Kolam renang milik
pemerintah daerah merupakan tempat wisata murah meriah bagiku. Berada di dalam
sebuah gelanggang besar yang memiliki fasilitas olahraga yang mumpuni. Ketika
COVID-19 melanda negeri, tempat ini mati suri selama dua tahun. Seperti yang
diketahui, masyarakat harus meminimalisir kegiatan di luar rumah demi
menghindari kerumunan. Hingga akhirnya pemerintah mulai membuka sarana umum
dengan syarat menerapkan 3M—memakai masker, mencuci tangan, dan menjauhi
kerumunan. Ini menjadi angin segar dan disambut antusias oleh masyarakat yang
lapar hiburan luar rumah. Kolam renang menjadi salah satu pilihan untuk
dikunjungi setelah sekian lama. Begitu pun dengan aku dan Wulan—anakku.
Hari sabtu menjadi
pilihan untuk mengajaknya berenang. Sepanjang perjalanan menunggangi
Mamang—sepeda listrik milikku, dia sangat gembira. Namun, harapan tak sesuai
kenyataan. Sesampainya pintu gerbang gelanggang, pengunjung membeludak. Membuat
kami tidak dapat menjangkau lebih dalam. Hanya dapat bertanya kepada seorang
petugas parkir.
“Pak, kolamnya masih
buka?”
“Tutup, Bu, kuotanya
sudah penuh. Ibunya lebih baik pulang aja, percuma ke dalam juga gak akan bisa
masuk kolam,” tutur petugas parkir.
“Oh … gitu, memang kuotnya
berapa banyak, Pak?”
“Kuotanya seratus, tapi
liat aja Bu, ngebeludak begini orangnya. Ibu besok aja kesini lagi, kolam buka
jam 8.”
Akhirnya kami mundur
secara teratur dengan hati yang kecewa. Wulan sedih karena tidak dapat
berenang. Namun tidak merajuk karena melihat sendiri situasi gelanggang dan
mendengar arahan dari petugas parkir. Aku mengobati kesedihannya dengan membelikan
buah dan kue kesukaan.
***
Satu minggu berlalu
kami mencoba kembali mengunjungi gelanggang. Berangkat lebih pagi dan berharap dapat
berenang dalam kolam. Sepanjang perjalanan aku mewanti-wanti Wulan agar dia
tidak sedih apabila tidak bisa berenang.
“Lan, ini kita coba
dulu ke gelanggang, tapi kalau tidak bisa masuk kaya kemarin Wulan jangan
nangis, ya?”
“Iya, Ma, kita coba
duyu, kalo bisa kita beyenam, kan.”
“Iya.”
Kami sampai gelanggang
sebelum jam buka kolam—07.30 WIB. Setelah memarkir Mamang aku melihat antrian
yang semrawut depan loket. Aku pun bertanya kepada salah satu pengunjung yang
berdiri disampingku.
“Pak, ini antrian untuk
apa?”
“Antrian nomor untuk masuk ke kolam, Bu.”
Kami pun turut mengantri tanpa mencari tahu informasi valid kepada petugas keamanan atau pengelola kolam. Sehingga dari balik pintu kantor samping loket. Seorang wanita paruh baya berseragam memberi informasi melalui pengeras suara.
“Ibu-ibu, bapak-bapak, kolam renang kuotanya
sudah penuh untuk sesi pertama. Kalau mau, ikut di sesi kedua, jam satu siang.
Jadi, lebih baik pulang dulu, jangan berkerumun.”
Kasak-kusuk pengunjung
yang kecewa membahana. Aku pun memberi penjelasan kepada Wulan dan megajaknya
pulang. Namun, dia menolak.
“Wuyan ga mo puyam, mo
di sini ja,”
“Tapi kolamnya sudah
tutup, kita ga bisa masuk. Kamu gak nangis, kan.”
“Wuyan ga nanis Ma, kan
udah gede. Wuyan, mo oyahyaga di sini.”
Dia sudah rela
kalau tidak dapat berenang. Namun, ingin bermain di gelanggang yang sangat luas. Wulan
berlarian dengan bebas dan gembira, terkadang bermain dengan anak pengunjung
lainnya. Setelah lelah berlari dia menikmati bekal yang kubawa. Setelah itu
mengajaknya berkeliling. Ternyata gelanggang memiliki
fasilitas olahraga yang lengkap. Selain kolam renang, terdapat stadion sepak
bola, lapangan tenis, futsal, basket, dan arena panjat tebing.
Waktu pun berlalu. Ketika melintasi depan loket, antrian kembali mengular. Aku bertanya kepada petugas keamanan, ternyata antrian nomor pembelian tiket sesi dua. Namun, kuotanya sangat terbatas. Hanya disediakan dua puluh nomor di mulai dari nomor 21-40. Sedangkan yang mengantri lebih dari lima puluh orang. Membuatku merelakan tidak berenang seperti Wulan. Hanya saja, Mamang terjebak di tengah antrian, membuat kami tidak dapat beranjak. Tiba-tiba seorang wanita berseragam mendekat dan mengajak bicara.
“Si cantik mau
berenang, ya?” Dia bertanya kepada Wulan yang sibuk mengunyah.
“Tadinya sih iya, Bu, sayang
gak kebagian tiket. Disuruh pulang, anaknya gak mau,” jawabku.
“Iya, pengunjung ramai
sekali.”
“Kenapa ya, Bu, kok
kuotanya dikurangi dari minggu lalu?”
“Kemaren ada sidak
dadakan dari kantor pusat dan ditemukan adanya kerumunan.”
“Kok bisa ketahuan, Bu?”
“Gara-gara selfie dan share
ke akun media sosial menggunakan tagar lokasi gelanggang.”
“Owalah, pantes saja
dikuranginya sampai 60% dari minggu lalu.”
“Ma, ni buam wana apa,
hijau, kunim, atau meyah?” Wulan menyela obrolan karena bingung, terdapat
tiga tempat sampah dengan warna yang berbeda
“Ini kan sampahnya plastik,
jadi Wulan buangnya di tempat yang warna kuning.”
“Eh, Bu, anaknya!” Wanita
itu panik ketika Wulan bergegas lari setelah aku bicara.
“Engga apa-apa, Bu,
nanti dia ke sini lagi. Dia sedang buang sampah.” kataku, “Iya …! benar yang
itu …!” teriakku merespon Wulan dari kejauhan.
Tiba-tiba si wanita
berseragam itu memberikan sesuatu dalam genggamanku. Wajahnya mengisyaratkan
agar tidak membukanya sebelum dia pergi.
“Saya permisi, Bu,” pamitnya.
Wanita berseragam itu
pergi meningalkan kami. Aku menggiring Wulan ke tempat sepi dan membuka gengamanku.
Ternyata secarik kertas lecek bertuliskan,
Kolam
Renang Rawa Badak
Sabtu,
9 Oktober 2021
Nomor
Antrian
23
“Masyaallah …!” seruku.
“Ma, napa?”
“Kita berenang, Lan.
Wulan mau berenang, kan.”
“Mo, Ma, ye … beyenam.”
Ketika kami sudah
merelakan sesuatu yang sudah dua kali diperjuangkan, ternyata Allah memberi
kejutan. Akhirnya Wulan berenang berkat wanita berseragam yang memberikan
secarik kertas antrian ke-23.
Penulis: Dwinov Swa
No comments: