PRAMUNIAGA MINIMARKET - Chapter 4

 


#4 Asa Berkalang Luka

Aku mengabdikan diri untuk sesosok makhluk Tuhan yang menjadi imamku. Rasa cinta yang aku berikan begitu besar, menutupi semua perangai buruknya. Aku terbuai dengan kalimat penyesalan yang berulang kali terucap olehnya. Tujuh tahun sudah rotasi waktu berlalu. Tanpa adanya rasa menggebu seperti awal sebelum mempersuntingku. Hari demi hari, kasih miliknya pudar. Namun tidak dengan rasa yang aku miliki. Aku masih sangat mendamba cinta dan kasihnya yang dahulu pernah aku rasa. Berharap rasa itu dapat merekah kembali.

Setelah lima tahun menikah. Akhirnya aku diberikan amanah kehamilan. Buah hati yang aku nanti, hadir menemani. Berharap kehadiran buah hati di tengah bahtera yang hampir karam, akan kembali berlayar. Tapi ternyata itu hanya menjadi asa. Ketidaksempurnaan Bima selalu berhasil menyulut amarah yang terlampiaskan di tubuh ini. Hujan serapah dan makian menjadi senandung yang aku redam sendiri. 

Asa masih melambung tinggi dalam angan. Namun, aku disadarkan oleh sosok wanita yang aku sayangi setelah Bunda. Dia adalah ibu dari suamiku. Ibu mertua yang kerap kali digambarkan sebagai rival seorang istri dalam berumah tangga. Namun tidak dengan ibu mertuaku. Ibu menjadi sosok pengganti Bunda. Kasih sayangnya membuat aku selalu nyaman berada disisinya. Tidak sanggup aku mencurahkan kegundahan atas apa yang telah diperbuat oleh darah dagingnya. Ibu membangkitkan alam bawah sadarku bahwa aku layak dicintai tanpa menghamba pada satu hati. Meskipun itu artinya berpisah dengan anaknya.

**

Setelah pernikahan, ibu meminta kami untuk tinggal disebuah kamar yang disewakan sebelumnya. Berada tidak jauh dengan rumah ibu. Tanpa membayar uang sewa maupun listrik dan air. Seperti telah meramal bahwa kami akan mengalami kesulitan ekonomi setelah pernikahan. Selang satu tahun pernikahan, aku mengalami PHK dan suami hanya bekerja serabutan. Tidak mampu menafkahi aku dengan layak. Semua itu menjadi awal bahtera kami terguncang gelombang.

Ibu akhirnya menjadi penyelamat dalam perbaikan roda ekonomi keluarga. Ibu mengetahui tanpa harus mencari tahu bahwa anaknya tidak menafkahi aku dengan layak. Ibu memberikan pekerjaan untuk aku. Membantu usaha catering miliknya. Dia paham bahwa aku tidak mudah menerima sebuah bantuan dengan percuma. Ibu sangat menjaga harga diriku. Dia memberi upah sesuai dengan kerja keras yang telah aku lakukan. Tanpa membandingkan dengan karyawan Ibu lainnya.

Bekerja di catering milik ibu membawa secercah harapan untuk memperbaiki roda ekonomi dalam bahtera. Namun, harapan itu tidak selaras dengan pemikiran suamiku. Dia tidak puas ketika aku hanya bekerja di catering ibunya. Materi yang didapat tidak sebanding ketika aku bekerja di perusahaan garmen. Sudah berulang kali aku mencoba kembali mendapatkan pekerjaan sesuai dengan keinginan suami. Tapi tidak semudah itu. Sehingga pilihan terakhir adalah kembali bekerja membantu ibu mengurus usaha catering.

Mendapat uang banyak dengan waktu yang singkat menjadi pedoman dalam diri suamiku. Melakukan investasi bodong dan berjudi menjadi jalan yang kerap kali dilakukan. Berharap setiap pertaruhan akan mendapat pundi yang lebih besar. Ternyata usahanya nihil. Tetapi suamiku tidak patah arang, tetap bertaruh meskipun tidak membuahkan hasil. Membuat semua harta benda milik kami tergadai tanpa bisa menebusnya kembali. Tidak jarang dia meminta atau mengambil paksa uang yang aku sisihkan disertai aroma alkohol yang mencuat dari mulutnya.

“Gua tahu lu nyimpan uang. Mana sini uangnya!” Pinta ayah Bima.

“Bang.. Itu uang untuk biaya terapi Bima.” Ujarku menjelaskan.

“Ngapain lu ngurus anak cacat begitu, hah! Udah mana sini uangnya!” Caci ayah Bima.

“Jangan ngomong begitu. Bima itu anak abang.” sergahku.

Ayah Bima menyerbu lemari tempat biasa aku menyimpan uang. Ketika dia menemukan lembaran uang. Aku buru-buru merampas dan merebutnya kembali. Bogeman mentah dari tangannya yang kosong mendarat di atas pipi kananku. Aku tersungkur di bawah kaki lemari. Menangis dan mengerang kesakitan sembari melihat dia pergi dengan lembaran uang yang tidak sanggup aku pertahankan. Selang berapa menit kemudian, Ibu datang.

“Ya ampun.. Rita!” Pekik ibu mertuaku.

Ibu kaget ketika melihat aku menangis dan memegangi wajah yang mulai terlihat lebam. Ibu segera menghampiri aku dan melihat wajahku. Tubuh ibu yang kaget membuat bayi dalam gendongannya menggeliat. Ibu buru-buru balik kerumah menitipkan Bima kepada Sinta, adik iparku. Kemudian bergegas kembali dengan membawa sebotol minyak. Mengobati lukaku dengan menangis dalam diam. Mengisyaratkan permintaan maaf atas perbuatan anaknya yang gagal dia didik.

Pertengkaran seperti itu menjadi bumbu pelengkap. Berulang, hampir setiap malam. Namun aku masih tetap ingin meneruskan rumah tangga bersamanya. Aku masih sanggup menahan semua luka. Aku selalu berjibaku dengan rasa kasih yang tidak berbalas. Tetap mengabdi sebagai istri. Berharap, kesabaranku menghadapi perlakuan buruk suami menjadi ladang pahala.

**

Suatu ketika aku selesai mengerjakan urusan catering. Aku hendak mengambil bayi mungil di kamar Sinta. Ibu menghampiri aku dan mengajak duduk di meja makan.

“Rita, kamu sudah makan nak?” Tanya ibu.

“Belum bu, nanti saja. Rita mau menyusui Bima dulu.” Ujarku.

“Gimana sih kamu, kalau mau menyusui yah harus makan dulu. Kalau perut kosong ASI nya engga enak rasanya. Kamu tega ngasih cucu ibu susu yang engga enak gitu.” Cecar ibu.

Ibu dengan cepat menuangkan nasi beserta lauk pauk ke dalam piring dan memberikannya kepadaku. Tak luput menuangkan air minum.

“Habiskan makannya, jangan terburu-buru. Tadi Ibu lihat Bima lagi anteng sama Sinta di kamar.” Jelas Ibu.

Aku mulai menyantap makanan yang dihidangkan ibu. Sementara ibu meninggalkan aku sendiri di meja makan. Ketika aku sudah menghambiskan makanan dalam piring dan ingin menambah minum. Ibu kembali menghampiri aku.

“Gitu dong, Kamu kan masih menyusui. Harus makan banyak. Nanti kamu bawa nasi dan lauknya kerumah yah. Untuk makan nanti malam. Oh iyah Rita. Ibu mau bicara sama kamu. Sini duduk nak.” Pinta Ibu.

“Ada apa yah bu?” Jawabku.

Ibu tidak menjawab pertanyaanku. Mata ibu seperti sedang mencari sesuatu di dalam tubuhku. Sejak tadi, ketika ibu menawari makan. Sorot mata ibu sudah mencurigakan. Seperti sedang melakukan penyelidikan. Akhirnya ibu menemukan sesuatu yang dia cari. Jejak sentuhan dari orang yang bertenaga. Lebam di tungkai tangan kanan bagian bawah. Padahal aku sudah mencoba menutupinya dengan memakai pakaian lengan panjang. Tapi aku lupa ketika makan tadi, aku singsingkan lengan baju.

Setelah mengetahui luka itu, tiba-tiba Ibu beranjak dari duduknya dan mengambil botol minyak. Kemudian membalurkannya dan mengusap di area luka. Keheningan menyapa kami. Aku seperti anak nakal yang  dipergoki oleh Ibu ketika berbuat ulah. Bergeming dengan wajah penyesalan dan bingung.

“Semalam ibu dengar.” Ujar ibu.

Ibu seakan mengerti apa yang aku pikirkan dalam hati. Pertengkaran semalam dengan ayahnya Bima menghasilkan luka yang sedang diobati oleh Ibu.

“Rita masih sayang sama abang?” Ibu mulai bertanya.

“Ibu kenapa tanya begitu?” Tanyaku heran.

“Mau sampai kapan Rita bertahan dengan keadaan seperti ini?” Ibu mulai bertanya dengan pertanyaan yang terdengar aneh olehku.

Kami terdiam dengan pikiran masing-masing.

“Ibu itu sayang sama Rita. Sayang sama Bima. Cucu pertama yang ibu tunggu.” Ibu menekankan suaranya disetiap kalimat.

Keheningan kembali menyapa.

“Tapi sepertinya anak Ibu sudah terlalu banyak membuat Rita menderita.” Ujar ibu mulai terdengar sedih.

“Ibu tahu kalau Rita masih sayang sama abang. Tapi Rita juga harus sayang sama diri sendiri.” Ibu berusaha menyadarkan aku.

“Lihat. Lebam ini seharusnya ngga ada. Tidak ada yang boleh memperlakukan kamu seperti ini. Termasuk anak ibu sendiri.” Air mata tertahan di mata Ibu disetiap kalimat.

Air mata Ibu mulai mengalir di pelupuk matanya disela keheningan yang menyapa kembali.

“Kamu jadi kurus seperti ini. Wajahmu tirus, kuyu dimakan beban hati yang kamu pendam. Ibu tidak melihat Rita yang pertama kali berkunjung ke rumah ini. Rita yang ceria dan selalu tersenyum.” Jelas ibu dengan sedih. 

 “Ibu kenapa bicara seperti itu?” tanyaku.

“Ibu pikir, sepertinya Rita akan lebih bahagia dengan laki-laki lain. Bukan anak ibu yang selalu memberikan Rita luka.” Jawab ibu disertai deraian air mata yang semakin deras.

“Mak.sud Ibu gimana?” Jawabku ragu.

“Sepertinya Rita harus memikirkan lagi. Rumah tangga Rita dengan abang. Ibu tidak tega melihat Rita menangis sendiri setiap anak ibu menyiksa kamu. Memberi kamu luka batin dan fisik seperti ini.” Lugas ibu sembari menyeka air matanya.

“Kamu dilahirkan bukan untuk di sia-siakan seperti ini nak.” Ujar ibu.

“Maafin ibu yah Rita, ibu sudah gagal mendidik abang.” Ibu kembali menangis penuh penyesalan.

Aku tidak sanggup berkata kata. Aku hanya sanggup memegangi tangan ibu sembari ikut menangis. Aku peluk wanita paruh baya di hadapanku. Kami menangis dalam pelukan. Tangisan kami seolah mengurai seribu bahasa yang tak sanggup terucap.

“Mba Rita! Bima nangis. Kayanya haus deh!” Teriak Sinta dari dalam kamar.

Teriakan itu membuat aku dan ibu menyudahi percakapan antara mertua dan menantu yang saling menyayangi. Aku lepas pelukan Ibu dan mencoba menenangkannya.

“Ibu, sudah yah. Ibu tidak perlu merasa bersalah. Semuanya sudah menjadi jalan hidup aku. Mungkin takdir aku harus seperti ini. Aku senang sekali bisa punya Ibu. Pengganti Bunda. Aku sayang banget sama Ibu.” Hiburku sembari mengusap punggung ibu.

“Bu, aku tinggal yah. Cucunya minta nenen tuh.” Candaku dengan senyum.

Ibu menyeka air matanya sembari melihat punggungku yang menjauh dan setengah berlari ke arah kamar.

**

Sejak percakapan dengan Ibu mertuaku di meja makan. Membuat aku berpikir kembali perjalanan bahtera rumah tangga yang selama ini aku jalani. Aku mencoba mengesampingkan rasa cintaku yang kerap kali membuat aku tidak berpikir jernih. Ada kalanya ketika aku menyendiri dan melihat bayi mungil yang tertidur di sampingku. Hati ini berkata “ini bukan seperti yang aku bayangkan. Kapan terakhir aku bisa tersenyum dan tertawa lepas ?”

Teringat kembali ketika ayahnya Bima dulu melamar. Hanya berdasarkan nafsu yang menggebu, beralaskan cinta dan kasih. Aku menerimanya tanpa meminta restu dari penguasa hati. Aku lupa, tidak melibatkan Tuhan dalam momen yang sangat penting dalam hidupku. Sehingga akhirnya, aku kehilangan arti sesungguhnya sebuah pernikahan.

Aku mulai memperbaiki komunikasi dengan Tuhan. Mengemis pengampunan atas setiap dosa yang dengan sadar aku lakukan. Aku meminta petunjuk untuk mendapatkan jawaban. Apakah tetap melanjutkan rumah tangga atau berpisah. Seperti ucapan ibu, aku memikirkan kembali rumah tangga bersama anaknya.

Munajat yang mulai rutin aku lakukan memberi ketentraman jiwa. Entah mengapa intuisi dalam diri menjadi peka. Aku lebih mencintai diriku dan berusaha melindungi dari perbuatan arogan suami.

**

Pada suatu hari. Aku dikejutkan dengan kehadiran seorang perempuan yang mencari suamiku. Dari penampilannya terlihat masih sangat muda. Mungkin terpaut usia denganku 10 tahun. Wajahnya sendu dan seperti menyimpan kerisauan.  Aku menyuruhnya menunggu karena orang yang dicari tidak ada dirumah. Setelah menyusui Bima di kamar, aku segera menemui perempuan itu. Menyuguhkan kembali teh manis hangat untuk gelas yang kedua. Begitu terlihat kerisauan di raut wajahnya sehingga menandaskan teh hangat dengan cepat.

Dari perempuan itu mengalirlah apa yang sebenarnya terjadi antara perempuan itu dengan suamiku. Tidak pernah aku duga bahwa perbuatan suamiku begitu biadab. Seolah tidak cukup menyengsarakan aku. Perempuan itu kini sedang mengandung anak suamiku atas hubungan yang tidak semestinya. Dia ingin meminta pertanggungjawaban atas perbuatan suamiku.

Tuhan maha segalanya. Secara yang tidak terduga memberikan jawaban atas kegelisahan disetiap munajat yang aku lakukan. Ini adalah petunjuk dari Tuhan. Berpisah adalah jawabannya. Menghapus asa berkalang luka yang aku terima selama ini. Mulai saat ini doaku berganti. Aku meminta untuk dikuatkan dalam menghadapi gerbang perpisahan.

Menyiapkan diri untuk kehilangan dan membuang jauh semua ketakutan. Takut dengan kehilangan status sebagai istri. Takut, kalau Bima akan kehilangan figur ayah di masa pertumbuhannya. Takut dengan status yang akan melekat dalam diri ini setelah berpisah. Namun, Tuhan tidak berhenti menguatkan karena telah mengirim orang terkasih di sisiku untuk mendukung. Memberi semangat ketika ketakutan menghinggapi. Merapalkan doa atas kelancaran proses perpisahan yang menguras energi. Mereka adalah Ibu mertua, bibi Asih (adik bunda) dan suaminya. Mereka sayap pelindung bagi aku di bumi ini. Ketakutanku sirna dan tegar dalam menghadapi momen perpisahan.

**

Kehilangan yang selama ini aku takuti, ternyata tidak semenakutkan itu. Aku seperti terlahir kembali dengan sejuta asa. Meninggalkan rencana tanpa makna bersama seseorang yang pernah aku kasihi. Mencintai dengan segenap jiwa adalah kesalahan dalam hidup. Aku lupa bahwa Tuhan berhak merasa cemburu dan berkuasa menjungkirbalikkan rasa.

Tidak pernah terpikirkan bahwa menghirup udara yang berpolusi bisa menyenangkan. Langit biru yang dihiasi awan putih berarak tak tentu arah. Membentuk apapun yang mereka ingin. Map yang mendominasi warna hijau dan bergambarkan kantor agama wilayah setempat. Aku genggam dengan begitu erat seperti harta yang tidak boleh terampas. Map yang berisi berkas perceraian antara aku dan ayahnya Bima. Menjadi saksi berakhirnya komitmen tertinggi dalam sebuah hubungan. Tidak pernah aku sangka ternyata peristiwa yang pernah aku hindari. Menjadi sesuatu yang membuatku semangat menjalani hidup.

**

Menyaksikan tumbuh kembang Bima menjadi sesuatu yang paling membahagiakan dari apapun. Kehadiran Bima mampu mengalihkan dunia yang sempat tidak ramah kepadaku. Kini pikiranku hanya disibukkan dengan mencari nafkah dan membesarkan Bima dengan penuh kasih sayang.

Setelah aku terlepas dari belenggu ayahnya Bima. Membuat kehidupan berjalan dengan baik. Bisa dibilang lebih layak dibanding ketika aku hidup bersama dengannya. Aku bisa menabung untuk kebutuhan hidup dan pendidikan Bima kelak.

“Mah. Sini deh.”

Bima tiba-tiba menarik lenganku yang sedang membasuh piring. Menggiring aku menuju ke tempat dia bermain.

“Apa ini de?” tanyaku

“Tuh lihat, Bagus kan.” Pamer Bima.

“Wah. Iya bagus. Yang kotak merah itu untuk apanya de?” Tanyaku penasaran.

“Ni tuk ni sama ni, dua duaan masuk ni.”

Bima menjelaskan dengan bahasa dan kosakata yang masih terbatas. Yang dimaksud ni adalah mainan mobil-mobilan dan motor-motoran.

“Oh.. Itu tempat untuk mobil dan motor.” Jelasku antusias.

Bima menggangguk semangat

“Berarti kotak merah itu namanya garasi de.” Aku menjelaskan.

“Ga.lr.a.si.” Bima mengulang perkataanku dengan susah dan terbata. Merasa asing dengan apa yang didengarnya.

“Iyah, GARASI. Garasi itu rumah untuk kendaraan. Tempat mobil dan motor tidur.” Jelasku kepada Bima.

Aku selalu berusaha mengajari Bima untuk berbicara dengan lebih baik. Mengucapkan setiap kata sesuai pelafalan. Menatap matanya dan berusaha menjelaskan apapun yang membuatnya penasaran. Agar apa yang aku sampaikan terserap dalam cell memorinya.

**

Sejak resmi berpisah dengan ayah Bima. Aku merasa hidup menjadi lebih hidup. Malam tidak lagi menakutkan. Sudah tiga tahun lebih tidak kudengar lagi hujan serapah dan makian dari laki-laki yang pernah menjadi bagian dari hidupku. Aku begitu menikmati setiap detik, hidup berdua dengan Bima. Hidup bersama dengan Bima membuat aku mempunyai tujuan dalam hidup ini.

Tuhan begitu menyayangi aku. Kehidupanku dibuat mudah disaat status ‘single parent’ tersemat dalam diri. Tidak lama setelah menerima surat putusan dari pengadilan. Aku mendapatkan pekerjaan. Dari pekerjaan itu, aku bisa menabung. Hingga akhirnya bisa membeli sepetak rumah untuk aku tinggali bersama dengan Bima.

Aku tidak menyangka bahwa di sudut kota besar ini, bisa membeli rumah dengan harga yang bisa dijangkau oleh pegawai pabrik seperti aku. Meskipun aku tahu bahwa rumah yang aku beli tidak milik aku sepenuhnya. Aku hanya membeli bangunan yang berdiri di atas tanah milik pemerintah setempat. Mungkin suatu saat akan digusur oleh pemilik tanah. Tapi aku tidak berpikir sejauh itu. Saat ini, aku hanya berpikir dapat hidup layak tanpa memikirkan biaya sewa bulanan.

Rumahku berdekatan dengan rumah bibi Asih. Informasi dari bibi yang membuat aku berpikir untuk membeli rumah. Bibi sudah lama tinggal di kota ini bersama suaminya. Hidup harmonis meskipun tidak memiliki keturunan. Sehingga awal pertama aku dan bunda datang ke kota ini. Bibi dan suaminya menyambut kami dengan penuh suka cita. Mengijinkan kami tinggal di rumahnya sampai kapan pun. Mereka sangat bahagia karena akhirnya ada teman bicara selain mereka berdua.

**

Bibi Asih sudah tahu apa yang terjadi dengan kehidupan kakaknya yang menderita. Dari bibilah kekuatan yang didapat bunda. Bunda memilih lari dari kungkungan ayah dan istri barunya yang menguasai rumah kami. Ayah tidak berpikir bahwa madu yang dia bawa adalah racun berbisa bagi bunda dan aku. Bunda selama ini menyimpan rapat semuanya. Hingga baru aku tahu ketika ayah pertama kali berani mengajak perempuan itu untuk tinggal seatap dengan kami. Saat itu menjadi hari paling kelabu. Aku kecewa. Patah hati paling menyakitkan adalah ketika anak perempuan dikhianati oleh cinta pertamanya (ayah).

Walaupun sudah hidup jauh dari ayah. Bunda masih menggenggam nyaman setiap luka hati yang diberikan ayah. Membangkitkan penyakit dalam diri bunda hingga akhirnya berpulang keharibaan. Meninggalkan aku yang masih butuh sandaran. Kehadiran bibi Asih menjadi pelipur lara ditengah duka yang masih sangat terasa. Aku kehilangan sosok ayah dan kehilangan bunda selamanya. Menjadikan aku haus kasih sayang dan perhatian. Meskipun bibi dan suaminya menyayangi aku layaknya anak sendiri. Tapi rasanya tidak cukup.

**

Dikala aku bekerja. Bima aku titipkan di rumah bibi dan paman. Ketika mereka mendengar aku mendapatkan pekerjaan. Mereka dengan sukarela mengajukan diri untuk mengasuh Bima. Bibi dan paman seperti mendapatkan oase atas kehadiran Bima ditengah tandusnya pengharapan untuk memiliki anak diusia bibi yang sudah tidak produktif.

“Assalamuallaikum. Tok tok tok.” Ucapku di depan pintu.

Dari jauh Bima sudah melihat aku berjalan mendekati rumah. Bukan menghampiri aku. Dia memilih bergegas masuk ke dalam rumah bibi dan menutup pintu. Ketika sampai depan pintu aku diharuskan mengucapkan salam dan mengetuk pintu. Syarat agar Bima membuka pintu. Entah siapa yang mengajarinya. Tapi apapun yang Bima inginkan, selama masih baik dan bukan hal yang buruk. Apa salahnya mengikuti permainan anak balita yang hampir berusia empat tahun ini.

“Capa?” tanya Bima.

“Ini mamah.” Jawabku.

“Mamah capa, mau pain.” Tanyanya.

“Ini mamahnya Bima. Buka pintunya dong? Mamah bawa coklat, ciki rumput laut dan lollipop.” Jelasku.

Tanpa babibu, Bima langsung membuka pintu dan merampas plastik isi kudapan yang aku beli. Dia menumpahkan semua isi dalam plastik tanpa menghiraukan aku. Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya.

“Wow.. macih mamah. Ai yai yu.”

Lagi-lagi aku terkejut ketika dia sudah mulai bisa mengatakan Ai yai yu yang artinya I love you. Waktu berlalu begitu cepat. Tidak terasa Bima sudah sebesar ini dan bisa mengungkapkan kalimat cinta. Aku tidak pernah ingat pernah megajari dia kalimat itu. Atau mungkin dia diajari bibi atau paman. Biarlah, tidak peduli siapa yang mengajari dia. Aku terlalu bahagia mendengar kalimat itu dari Bima.

“Wah, mamah udah pulang yah Bim.” Sela bibi menghampiri.

Bima tidak menjawab hanya menggangguk dengan kedua tangan serta mulut yang penuh kudapan.

“Iyah ne, tadi macet banget. Makannya baru sampai jam segini.” Keluhku.

Aku membiasakan memanggil bibi dan paman dengan sebutan nenek dan kakek. Agar Bima terbiasa dan tetap merasa memiliki nenek dan kakek.

“Oh macet yah, pantesan paman kamu juga belum sampai. Biasanya jam segini sudah sampai rumah.” Jawab bibi.

“Yasudah ne, aku sama Bima pulang yah.” Ujarku berpamitan.

“Oh iyah Rita. Kamu pulangnya lewat mana?” tanya bibi.

“Lewat jalan belakang, mau motong jalan biar cepat sampai.” Jelasku.

“Oh gitu, yasudah ngga jadi Rit.” Kata bibi.

“Kenapa emangnya ne?” tanyaku

“Engga jadi. Dikira kamu lewat jalan depan. Tadinya mau nitip beli minyak sayur di minimarket depan itu.” Ujar bibi.

“Oh, yasudah ngga apa-apa ne. Aku lewat jalan depan saja sekalian mampir kesana. Tapi minyaknya aku bawa besok pagi pas anter Bima yah.” Jelasku .

“Eh beneran Rit, udah ngga usah kalau kamu ngga lewat sana. Nanti bibi aja yang beli.” Sergah bibi

“Beneran ne, ngga apa-apa aku lewat depan. Aku jadi bisa sekalian beli pembalut. Tadinya emang mau kesana tapi malas kalau hanya beli satu barang aja.” Ujarku.

Aku mengajak Bima untuk membersihkan tangan dan mulutnya yang penuh dengan serpihan makanan.

“Nek, kita pamit yah. Bima saliman dulu sama nenek.” Pintaku.

“Anak pinter. Ciumnya mana. Satu lagi dong. Ih pinter amat sih cucu nenek. Muach. Bima pulangnya hati hati yah. Dadah.” Ujar bibi sembari mencium dan melambaikan tangan ke Bima yang mulai berjalan ke arahku.

**

“Selamat datang di minimarket”

Suara bel otomatis di pintu yang terbuka menyambutku. Memasuki ruangan minimamarket. Seketika  aku teringat pertemuan dengan Perdana. Salah satu laki-laki yang memberi luka dalam hati. Pertemuannya waktu itu mungkin hanya untuk membangkitkan ingatan agar aku tidak mengulangi kesalahan. Terutama yang berhubungan dengan laki-laki. Tapi untunglah, ternyata dia tidak mengusik kehidupan aku lagi.

Aku merasa damai, hidup berdua dengan Bima tanpa adanya pedamping. Aku harap kedamaian ini akan bertahan selamanya. Damai mencurahkan jiwa dan raga hanya untuk amanah terindah yang Tuhan titipkan. Bima adalah segalanya bagiku. Aku sangat mencintai Bima melebihi apapun. Termasuk diriku sendiri.

“dert dert dert”

Suara telepon genggam di dompetku bergetar. Ada panggilan dari nomor yang tidak aku kenal. Awalnya tidak aku angkat hanya aku diamkan. Namun tidak berhenti bergetar. Sehingga ketika panggilan ke empat aku mengangkatnya. Takut ada sesuatu yang penting.

“Halo, ini siapa yah?” tanyaku

“Ha-lo, ini.. benar dengan Rita Madadayu?”

Suara perempuan dari balik telepon genggam yang berada jauh disana, terdengar ragu dan memastikan namaku.

“I-ya, benar. Maaf ini dengan siapa?” Tanyaku penasaran.

“Tut tut tut tut tut tut tut.”

Sambungan telepon terputus begitu saja. Siapa sebenarnya perempuan yang menelpon itu. Aku enggan menelpon balik. Mungkin saja hanya penelepon iseng. Tetapi, entah mengapa perasaanku berkata kalau itu bukan keisengan semata. Sepertinya kedamaianku akan terusik.

***

PRAMUNIAGA MINIMARKET - Chapter 4 PRAMUNIAGA MINIMARKET - Chapter 4 Reviewed by Dwi Noviyanti on September 27, 2021 Rating: 5

No comments:

Followers

Powered by Blogger.