini terlihat ada perbedaan—before after.
Penulis: Dwinov Swa
Kreatif banget mba itu anaknya, selalu ingin tahu dan langsung mencobanya.
ReplyDelete