#2 Ketika Semua Telah Berakhir
Alam
bawah sadar dalam diri. Membawa aku menuju ke satu slide yang tidak bergerak
dalam roll film memory. Ketika mata
dan otak aku paksa untuk mengingat. Seberkas cahaya mengajak aku untuk menembus
masuk ke dalam slide itu. Kini bukan hanya indra penglihatanku saja yang dapat
menyaksikan dengan jelas isi slide tersebut. Namun seluruh tubuhku masuk ke
dalam slide. Aku seperti meretas dimensi waktu.
Seluruh
panca indra dalam tubuhku merasakan beragam sensasi rasa. Mataku melihat begitu
ramainya suasana dimalam hari. Tulisan bermacam produk berjejer hampir disetiap
stand yang berada saling berdekatan. Indra penciumanku meraba aroma yang tumpang
tindih. Berbagai macam aroma bercampur menjadi satu hingga tidak mampu aku
jabar secara satu persatu. Indra pendengaranku pun begitu sibuk menangkap
berbagai suara. Riuh terdengar dari berbagai arah.
“Pletak pletak pletak.” Suara
alat pembuat popcorn yang sedang
bergejolak ketika jagung dan margarin sedang berkolaborasi dengan suhu panas di
dalam bejana besi. Suara musik, melodi dan syair bergema dari lengkapnya sound system yang sedang bekerja. Semua
hiruk pikuk yang aku terima oleh seluruh panca indra. Terjawab dari sebuah papan
gapura yang bertengger di pintu masuk dengan sebaris tulisan ‘Welcome To Music Carnaval’.
Aku
duduk di bangku taman yang berjejer rapi. Semua bangku hampir dipenuhi oleh
berbagai pasangan kekasih. Hanya aku yang duduk sendiri tanpa ada yang menemani.
Memendarkan pandangan ke sekeliling area taman. Bangku taman yang aku duduki
masih satu area dimana panggung utama Music
Carnaval berdiri dengan megahnya. Dekorasi hiasan panggung dan lampu-lampu tertata apik memberi kesan istimewa kepada siapapun yang akan mengisi
acara di atas penggung. Dari bangku aku bisa melihat aksi bintang tamu yang
mengisi di atas panggung tersebut. Meskipun terlihat jauh namun suaranya masih
terdengar jelas.
Yubi
dan Galang yang sudah berhasil mengajak aku ke acara rutin tahunan ini,
menghilang ditelan kerumunan pengunjung. Aku membiarkan mereka berdua untuk
menikmati kebersamaan setelah resmi menjadi sepasang kekasih dua hari yang
lalu. Aku mencoba untuk menikmati malam ini. Mencoba menghilangkan sejenak
kecemasan aku tentang hubunganku dengan Dana.
**
Acara
Music Carnaval ini adalah acara rutin
yang diadakan setiap tahun dan aku tidak pernah luput melewati acara ini.
Awalnya aku pikir tahun ini aku tidak akan mengikuti acara ini. Bahkan aku
tidak ingat kalau acara tahunan ini sudah waktunya diselenggarakan. Otakku
terlalu sibuk memikirkan Dana dan hubungan asmaraku dengannya yang sedang
kacau. Hingga siang tadi Yubi dan Galang datang kerumah.
“Rita. Ada Yubi sama Galang di
bawah.” Bunda tiba-tiba berdiri di
sampingku yang sedang duduk di meja belajar dan menginformasikan ada tamu.
“Ko bunda ngga ketuk kamar aku
dulu sih, main masuk-masuk aja!” Racauku
kepada bunda.
“Dih, bunda udah ketuk kamar
kamu tadi. Tapi ngga ada jawaban. Yaudah bunda buka aja pintunya. Eh ternyata
kamu lagi duduk disini.” Ujar
bunda seraya duduk di pinggir tempat tidur.
“Bunda bohong kan! Orang aku
ngga dengar suara ketukan pintu.” gerutuku.
“Kamunya aja kali yang
keasikan bengong makannya ngga dengar ketukan pintu. Kamu lagi mikirin apa sih?
Kayanya bunda lihat belakangan ini kamu murung banget. Kusut, kaya pita kaset.” Tebak bunda.
“Apa sih bunda, mulai deh sok
tahunya.” sungutku.
“Kamu lagi kenapa? Cerita dong
sama bunda. Kamu berantem yah sama Dana?” Selidik
bunda.
“Yang datang siapa bun?” Aku mengalihkan pertanyaan
bunda.
“Itu si Yubi sama siapa tuh
namanya tadi, bunda ko jadi lupa.” Ujar
bunda sembari mencoba mengingat.
“Galang.” Aku mengingatkan.
“Iyah benar Galang. Tadi dia
ngenalin dirinya ke bunda waktu Yubi pamit ijin ke toilet. Itu siapanya Yubi?” Tanya bunda.
“Biasa bun, pacar barunya
Yubi. Mereka baru jadian.” Jelasku
ke bunda.
“Oh.. Bunda kira Yubi pacaran
sama Rio.” Ujar bunda.
“Apaan sih bun. Rio itu cuma
temenan sama Yubi.” Ujarku menjelaskan.
“Ah tapi kayanya Rio suka deh
sama Yubi. Lagian bunda lebih sreg sama Rio di banding sama Galang.” Ungkap
bunda.
“Apa sih bun, yah itu mah
terserah Yubi. Kan Yubi yang ngejalanin mau sama Galang atau Rio. Galang
keliatannya juga baik ko bund.” Aku
memberi pendapat.
“Kan dimata kamu. Tapi kalau
di mata bunda kayanya Rio lebih baik deh di banding Galang. Rio orangnya sabar
dan keliatan bisa bertanggungjawab.” Tutur
bunda meyakinkan.
“Bunda mulai deh, engga jelas
begitu. Udah ah, Rita turun dulu nemuin mereka.” Aku pamit dan meninggalkan bunda di kamar.
**
Dari
balkon atas aku melihat sepasang sejoli di sofa yang sedang asik bercengkrama.
Sehingga tidak menyadari aku sudah turun tangga dan duduk di sofa depan mereka.
“Oh.
Jadi ini nih pasangan kekasih yang lagi kasmaran.” Aku mencibir. Cibiran itu menyadarkan mereka akan
kehadiranku.
“Idih
apaan si Rita sayang. Iri banget kayanya. Kamu tuh harusnya ikutan senang lihat
sahabatnya bahagia kaya gini.” Yubi membalas
cibiranku sembari memegang tangan Galang.
“Aku.. iri..
sama kalian. Sorry lah yah. By the way kalian kehabisan ide tempat
untuk kencan. Sampai mau pacaran di sini.” Ejekku
kepada Yubi dan Galang.
“Ya
enggalah! Judes amat sih kesayangan aku yang satu ini.” Yubi menimpali ejekanku
sembari berdiri, pindah sofa dan duduk disamping aku.
“Ya
kali! kalian mau numpang pacaran disini.” celetukku.
“Idih negative banget sih pikirannya. Tadi tuh
tiba-tiba ingat sahabat aku yang satu ini, waktu Galang ngajak ke acara Music Carnaval.” Tutur Yubi di samping sembari merangkulku.
“Iyah
Rita. Kata Yubi kamu engga pernah ngelewatin acara musik itu setiap tahun. Jadi,
kita bermaksud mengajak kamu ke sana.” Galang
menjelaskan kedatangan mereka.
“Tuh
kan pacar aku baik banget. Udah ayo, cepatan ganti baju. Kita pergi.” Yubi bicara sambil bersikap
mengusir aku untuk berganti pakaian.
“Engga
deh Yubi. Kalian aja yang pergi. Aku lagi malas banget.” Aku menolak ajakan Galang
dan Yubi.
“Hei dear. Udah deh jangan terus-terusan
murung begitu. Aku tahu banget apa yang ada di otak kamu saat ini. Pasti masih
mikirin Dana kan.” Ujar
Yubi yang tiba-tiba menatap aku dengan serius.
“Sayang,
aku kedepan dulu yah.”
Galang pamit. Ijin sambil mengkodekan tangannya yang membentuk huruf v ke arah
mulut. Seolah mengerti bahwa aku dan Yubi butuh bicara sesama wanita.
“Yubi,
aku ngerasa kayanya kali ini pertengkaran kita terlalu serius deh. Udah tiga
minggu Dana ngga ada kabar berita. Kamu yang sepupunya aja ngga tau dimana dia.
Aku udah berusaha menghubungi dia tapi ngga pernah bisa.”Jelasku lugas.
“Rita
sayang, paling si kunyuk Dana itu otaknya lagi konslet. Makannya dia menghindar
dari kamu dan dunia. Toh kalian, kalau bertengkar ujung-ujungnya pasti bakalan
kaya gini kan. Si kunyuk kabur terus setelah itu baikan lagi. Yaudah anggap aja
sebentar lagi si Dana akan nemuin kamu. Percaya deh.” Yubi meyakinkan.
“Tapi
biasanya cuma tiga hari atau seminggu Yubi, engga selama ini. Ini udah tiga
minggu kita lost contact. Aku benar-benar
ngga tau dia ada dimana. Dia lagi ngapain. Apa ada sesuatu yang terjadi atau jangan-jang..." Ujarku
beruntun dan terputus.
“Hust,
keep positive Rita.” Yubi berkata sembari menutup
mulutku agar berhenti mengeluarkan kalimat dari pikiran buruk yang aku
ciptakan.
“Mungkin
kali ini Dana butuh waktu lebih untuk menjernihkan pikirannya. Please positif thingking Rita. Hm.. kalau
diingat ingat kamu belum cerita sama aku deh. Kalian bertengkar karena apa?
Jangan bilang karena si Calista yah.” Selidik
Yubi.
Yubi
bertanya penuh selidik dan mengaitkan pertengkaran kami dengan Calista. Satu-satunya
wanita yang ada dibandnya Dana. Aku pernah dibuat salah paham oleh Dana dan
Calista. Sehingga Yubi berpikir bahwa pertengkaran kami kali ini mungkin ada
kaitannya dengan Calista.
“Bukan
Yubi, ini ngga ada kaitannya dengan Calista. Nanti kalau waktunnya tepat aku
akan cerita sama kamu. Tapi untuk saat ini aku belum siap cerita.” Aku menjelaskan.
“Okey. Aku tunggu janji
kamu untuk cerita. Tapi sekarang please
ikut yah. Mocca jadi salah satu bintang tamunya loh malam ini. Makannya aku
ingat kamu.” Pinta
Rita.
“Seriously. Aku
ngga tahu kalau ada Mocca di acara tahun ini.” ujarku.
“Di
otakmu isinya hanya P-E-R-D-A-N-A. Makanya ngga tahu kalau band favoritmu
manggung malam ini. Yaudah sana cepatan ganti baju.” Sergah Yubi.
“Ok ok
aku siap-siap dulu.” Aku beranjak
dari tempat duduk dan naik keatas menuju kamar.
**
Yubi
melihat bunda yang sedang mengawasi Galang ketika sedang asik merokok di dekat
mobilnya. Bunda mengawasi dari teras depan yang
terlihat dari ruangan tamu dimana Yubi duduk. Matanya bunda penuh dengan
ketidaksukaan dengan tingkah dan perilaku Galang. Apalagi melihat Galang yang
merokok. Yubi beranjak dari duduknya, ingin kabur dan menemui Galang.
“Rita..! Aku tunggu di mobil yah. Jangan lama-lama dandannya!” Teriak Yubi dari bawah.
Teriakan
Yubi menuntaskan pengawasan bunda terhadap Galang. Bunda masuk ke dalam ruang
tamu dan mendekati Yubi yang hendak berjalan untuk kabur dari cengkramannya.
“Yubi
nunggunya disini aja yah bareng sama Bunda. Jangan di mobil.” Tiba-tiba bunda memecahkan
kekikukan Yubi yang tidak berhasil kabur dari Bunda.
“Yubi
pacaran sama Galang sejak kapan?” Bunda
mulai mengintrogasi.
“Baru dua
hari yang lalu bun.” Jawab
Yubi sedikit ragu.
“Oh
baru jadian, pantesan lengket banget kaya perangko.” Sindir Bunda.
“Bunda
bisa aja, hehehe.” Yubi
menimpali sindiran bunda dengan senyum kecut.
“Bunda
kira Yubi pacaran dengan Rio?” Taksir
bunda.
“Ih bunda
ngapain sih sebut-sebut nama Rio. Aku ngga ada hubungan apa-apa ko sama Rio.” Yubi tiba-tiba terkejut ketika
bunda menyebut Rio.
“Menurut
bunda kayanya Rio lebih baik deh daripada laki-laki di depan itu.” Bunda secara terang-terangan
memberitahu ketidaksukaannya terhadap Galang.
“Bunda
kenapa bicara begitu tentang Rio. Emang sih Rio baik banget dan sabar sekali orangnya.
Tapi dia suka ngeselin, banyak ngga bolehnya kalau lagi jalan sama Rio.” Cecar Yubi.
“Maksudnya,
ngga ngebolehin kamu ngapain?” Tanya bunda.
“Nih
yah bun. Masa waktu aku lagi makan malam sama Rio. Terus aku ketemu teman aku
dan mereka ngajak party ke club. Eh Rio ngga ngijinin dan malah nganter
aku pulang. Kan nyebelin banget bun. Lagian kita juga bukan apa-apa. Kita cuma
temanan, kenapa aku mesti minta ijin dari Rio.” Ungkap Yubi penuh semangat dan kesal.
“Oh
gitu. Ya bagus dong.” Ujar
bunda.
“Bagus
dari mana sih bun. Masa aku mau senang-senang tapi ngga boleh. Emang dia siapa?” Sungut Yubi.
“Itu
artinya Rio perhatian sama kamu. Dia ngejaga kamu dari teman-teman kamu yang
begajulan. Lagian pasti udah malam kan. Kamu aja sama Rio lagi makan malam.
Kalau kamu akhirnya pergi. Kamu mau pulang jam berapa?” Jelas bunda.
“Ah
engga tahulah bund. Kenapa sih Bunda ngebelain Rio. Jangan-jangan Bunda di
sogok yah sama Rio.” Celetuk
Yubi.
“Ahahaha
kamu ada-ada aja pikirannya. Egga begitu. Yubi itukan udah bunda anggap anak
sendiri. Jadi bunda mau kamu dapat yang terbaik. Bunda cuma mau Yubi terhindar
dari hal-hal yang tidak bagus. Pacaran boleh, tapi harus tahu batasan. Kalau
dari intuisi bunda, Rio lebih baik daripada Galang. Yah tapi kan yang
ngejalanin kamu, jadi terserah kamu aja sih. Bunda cuma kasih tahu kamu. Jangan
melakukan hal macam-macam sebelum menikah. Yubi ngerti kan.” Bunda menasehati Yubi.
“Iyah
Bunda.” Sahut Yubi.
Sebelum
turun, dari atas balkon aku melihat Yubi dan Bunda berbicara serius. Yubi sudah
dianggap bunda seperti anaknya sendiri. Sebaliknya pun demikian, Yubi sudah
menganggap bunda sebagai ibunya sendiri. Hanya Yubi yang ikutan memanggil bunda,
disaat teman-teman yang lain memanggil tante ketika berkunjung ke rumah. Sangat
wajar Yubi seperti itu karena kedua orangtuanya selalu sibuk dengan urusan
mereka. Sehingga ketika Yubi membutuhkan sosok seorang ibu. Sosok bundalah yang
menjadi tumpuan Yubi untuk berkeluh kesah dan meminta nasehat.
“Syukurin..
Diomelin sama Bunda.”
Ejekanku ketika menuruni anak tangga dan menghampiri mereka berdua.
“Kamu
juga! Bunda ngga suka kalau kamu berbuat macam-macam sama Dana. Ingat! Dana itu
cuma pacar bukan suami. Jangan keseringan berduaan sama Dana, nanti setan lewat
bahaya! Bunda percaya sama kamu. Kamu ngga akan berbuat hal diluar batas.
Jangan khianati kepercayaan bunda!” Perintah
bunda ke aku.
Akhirnya
bunda menasehati kami berdua. Sejujurnya di dalam hati rasanya ingin menangis
setelah mendengar nasehat dari bunda. Aku seperti di tampar oleh ucapan bunda.
Aku yang sudah diberi kepercayaan oleh bunda. Begitu mudahnya mengkhianati hanya
dengan satu malam. Tidak dapat aku bayangkan jika Bunda tahu apa yang telah
dilakukan oleh anak yang disayanginya. Dalam hati aku berbicara “Bunda maafin Rita yah. Rita udah mengkhianati
kepercayaan dari Bunda.”
“Bunda,
aku ajak Rita ke acara Music Carnaval
yah. Nanti kalau kita pulangnya kemalaman Rita nginep di rumah aku yah bund. Please. Mamah sama papah lagi keluar
kota soalnya. Biar Yubi ada yang nemenin di rumah. Boleh yah Bunda.” Pinta Yubi.
Yubi
menyadarkan lamunanku dan meminta ijin untuk mengajak aku. Tapi dia tidak
bilang ke aku sebelumnya perkara menginap itu.
“Yubi
apaan sih, ko nginep. Aku ngga nyiapin baju ganti. Lagian kamu juga tadi ngga
bilang.” Kataku dengan kebingungan.
“Santai
aja sih, kamu bisa pakai baju aku. Ngga usah bawel. Boleh yah Bunda. Please.” Yubi masih meminta ijin bunda.
“Iyah
iyah, tapi ingat ngga boleh ada anak laki-laki. Jangan macam-macam kalian. Kalau
jadi nginep tolong kabarin bunda yah. Biar bunda ngga cemas. Yaudah sana pergi.” Bunda memberi ijin kami
pergi.
“Terima
kasih Bunda, I love you bunda, muach.” Yubi pamitan sembari mencium pipi bunda dan lari
menghampiri Galang yang sudah membuka pintu mobil untuknya.
“Bunda
aku pamit yah, maafin Rita yah Bunda. Love
you bunda muach dah.” pamitku.
Aku
pamit, cium tangan bunda sembari setengah berbisik meminta maaf, cium pipi
bunda dan berlari melambaikan tangan kearah Bunda. Dari kejauhan terlihat raut
wajah bunda yang kebingungan karena tingkah aku yang pamit begitu buru-buru dan
terselip kata maaf. Maaf untuk apa, mungkin itu yang ada dipikiran bunda saat
melihat mobil kami melaju.
**
Dalam
selembaran Music Carnaval yang aku
baca di tanganku. Tertulis lebar dengan huruf besar dan tebal dengan warna
putih di atas background yang
didominasi warna gelap. Bintang tamu utama malam ini adalah ‘Mocca and Friend’. Yang aku tahu, jika ada
kata and friend berarti Arina
Ephipania (vocalis Mocca) dan kawan-kawan akan melakukan duet atau kolaborasi
dengan musisi lain. Kira-kira siapa yang akan mendampingi Arina di atas
panggung. Jadi sedikit penasaran.
Aku
masih dengan posisi dibangku, duduk seorang diri. Menyilangkan kaki sembari
membaca selembaran rangkaian acara. Tiba-tiba ada langkah kaki yang mendekat kearah
tempatku duduk. Ketika langkah itu benar-benar terhenti di hadapan. Aku
mendongak, melihat wajah seorang laki-laki yang berdiri di hadapanku.
“Hai, kamu sendirian saja?” Suara Dana menyapaku.
Laki-laki
yang sudah tiga minggu aku cari, berdiri di hadapanku. Masih belum percaya
kalau ini nyata. Aku cubit pipiku dan ‘auw’ mulutku merespon rasa sakit dari cubitan yang sengaja aku
lakukan. Ini bukan mimpi. Dana benar-benar ada di hadapanku.
“Kamu kenapa sih? Kamu
sendirian saja ?” Kedua
kalinya Dana bertanya.
Aku
tidak sanggup menjawab. Yang aku lakukan adalah langsung memeluk laki-laki di
hadapan aku. Aku tidak bergeming di
dalam pelukannya. Tidak berani menghujani sejuta pertanyaan kepada Dana atas
tindakannya yang menghilang selama tiga minggu ini. Aku takut jika aku
bertanya, Dana akan menghilang lagi.
“Aku kangen banget sama kamu
Dan.” Ucapku di dalam pelakukannya.
Dana
tidak membalas kalimat rinduku dan tidak melingkarkan tangannya ke tubuhku saat
aku memeluknya. Ini aneh. Tidak seperti Dana yang aku kenal selama ini.
Biasanya ketika berbaikan setelah kami bertengkar dan rindu mulai menghinggapi.
Pelukan yang berbalas adalah tanda bahwa kami sudah berbaikan. Namun malam ini
tidak demikian. Dana tidak membalas pelukanku.
“Kamu kesini sendiri?” Ketiga kalinya Dana bertanya
dengan pertanyaan yang sama.
“Oh
engga, engga. Aku kesini sama Yubi dan Galang.” Aku menjawab pertanyaan Dana setelah melepaskan pelukanku yang
tak bersambut.
“Galang?” Tanya Dana.
“Iyah
Galang, pacar barunya Yubi.” Aku
menjawab ketidaktahuan Dana atas hal yang terjadi selama dia menghilang.
“Oh.” Ujar Dana.
Sikap
Dana begitu dingin malam ini. Senyum manisnya seolah di hisap habis oleh sesuatu
yang tidak aku ketahui. Apa yang sebenarnya dia lakukan selama tiga minggu
belakangan ini. Sampai membuatnya menjadi laki-laki yang tidak aku kenal.
Sepertinya Dana tidak merindukanku. Padahal aku begitu sangat rindu kepadanya
hingga menyesakkan dada. Aku seperti mencium sesuatu yang janggal. Sesuatu hal
buruk yang akan menimpa hubunganku dengan Dana. Tidak. Tidak, aku harus
membuang jauh-jauh pikiran negative
itu.
“Oh
iyah, kamu tahu darimana kalau aku disini?” Aku
membuka percakapan untuk mencairkan kekakuan diantara kami berdua.
“Aku
tadi ke rumah. Kata bunda kamu lagi ke acara Music Carnaval. Jadi aku putuskan untuk kesini.” Jawab Dana dengan lugas.
“Kamu
kangen sama aku yah?” Usilku. Berharap kalimat usilku bisa menyulap sikap
dingin Dana malam ini.
Suasana
berubah menjadi mencekam di antara kami berdua. Kami sama-sama terdiam. Rasa
canggung hinggap didiriku dan Dana, seolah kami bukan pasangan kekasih. Hingar bingar yang terdengar dari berbagai
sudut tempat menjadi sayup terdengar oleh telingaku. Aku mencoba fokus
menangkap suara yang keluar dari mulut Dana. Naluriku berkata diamnya Dana
adalah dia sedang menyiapkan kalimat untuk disampaikan.
“Rita.
Ada yang ingin aku bicarakan.” Dana
memulai dengan kalimat yang membuatku gugup.
“Bicara
apa sih Dan. Kayanya serius banget. Bicaranya nanti aja yah. Sebentar lagi
Mocca performce loh. Ayo kita ke
depan panggung.” sanggahku.
Aku
berdalih dan mencoba mengulur waktu. Entah mengapa perasaanku berkata malam ini
Dana akan mengatakan sesuatu yang akan membuatku sedih. Bahkan intuisiku
berbisik bahwa malam ini akan menjadi malam terakhir bersama Dana. Oleh karena
itu aku ingin mengulur waktu agar tetap terus bersama. Ingin melampiaskan
rinduku terlebih dahulu untuk melihat wajahnya, tubuhnya dan semua yang nampak
pada dirinya.
Riuh penonton
di depan panggung mulai terdengar. Intro dentingan piano Gardika Gigih dan
tiupan flute Arina mulai terdengar begitu syahdu. Mengawali irama lagu yang
berjudul ‘Ketika Semua Telah Berakhir’. Ternyata and friend Mocca adalah Gardika Gigih. Musisi
piano yang terkenal dengan dentingan lagu patah hati. Sebenarnya lagu tersebut
tidak begitu aku sukai karena liriknya. Hanya saja harmonisasi section string dengan dentingan piano
Gigih yang menghipnotis dan suara flute yang dibawakan oleh Arina.
Menjadikan lagu Ketika Semua Telah Berakhir menjadi play list wajib ada di media pemutar musik milikku.
Dana
menolak ajakanku untuk kedepan panggung meskipun aku terlihat sangat antusias
menonton dan bernyanyi bersama penonton lainnya di depan panggung. Dana menarik
tanganku yang hendak melangkah sendiri kearah panggung. Membuat kami berdiri
berhadapan membelakangi panggung.
“Rita.. Aku
mau putus dari kamu.” Dana
memulai percakapan dengan wajah yang tanpa ekpresi.
“Apaan
sih Dan. Kenapa tiba-tiba bicara seperti itu.” ujarku.
“Aku
serius Rit, aku mau kita putus malam ini.” Tegas
Dana.
“Kamu
engga usah bercanda deh.” kilahku.
“Aku
serius, apa muka aku terlihat sedang bercanda.” Dana mencoba menegaskan perkataannya dengan menatap
wajahku.
“Kenapa
Dan, kenapa tiba-tiba begini.” Kebingungan
menjalar di wajahku.
“Aku
sudah tidak ingin berhubungan dengan kamu lagi Rit.” Jelas Dana.
“Iyah. Tapi
kenapa? Tolong jelasin ke aku.” Aku
meminta penjelasan.
Dana
diam dan tidak memberi penjelasan. Membuatku mulai penasaran dan mengambil
kesimpulan sendiri atas ucapan Dana.
“Apa
semua ini masih ada kaitannya dengan pertengkaran hari itu. Kalau iyah, aku
minta maaf Dan. Aku sunggu-sungguh minta maaf. Aku janji tidak akan mengungkit
kejadian malam itu lagi.” Aku
bicara sambil menggengam kedua tangannya dan meyakinkan.
“Rita..
Setelah aku menyendiri sepertinya putus dari kamu adalah pilihan terbaik buat
kita.” Ujar Dana.
“Keputusan
terbaik buat siapa Dan. Buat kita atau buat kamu!” Emosi sedikit demi sedikit mulai menggerayangi aku.
Dana
tidak menjawab dan hanya diam. Kesabaranku menunggu Dana bicara semakin
terkikis dan emosiku pecah tanpa aba-aba.
“Jangan
diam saja dong Dana! Jawab aku! Apa jangan-jangan kamu minta putus karena kamu
udah puas bisa manfaatin aku! Kamu puas sudah dapat apa yang kamu mau! Kamu sudah
berhasil merasakan tubuh aku! Apa karena itu!?” Cecarku penuh amarah disertai air mata yang mengalir.
“Itu
Rit. Itu yang membuat aku minta putus. Beberapa detik lalu kamu janji untuk
tidak mengungkit tentang malam itu. Tapi apa. Barusan kamu ungkit lagi Rit.” Dana menjawab dan melepaskan
genggaman tanganku.
“Apa
aku salah Dan, meminta kamu untuk bisa serius sama aku setelah apa yang kamu
lakukan ke aku.” keluhku.
“Aku
melakukan apa Rita. Soal kejadian malam itu ?” Tanya Dana.
“Iyah!
kejadian mana lagi Dan! Mungkin buat kamu itu sudah biasa. Tapi buat aku engga!” Pekikku tidak bisa menahan
diri.
“Kamu
jangan sembarangan ngomong yah. Maksud kamu aku sering berbuat begitu dengan
wanita lain?” Sergah Dana.
“Maaf
Dan, bukan begitu maksudku. Aku hanya takut kamu akan ninggalin aku. Kejadian
malam itu pertama kalinya aku lakuin. Kamu yang pertama kalinya Dan. Apa aku
salah jika ingin meminta kepastian dari kamu untuk engga ninggalin aku?” Intonasiku melemah dan
meracau meminta kepastian Dana.
“Rita!
malam itu aku tidak memaksa kamu! Aku tidak sedikit pun mengancam kamu untuk menyerahkan
apa yang kamu punya! Seandainya kamu menolak, aku pun tidak akan melakukannya!” Ungkap Dana dengan sedikit
amarah.
“Aku pikir
kamu laki-laki baik Dan, tapi ternyata.. Kamu hanya memanfaatkan aku untuk bisa
mendapatkan tubuhku.” keluhku.
“Kamu
ngomong apa sih, aku manfaatin kamu! Jangan asal ngomong yah Rit! Aku udah
bilang tadi! Seandainya kamu menolak, aku tidak akan melakukannya! Disaat aku
mulai membelai tubuh kamu, jika kamu keberatan seharusnya kamu bilang! Tapi kan
engga Rit! Kamu diam saja seolah memberi ijin aku untuk meneruskan apa yang
kita lakukan malam itu.” Sergah
Dana.
“Itu
karena aku sangat mencintai kamu Dan. Aku tidak bisa menolaknya. Aku takut akan
kehilangan kamu jika aku menolak.” Ujarku
disertai isak tangis.
“Itu
Rit. Itu yang membuat aku berpikir selama ini. Kamu tidak percaya sama aku.
Kalau kamu percaya, kamu pasti akan menolak malam itu. Dan aku tidak akan
melakukannya. Dan kita ngga akan seperti ini” Ungkap
Dana.
“Maafin
aku Dan.” sesalku
Dana hanya diam.
“Dan.. Please jangan tinggalin aku.” pintaku.
Diam
menguasai kami berdua. Aku hanya bisa memangis terduduk dalam diam.
“Kita putus Rit.” Tegas Dana.
Kalimat
putus mengakhiri percakapan kami berdua sekaligus mengakhiri hubungan asmara
yang sudah dua tahun kami jalani. Dana pergi meninggalkan aku sendiri tanpa
menoleh ke belakang dan melihatku.
Lantunan
suara merdu dari Arina mulai menggaung lembut dan syahdu menyejukkan telinga.
Namun lirik yang terdengar begitu menyayat hati. Entah mengapa takdir begitu tega, menyamakan lagu yang dibawakan Arina dengan kisahku yang berakhir malam ini.
Intuisiku benar. Semuanya kini menjadi nyata.
Ketika semua t’lah berakhir
Hilang sudah harapan di hati
Ketika semua t’lah berakhir
Takkan ada rasa diantara kita
Ketika semua t’lah berakhir
Ku tak tau apa yang kucari
Ketika semua t’lah berakhir
Kuterduduk menunggu datangnya pagi.
Sesungguhnya kut’lah rela melepaskan dirimu
Hanya saja kumenyesal kautelah buang waktuku
Dan kini semuanya telah terjadi
**
“Klontang.”
Suara kaleng pembasmi nyamuk
di tanganku terjatuh. Suara itu memaksaku kembali ke dalam minimarket bersama pramuniaga
dihadapanku yang tidak lain adalah Dana. Entah sejak kapan pipiku basah dengan
air mata yang mengalir. Seketika aku kembali merasakan sakit yang berkecamuk di
dalam dada. Sakit sekali rasanya dada ini hingga tidak mampu untuk berucap.
Tangisan dari kisah yang ingin aku lupakan seumur hidup. Dibangkitkan kembali
oleh laki-laki yang pernah menjadi kisah dalam kehidupanku dahulu.
Ingin
sekali aku menampar dan memakinya. Laki-laki ini yang pertama kali merasakan
tubuhku dengan dilandasi rasa cinta yang dulu amat sangat aku curahkan
kepadanya. Kami terbuai dan melakukan hal yang tidak sepatutnya dilakukan oleh
sepasang anak yang masih belia. Tidak pernah aku sangka kalau akan dibuang begitu
saja olehnya. Setelah dia mendapatkan apa yang dia mau dengan alasan yang tidak
aku mengerti.
Disaat
air mataku tidak dapat aku hentikan. Ternyata Dana pun menangis terisak dalam
wajahnya yang tertunduk penuh penyesalan.
“Rita. Aku
sungguh-sungguh minta maaf atas semua perbuatanku dulu.” Dana meminta maaf sembari
menggengam satu tanganku yang kosong dengan begitu kuat berharap semua dosanya
terampuni olehku.
“Dan
itu semua sudah lama sekali berlalu.” ucapku.
“Aku
mohon Rita, Maafkan aku. Maaf” Sesal
Dana.
“Dan. Sungguh
masa-masa dulu adalah masa terindah sekaligus menyakitkan buatku. Tapi semua
itu sudah lama sekali berlalu. Kehidupan sudah banyak berubah dan aku sudah
tidak ingin mengingat kenangan itu.” ungkapku.
“Aku
mohon dengan sangat, maafkan aku Rita. Tanpa maafmu aku tidak bisa melangkah ke
depan. Aku butuh pengampunanmu Rit.” Ujar
Dana.
“Dana.
Aku bukan Tuhan. Aku mungkin saja bisa memberi maaf di mulutku ini. Tapi. Aku
tidak yakin bahwa hatiku mampu memberimu maaf seutuhnya atas apa yang sudah
kamu lakukan terhadapku dulu. Terlalu banyak yang kamu tidak tahu tentang aku
setelah kamu pergi meninggalkan aku.” jelasku.
Dana hanya diam mendengar perkataanku.
“Tapi
aku pun tidak bermaksud untuk merusak kehidupan masa depanmu Dan. Menikahlah. Aku
akan terus mencoba meyakini hati aku untuk memberi maaf kepadamu.” Ujarku memberi harapan untuk
Dana.
**
Bima
tergopoh gopoh menghampiri kami dengan kedua tangannya yang penuh dengan
cemilan yang ingin dia beli. Dia bingung dengan apa yang dilihatnya. Mamahnya
menangis dan om yang tidak di kenal pun menangis sembari memegang tangan
mamahnya.
“Mamah kenapa? Mamah ko nangis?” Tanya Bima.
Aku
segera melepas genggaman tangan Dana. Meletakkan semua semprotan kaleng pembasmi
nyamuk dengan asal. Membantu Bima membawa cemilannya dan menggandengnya kearah
kasir untuk membayar semua belanjaan Bima.
Ketika
ingin memesan ojek online. Ternyata kuotaku habis. Tanpa berpikir panjang aku
membeli pulsa kuota di minimarket tersebut. Lupa bahwa Dana akan dengan mudah
mendapat akses nomorku.
No comments: