Antrian Ke-23

 


Kolam renang milik pemerintah daerah merupakan tempat wisata murah meriah bagiku. Berada di dalam sebuah gelanggang besar yang memiliki fasilitas olahraga yang mumpuni. Ketika COVID-19 melanda negeri, tempat ini mati suri selama dua tahun. Seperti yang diketahui, masyarakat harus meminimalisir kegiatan di luar rumah demi menghindari kerumunan. Hingga akhirnya pemerintah mulai membuka sarana umum dengan syarat menerapkan 3M—memakai masker, mencuci tangan, dan menjauhi kerumunan. Ini menjadi angin segar dan disambut antusias oleh masyarakat yang lapar hiburan luar rumah. Kolam renang menjadi salah satu pilihan untuk dikunjungi setelah sekian lama. Begitu pun dengan aku dan Wulan—anakku.

Hari sabtu menjadi pilihan untuk mengajaknya berenang. Sepanjang perjalanan menunggangi Mamang—sepeda listrik milikku, dia sangat gembira. Namun, harapan tak sesuai kenyataan. Sesampainya pintu gerbang gelanggang, pengunjung membeludak. Membuat kami tidak dapat menjangkau lebih dalam. Hanya dapat bertanya kepada seorang petugas parkir.

“Pak, kolamnya masih buka?”

“Tutup, Bu, kuotanya sudah penuh. Ibunya lebih baik pulang aja, percuma ke dalam juga gak akan bisa masuk kolam,” tutur petugas parkir.

“Oh … gitu, memang kuotnya berapa banyak, Pak?”

“Kuotanya seratus, tapi liat aja Bu, ngebeludak begini orangnya. Ibu besok aja kesini lagi, kolam buka jam 8.”

Akhirnya kami mundur secara teratur dengan hati yang kecewa. Wulan sedih karena tidak dapat berenang. Namun tidak merajuk karena melihat sendiri situasi gelanggang dan mendengar arahan dari petugas parkir. Aku mengobati kesedihannya dengan membelikan buah dan kue kesukaan.

***

Satu minggu berlalu kami mencoba kembali mengunjungi gelanggang. Berangkat lebih pagi dan berharap dapat berenang dalam kolam. Sepanjang perjalanan aku mewanti-wanti Wulan agar dia tidak sedih apabila tidak bisa berenang.

“Lan, ini kita coba dulu ke gelanggang, tapi kalau tidak bisa masuk kaya kemarin Wulan jangan nangis, ya?”

“Iya, Ma, kita coba duyu, kalo bisa kita beyenam, kan.”

“Iya.”

Kami sampai gelanggang sebelum jam buka kolam—07.30 WIB. Setelah memarkir Mamang aku melihat antrian yang semrawut depan loket. Aku pun bertanya kepada salah satu pengunjung yang berdiri disampingku.

“Pak, ini antrian untuk apa?”

“Antrian nomor untuk masuk ke kolam, Bu.”

Kami pun turut mengantri tanpa mencari tahu informasi valid kepada petugas keamanan atau pengelola kolam. Sehingga dari balik pintu kantor samping loket. Seorang wanita paruh baya berseragam memberi informasi melalui pengeras suara.

 “Ibu-ibu, bapak-bapak, kolam renang kuotanya sudah penuh untuk sesi pertama. Kalau mau, ikut di sesi kedua, jam satu siang. Jadi, lebih baik pulang dulu, jangan berkerumun.”

Kasak-kusuk pengunjung yang kecewa membahana. Aku pun memberi penjelasan kepada Wulan dan megajaknya pulang. Namun, dia menolak.

“Wuyan ga mo puyam, mo di sini ja,”

“Tapi kolamnya sudah tutup, kita ga bisa masuk. Kamu gak nangis, kan.”

“Wuyan ga nanis Ma, kan udah gede. Wuyan, mo oyahyaga di sini.”

Dia sudah rela kalau tidak dapat berenang. Namun, ingin bermain di gelanggang yang sangat luas. Wulan berlarian dengan bebas dan gembira, terkadang bermain dengan anak pengunjung lainnya. Setelah lelah berlari dia menikmati bekal yang kubawa. Setelah itu mengajaknya berkeliling. Ternyata gelanggang memiliki fasilitas olahraga yang lengkap. Selain kolam renang, terdapat stadion sepak bola, lapangan tenis, futsal, basket, dan arena panjat tebing.

Waktu pun berlalu. Ketika melintasi depan loket, antrian kembali mengular. Aku bertanya kepada petugas keamanan, ternyata antrian nomor pembelian tiket sesi dua. Namun, kuotanya sangat terbatas. Hanya disediakan dua puluh nomor di mulai dari nomor 21-40. Sedangkan yang mengantri lebih dari lima puluh orang. Membuatku merelakan tidak berenang seperti Wulan. Hanya saja, Mamang terjebak di tengah antrian, membuat kami tidak dapat beranjak. Tiba-tiba seorang wanita berseragam mendekat dan mengajak bicara.

“Si cantik mau berenang, ya?” Dia bertanya kepada Wulan yang sibuk mengunyah.

“Tadinya sih iya, Bu, sayang gak kebagian tiket. Disuruh pulang, anaknya gak mau,” jawabku. 

“Iya, pengunjung ramai sekali.”

“Kenapa ya, Bu, kok kuotanya dikurangi dari minggu lalu?”

“Kemaren ada sidak dadakan dari kantor pusat dan ditemukan adanya kerumunan.”

“Kok bisa ketahuan, Bu?”

“Gara-gara selfie dan share ke akun media sosial menggunakan tagar lokasi gelanggang.”

“Owalah, pantes saja dikuranginya sampai 60% dari minggu lalu.”

“Ma, ni buam wana apa, hijau, kunim, atau meyah?” Wulan menyela obrolan karena bingung, terdapat tiga tempat sampah dengan warna yang berbeda

“Ini kan sampahnya plastik, jadi Wulan buangnya di tempat yang warna kuning.”

“Eh, Bu, anaknya!” Wanita itu panik ketika Wulan bergegas lari setelah aku bicara.

“Engga apa-apa, Bu, nanti dia ke sini lagi. Dia sedang buang sampah.” kataku, “Iya …! benar yang itu …!” teriakku merespon Wulan dari kejauhan.

Tiba-tiba si wanita berseragam itu memberikan sesuatu dalam genggamanku. Wajahnya mengisyaratkan agar tidak membukanya sebelum dia pergi.

“Saya permisi, Bu,” pamitnya.

Wanita berseragam itu pergi meningalkan kami. Aku menggiring Wulan ke tempat sepi dan membuka gengamanku. Ternyata secarik kertas lecek bertuliskan,

Kolam Renang Rawa Badak

Sabtu, 9 Oktober 2021

Nomor Antrian

23

“Masyaallah …!” seruku.

“Ma, napa?”

“Kita berenang, Lan. Wulan mau berenang, kan.”

“Mo, Ma, ye … beyenam.”

Ketika kami sudah merelakan sesuatu yang sudah dua kali diperjuangkan, ternyata Allah memberi kejutan. Akhirnya Wulan berenang berkat wanita berseragam yang memberikan secarik kertas antrian ke-23.

 

 

 

Penulis: Dwinov Swa

Antrian Ke-23 Antrian Ke-23 Reviewed by Dwi Noviyanti on June 29, 2022 Rating: 5

No comments:

Followers

Powered by Blogger.