Entah
sejak kapan Ibuku menjadi penampung 'nasi jelek'. Sebutan yang aku ciptakan
untuk nasi basi. Tidak salah jika aku menamakannya nasi jelek.
Dari aromanya yang sudah berbau khas dan penampakan bentuknya yang jelek.
Berwarna kuning kecoklatan. Bahkan tidak jarang sudah berlendir.
Ritual ibuku setiap pagi adalah menjemur nasi-nasi
jelek pemberian tetangga di atap tetangga sebelah rumah. Rumah kami berada
di pemukiman padat penduduk. Sehingga atap rumah kami tidak berjarak dan tidak
ada sekat pembatas. Nasi jelek itu di letakkan di selembar triplek atau nampan
usang di atas atap sebagai alas. Kemudian di jejerkan secara rata diatasnya,
membiarkan matahari membuat nasi jelek itu mengering.
Apabila ada yang memberi nasi dalam jumlah banyak
karena sisa hajatan. Kerap kali aku memergoki Ibu sedang menangis dan berbicara
kepada nasi jelek yang sedang dijemurnya.
"Ya Allah ini nasi banyak banget. Kenapa sih ini
di buang. Saya dulu mau makan nasi aja susah banget. Mau makan harus numbuk
dulu. Setiap hari hanya makan jagung atau singkong. Makan nasi cuma sekali
dalam satu minggu aja udah seneng banget rasanya. Ini malah di buang-buang
kaya gini. Ya Allah sayang banget ini."
Ibu terlahir dikeluarga yang tidak mampu.
Saat kecil, nasi adalah sebuah keistimewaan bagi Ibu. Makan dengan
sepiring nasi dan garam menjadi menu terenak baginya. Itulah sebabnya
Ibu menerima nasi jelek dari tetangga. Awalnya hanya semangkok nasi dari
tetangga sebelah rumah. Namun lama kelamaan satu gang tahu mamah mengumpulkan
nasi jelek. Menjadikan rumah kami tujuan utama untuk nasi sisa di rumah
mereka.
"Bu. Ini nasi suruh dijemur sama mamah."
Hampir setiap hari aku mendengar perkataan itu dari
tetanggaku. Setiap hari dengan tetangga yang berbeda dan nasi yang beraneka
ragam aromanya dan bentuknya karena proses pembusukan.
Hal itu membuat kami sekeluarga. Anak-anak dari Ibu
lebih menghargai sepiring nasi ketika makan.
"Nasinya dihabiskan, jangan ada sisa di
piring."
"Makannya! kalau ngambil nasi jangan
banyak-banyak! Ambil sedikit dulu, kalau kurang kan bisa nambah!"
"Sini nasinya, biar ibu yang habiskan. Kamu tuh
udah tau ibu susah banget dulu makan nasi. Ini nasi malah mau di buang-buang
begini!"
Itu sebagian petuah dan ocehan ibu yang kerap
kali aku dan saudaraku dengar. Saat ini yang menjadi bulan-bulanan ocehan Ibuku
adalah cucunya ketika makan tidak dihabiskan.
"Nenek kan sudah bilang, makannya dihabiskan.
Kasian tuh nasinya nangis kalau engga kamu habiskan. Ini tambah lauknya lagi
yah, habiskan nasinya yah sayang."
Kerap kali Ibu memberi kami makan dengan nasi
pemberian dari tetangga yang ingin di jemur. Menurut Ibu nasinya masih layak di
makan. Tidak jarang kami menolak makan nasi tersebut karena nasinya sudah mulai
berwarna kuning kecoklatan dan mulai berbau. Tapi Ibu mensiasatinya dengan
memasak nasi jelek menjadi nasi goreng yang disertai telur dadar dan kerupuk.
Nasi yang sempat kami tolak menjadi hidangan istimewa bagi kami. Dengan lahap
kami menghabiskannya.
Terima kasih Ibu, di tanganmu nasi jelek yang terbuang
menjadi sangat berfaedah. Bukan hanya untuk sesama manusia seperti anakmu
sendiri atau tetangga yang menyantap nasi goreng buatanmu. Melainkan
sesama mahluk.
Burung gereja kerap kali datang mencari makan,
singgah di atas alas nasi jelek yang sedang di jemur. Makan bersama kawanannya.
Menikmati nasi jelek dengan begitu lahap. Tikus yang lapar sering kali mengoyak
karung tempat nasi kering yang diletakkan begitu saja oleh Ibu. Atau kadang
jika nasi kering melimpah, Ibu akan menjualnya kepada pemilik ternak bebek
untuk dijadikan pakan. Hasil penjualannya akan di bagi-bagi kepada anak-anak
kecil atau mentraktir jajan ibu-ibu tetangga rumah yang sedang asik
bercengkrama.
Karena pengalaman hidup dan kebiasaan Ibuku. Kini aku sangat menghargai sepiring nasi. Tidak pernah luput satu butir pun ketika aku sedang makan. Begitu pula dengan semua saudaraku dan anakku yang sudah mulai terbiasa dengan kebiasaan baik ini. Terima kasih Ibu.
No comments: