CELL MEMORY
Aku tidak mengerti kenapa
menjadi sangat pelupa. Jika ditilik dari usiaku yang baru menginjak kepala
tiga. Masih terlalu muda untuk menjadi pikun. Aku seperti lansia yang berpikir
lambat untuk mengenali wajah seorang teman yang menyapa ketika bertemu di
jalan. Seperti pramuniaga minimarket yang kutemui hari ini.
Aku dan
Bima mampir ke sebuah minimarket di pinggir jalan setelah pulang dari rumah
kakak yang cukup jauh. Butuh waktu sekitar satu jam naik kendaraan umum untuk
sampai kerumah. Ditengah perjalanan, tiba-tiba anakku merengek meminta cemilan.
Terpaksa aku hentikan angkot di depan sebuah minimarket yang berada di pinggir
jalan.
Saat
memasuki minimarket aku disambut dengan sapaan selamat datang dari balik meja kasir
oleh seorang pramuniaga. Aku balas sapaan tersebut dengan senyum. Aku gandeng
anakku untuk masuk ke dalam minimarket dan menuju kebagian rak makanan yang disukai
Bima. Bima sangat menyukai chiki dengan rasa rumput laut.
“Mas, chiki
yang ini ada rasa rumput lautnya ngga ?”
Laki-laki
pramuniaga yang berdiri di depan meja kasir, bukannya menjawab malah menatapku penuh
tanda tanya, takjub dan segudang ekpresi yang tidak aku mengerti. Hingga
akhirnya pramuniaga lainnya yang menjawab.
“Oh yang
itu rasa rumput lautnya lagi kosong bu, adanya yang rasa ayam bawang.
Tapi kalau yang chiki sebelahnya ada rasa rumput laut.”
“Engga
deh mas, anak saya engga suka yang itu.”
“Bima,
kita cari cemilan yang lainnya aja yah. Susu, kamu mau susu? Eh kue tuh Bim, itu
kue yang kamu suka.”
**
Selama di
dalam minimarket, aku sedikit terganggu dengan tatapan penuh selidik dari salah
satu pramuniaga minimarket itu. Pramuniaga yang tiba-tiba mematung menatapku
tanpa berkedip saat aku bertanya rasa chiki tadi. Pramuniaga yang selalu
mengikuti gerak-gerikku. Pramuniaga yang tersenyum disaat aku berbicara dengan
Bima.
Aku
sebenarnya penasaran ingin menghampiri dan bertanya langsung kepada pramuniaga
itu. Mengapa tiba-tiba menjadi CCTV berjalan hanya kepadaku. Sedangkan pengunjung
minimarket bukan hanya aku dan Bima.
Ada empat pengunjung lainnya yang berada di dalam minimarket. Aku merasa
seperti pengutil yang ingin mengambil barang di minimarket.
Rasa
penasaranku tidak sebanyak rasa segan terhadap orang baru yang aku kenal.
Apalagi untuk memulai sebuah percakapan. Sehingga aku urungkan niat untuk
bertanya langsung kepada pramuniaga itu.
**
Bima
melepas gandengannya dari tanganku. Menghampiri rak yang berisi jajaran
cemilan favoritnya. Sibuk berpikir, kue dan chiki mana yang akan
dipilih. Aku hanya tersenyum melihat tingkah anak kecil yang sibuk dengan
kebingungannya sendiri. Sedangkan aku menghampiri rak dengan jajaran pembersih
rumah. Teringat obat pembasmi nyamuk di rumah sudah habis.
Ketika
sedang berjongkok di depan rak. Sibuk memilih botol kaleng pembasmi nyamuk. Pramuniaga
itu mendekati aku dan berdehem. Mengisyaratkan kalau dia meminta waktuku.
Seketika aku mengangkat wajah dan mendongak melihat wajah pramuniaga menyebalkan
itu. Wajahnya asing tapi sebagian dari diriku seperti mengenalnya. Tapi
entahlah. Dia tersenyum dan mengucap salam.
"Assalamuallaikum."
"Walaikumsallam."
Nada
suaranya sedikit parau dan berat. Entah suaranya mengapa begitu. Aku tidak
tahu dan masih menjadi misteri dari tingkahnya yang begitu mencurigakan sejak
aku masuk minimarket ini.
“Kamu
Rita kan. Rita Madadayu?” Tiba-tiba dia ikut berjongkok dan memastikan namaku.
“Eh, i-yah
benar. Masnya kenal saya?” jawabku dengan canggung dan curiga.
Diam dan ketidaknyamanan
menjadi atmosfer seketika diantara kami berdua. Namun wajah pramuniaga itu
menunjukkan kelegaan. Bahwa wanita yang dia maksud adalah aku. Sepertinya dia
mengenalku cukup dalam. Dia hanya diam memandangi wajahku dengan senyumannya
yang membuat gugup.
“Masnya
kenal saya dimana?” tanyaku agar tidak terlihat aneh di hadapannya.
Tidak ada
jawaban dari pramuniaga itu. Senyum yang tadi membuatku terpesona sesaat.
Berubah menjadi senyum tipis penuh penyesalan dan kesedihan. Tiba-tiba dia tertunduk
tanpa bicara sepatah kata pun. Aku mencoba ikut menunduk, menyelidiki dan memastikan
orang di depanku baik-baik saja. Aku tidak dapat melihat wajahnya karena dia
tertunduk sangat dalam. Namun aku melihat tetesan air mata di lantai yang
berasal dari wajahnya yang tertunduk. Tidak lama kemudian dia mengangkat
wajahnya.
"Maaf
yah buat kamu jadi bingung."
Pramuniaga
itu meminta maaf sembari membetulkan posisi topinya yang tergeser. Mencoba
untuk menenangkan diri dengan menarik nafas dalam dari hidungnya dan
menghembuskan kembali melalui mulut. Sepertinya dia tidak ingin tubuhnya
dikuasai oleh emosi di hadapanku.
Memang
benar aku bingung menghadapi tingkah aneh pramuniaga di hadapanku. Bukan hanya
bingung tapi sekaligus kesal dibuatnya. Tapi tidak mampu menjelaskan
kekesalanku kepada laki-laki di hadapanku itu. Hanya mampu berdumel di dalam
hati "Ini orang kenapa sih. SKSD banget. Tiba-tiba nangis. Maunya apa
coba. Kenapa harus ketemu orang drama gini sih. Perasaan di sinetron juga ga
selebai ini deh. Mana ada cowo tiba-tiba nangis di depan cewe yang ga kenal
sama dia. Jadi nyesel mampir ke minimarket ini.”
Sesudah
berdumel di dalam hati. Aku mencoba memperhatikan wajah pramuniaga itu dengan
seksama. Laki-laki dengan tinggi sekitar 172 cm. Badannya gagah dan atletis. Rambutnya
ikal dan potongan rambutnya pas dengan bentuk wajahnya. Terlihat jelas saat dia
membuka topinya tadi dan membetulkan posisinya. Alisnya rapi dan tebal,
membuatku iri karena alis yang aku miliki bentuknya tidak karuan dan tipis.
Matanya sipit tapi hidungnya mancung. Bibirnya lebar dan senyumnya manis.
"Rita,
kamu kenapa? Ko jadi bengong gitu."
Pramuniaga
itu membangunkan aku yang tiba-tiba mematung dengan tatapan yang penuh selidik.
Dia mengibaskan tangannya kearah muka aku.
"Eh,
iyah iyah. Duh maaf."
Entah
kenapa setelah kegagalan berumah tangga dengan ayahnya Bima. Hampir sebagian
memori di otakku terhapus. Hilang seperti ada bagian kenangan yang tidak tersimpan.
Hanya mampu mengingatnya jika ada yang membangkitkan ingatanku kembali.
**
“Rita,
aku sungguh-sungguh minta maaf. Aku tau semua perbuatanku dahulu sungguh
tidak pantas untuk dimaafkan. Aku sudah mencoba mencari kamu selama
5 tahun belakangan ini. Tapi tidak pernah kutemukan. Hingga hari ini Tuhan
memberiku kesempatan untuk aku bisa meminta maaf secara langsung ke kamu.”
Tiba-tiba
pramuniaga itu berbicara panjang lebar yang sedikit pun tidak aku mengerti. Aku
mencoba menggali memori terdalam yang terhapus. Mereset cell memory di
dalam otakku, berharap ada penggalan kisah antara aku dan pramuniaga minimarket
di hadapanku ini. Sehingga aku paham arah pembicaraannya. Namun semakin aku
mencoba mengingatnya. Semakin buntu otakku. Usaha untuk mengingat siapa
pramuniaga itu gagal.
Pengalaman
buruk terhadap mantan suamiku sepertinya menjadi biang keladi rusaknya sebagian cell
memory di dalam otakku. Terutama memori tentang laki-laki yang pernah
singgah di hatiku.
“Rita,
aku sungguh-sungguh ingin meminta maaf sama kamu. Maukah kamu memaafkan aku?”
Aku hanya
dapat menggelengkan kepala. Bukan memberi jawaban dari permintaan maaf pramuniaga
itu. Melainkan tidak mengerti sama
sekali arah pembicaraannya. Aku tidak tahu kesalahan apa yang harus dimaafkan.
“Rita,
aku sebentar lagi akan menikah dengan seorang wanita setelah berulang
kali mengalami kegagalan. Namun hati ini masih tidak tenang jika
pernikahanku belum direstui oleh maaf yang diberikan olehmu.”
“Duh, mas
maaf yah. Saya memang Rita. Tapi sumpah saya ngga ingat pernah kenal sama
masnya.”
“Aku
yakin kamu Rita yang dahulu. Wanita hebat dan mandiri yang pernah
menjadi cinta dalam kehidupan masa laluku. Wajahmu, suaramu, lesung di
pipi kirimu yang tidak berubah ketika tersenyum dan senyum itu yang selalu
kuingat sampai saat ini.”
Semakin
heran dan bingung aku dibuat oleh ucapan pramuniaga di hadapanku ini. Sampai
kapan dia melantur begitu.
“Hm..
gini aja deh. Yaudah, saya maafin semua kesalahan yang sudah mas perbuat ke
saya. Seperti yang mas mau, biar selesai masalahnya dan saya ngga di ganggu
lagi. Tapi mohon maaf karena saya beneran ngga inget mas itu siapa.”
“Aku Dana
Rita, P-E-R-D-A-N-A teman di masa SMA dulu. Kita dekat karena perantara dari
Yubi sepupu aku.”
Seketika
aku terpaku dengan nama yang disebutkan secara eja oleh laki-laki dihadapanku
itu. Saraf di otakku mulai bergerak lebih cepat dan memberi sinyal ke alam
bawah sadarku untuk membangkitkan crystal
cell memory yang dengan sengaja aku sekap.
Nama yang
diucapkan itu menjelma menjadi sebuah belati. Belati tajam yang di tancapkan ke
dalam otakku. Tajamnya ujung belati membuat crystal cell memory yang
selama ini terbungkus dengan sangat kuat dan rapat, hancur berkeping-keping.
Bertebaran, melayang tak tentu arah. Kepingan memori itu berubah menjadi roll
film yang penuh dengan beraneka macam peristiwa. Semuanya berisikan
kebersamaan antara aku dengan pramuniaga itu diusia yang masih belia.
Roll film memory itu berputar membentuk
jajaran slide demi slide yang bergerak silih berganti. Menampilkan wajahku
yang tersenyum bahagia bersama dengan pramuniaga itu. Aku sering tersenyum di
setiap momen yang berbeda disaat berada didekatnya. Ada momen dimana aku
menangis di dalam pelukannya. Bermain hujan di atas motor dan bernyanyi sumbang
bersama. Mencuci piring bersama di dapur restoran yang dimandorin pemilik
restoran. Berjalan sejajar ketika mendorong motor yang bannya kempes. Berlari
memutari lapangan berdua dengan kalung tulisan ‘Tidak Akan Terlambat Lagi’. Masih
banyak lagi slide demi slide yang mengingatkan aku siapa sebenarnya pramuniaga
di hadapanku ini.
Namun ada
satu slide yang hanya diam tidak bergeming sedikit pun dari tempatnya. Satu
slide yang terlihat sangat samar. Mungkinkah momen
di slide itu yang membuat alam bawah sadarku ingin mengunci kenangan bersama
dengan pramuniaga itu. Aku semakin penasaran. Aku meraba momen di slide itu dengan mata dan otak yang kupaksa
untuk mengingatnya. Hingga akhirnya aku ingat momen itu.
* bersambung *
Lumayan menghibur dan lumayan bikin penasaran
ReplyDeleteTerima kasih atas kesediaan waktunya untuk baca :)
DeleteSemangat nulisnya dgn cerita yang bkin penasaran.
ReplyDeleteAhhh Wid, makasih yah. Salam untuk keluarga di Makassar :)
Delete