“Langkah tegap maju … jalan!”
Teriakan dari Danton—komandan peleton menandai
bahwa setiap pasukan regu dalam sebuah upacara pengibaran bendera, harus
bergerak maju menuju titik yang sudah ditentukan. Pasukan pengibar terdiri dari
tiga regu—pasukan tujuh, delapan, dan empat lima. Masing-masing pasukan regu berjumlah
beberapa siswa-siswi terpilih. Mereka akan bergerak dengan derap langkah yang
serentak, dikomandoi oleh satu Danru—komandan regu.
Suara derap langkah tersebut memantul dan
menghentak tanah, berulang. Menimbulkan suara ketukan yang menggema. Setiap
regu memiliki titik tuju yang berbeda kemudian berpencar dengan gerakan seragam
nan menawan. Ketika seluruh regu sudah menempati titik yang di tuju, mereka
akan menyesuaikan gerak dengan jalan di tempat.
“Berhenti … gerak!” Danton memberi
komando dengan lantang.
Seluruh regu berhenti gerak dan bergeming
menapakkan kedua kaki di atas tanah. Kini, seluruh barisan membaur dan berubah
menjadi sebuah formasi yang indah. Jika dilihat dari kamera udara, formasi
berbentuk seperti burung yang tengah mengepakkan sayap.
Di tengah formasi, tiga siswa bersiap
menjalankan tugasnya sebagai petugas pengibar bendera. Bertugas sebagai pengerek,
pembentang bendera, dan penarik tali. Mereka bertiga mendekati tiang bendera,
lalu menempati posisi masing-masing. Pembawa baki yang berisi replika bendera
merah putih pun menjalankan tugasnya—menyerahkan bendera kepada petugas penarik
tali. Kemudian, bendera yang sudah berada di tangan petugas penarik tali,
bekerjasama dengan petugas pembentang. Mengaitkan ujung bendera dengan kedua
pengait katrol pada tali dengan seksama. Sehingga bendera dapat dibentangkan
dengan sempurna.
“Bendera, siap!”
Terdengar suara lantang petugas
pembentang—tanda bendera siap dikerek.
“Kepada, bendera merah putih. Hormat …
gerak!” sahut Danton dengan lantang dan bergema.
Seketika, suasana menjadi khidmat kala
bendera mulai dikerek dengan iringan lagu Indonesia Raya. Seluruh petugas maupun
peserta upacara, hanyut dalam lantunan lagu kebangsaan Republik Indonesia yang
bergema serempak.
Mendekati hari kemerdekaan—17 Agustus,
setiap tahunnya akan diadakan seleksi untuk menjadi pasukan dan petugas
pengibar bendera. Seleksi diadakan dari tingkat sekolah, wilayah, dan kemudian
tingkat nasional—tingkatan tertinggi yang bertugas di Istana Negara. Seleksi
dilakukan secara ketat dan tidak mudah. Lalu, siswa-siswi yang terpilih akan
ditempa dengan berbagai latihan secara intensif secara teori maupun fisik.
Tidak menutup kemungkinan di tengah pelatihan, banyak yang berguguran. Namun, tidak
bagi mereka yang memiliki jiwa pantang menyerah dan tekad baja. Merekalah yang
akan terpilih dan mengemban tugas dalam pasukan pengibar bendera pada hari
kemerdekaan.
Jiwa pantang menyerah siswa-siswi
terpilih, sama seperti tekad pemuda-pemudi pada masa penjajahan. Demi
memproklamirkan kemerdekaan, mereka rela berkorban nyawa melawan penjajah.
Sehingga mampu mengibarkan Sang Saka Merah Putih di bumi pertiwi—tanah air
Indonesia.
Tidak ada pengorbanan yang sia-sia,
begitu pun pengorbanan para pejuang. Tanah air yang bertahun-tahun dijajah oleh
negara komunis, akhirnya mampu berdiri sendiri sebagai negara berdaulat. Tepat
pada 17 Agustus 1945 tercatat dalam sejarah—lahirnya Negara Republik Indonesia
yang diproklamirkan oleh Soekarno dengan pembacaan teks proklamasi di halaman
rumah beliau—Jalan Pegangsaan Timur nomor 56, pukul 10.00 WIB yang disaksikan oleh
segenap rakyat.
Sebelum dilangsungkannya proklamasi
kemerdekaan, Soekarno memberi saran kepada seluruh perwakilan bangsa dan
perwakilan pemuda untuk mengadakan pengibaran bendera setelah pembacaan teks
proklamasi dan doa. Saran beliau disetujui oleh semua yang hadir dan bergegas
menyiapkan semuanya.
Terjebak dalam waktu yang begitu sempit
antara persiapan dan pelaksanaan pengibaran bendera. Membuat persiapan
dilakukan secara tergesa-gesa dan apa adanya. Hal ini terlihat dari fakta
sejarah bahwa tiang bendera pada saat itu terbuat dari bambu jemuran yang
dimodifikasi dengan dipasang katrol pengait dan menggunakan tali yang kasar.
Tidak hanya itu, bendera yang akan dikibarkan dijahit dengan waktu yang singkat
oleh Fatmawati—istri Soekarno. Sehingga memiliki ukuran sangat besar dibanding
ukuran standar bendera pada umumnya.
Begitu pun dengan pasukan pengibar
bendera yang dipilih hanya berdasarkan pertimbangan dari Soekarno—pengibar
bendera dilakukan oleh seorang prajurit. Maka dipilihlah Abdul Latief
Hendradiningrat yang merupakan prajurit PETA dan Suhud Sastro Kusumo—golongan
pemuda pelajar yang bergabung dalam Barisan Pelopor. Mereka berdua bertugas
sebagai pengerek tali dan pembentang bendera. Lalu yang bertugas membawa
bendera dan menarik tali adalah S.K. Trimurti (Surastri Karma Trimurti)—seorang
pemudi yang memiliki semangat juang dan berperan aktif dalam Gerakan
Kemerdekaan Indonesia.
Ketiga pemuda-pemudi tersebut menjadi
orang pertama kali yang mengibarkan Sang Saka Merah Putih dan menjadi pelopor
pasukan pengibar bendera. Idola yang tak lekang dimakan waktu, terkhusus bagi
siswa-siswi yang tergabung dalam organisasi Pasukan Pengibar Bendera—PASKIBRA.
Upacara pengibaran bendera yang
dilakukan di Istana Negara pada setiap tanggal 17 Agustus, menjadi momen yang
ditunggu oleh jutaan mata rakyat Indonesia di pelosok Nusantara. Meskipun hanya
disaksikan melalui layar televisi, tidak mengurangi rasa khidmat kala bendera
mulai dikerek hingga berkibar dengan gagah di ujung tiang tertinggi.
Penulis:
Dwinov Swa
No comments: